A.
Pendahuluan
Manusia hidup di dunia mendambakan
kebahagiaan. Demi mendapatkan
kebahagiaan tersebut, maka manusia berlomba-lomba untuk mendapatkan kebahagiaan
tersebut. Tasawauf tidak hanya menarik perhatian para peneliti muslimpaupun
orintalis, juga untuk menarik perhatian masyarakat awan yang akhir-akhir ini
terbelenggu oleh materi dunia. Berusaha
dikala siang dan malam mencari karunia Allah SWT serta mendapatkan kebahagiaan.
Tetapi, semakin dicari semakin banyak didapat semakin kosong dan hampa jiwanya.
Lalu
manusia mencari alternatif untuk mencari kebahagiaan. Maka setelah mereka mendapatkannya, maka mereka
berkata “ Ternya Kebahagiaan Itu Bukan Terletak Pada Banyaknya Harta”. Dengan harta saya memperoleh kesejahteraan. Tapi,
dengan dekat kepada Tuhan, maka saya mendapatkan/memperoleh kebahagiaan. Itulah
salah satu gambaran orang-orang yang sudah membuktikan dalam pergelutan dengan
dunia sufi.
Ketika manusia terjebak dalam
materi, serba dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih. Sehingga, pada akhirnya
manusia akan membuat manusia lengah dan tidak menydari bahwa dunia spritualnya
mengalami kemosrotan, terdistorsi dan mengalam keterasingan yang dalam
(alienasi). Merasa keterasingan secara spiritual sehingga menyebabkan manusia
kehilangan makna dan hampa. Keterasingan jiwa ini menururt Husainnasr disebabkan
oleh karena peradaban moderen. Alienasi adalah masalah kejiwaan. Manusialah
menjadi penyebabnya munculnya dan manusia pula yang harus menanggung akibatnya.
Ketika manusia mengalami hal seperti ini, dan untuk mengatasi keterasingan jiwa
tersebut dan membebaskannya, maka Tuhanlah sebagai tujuan akhirnya. Pemahaman
seperti ini biasanya ada pada wacana tasawuf, tasawuf bukanlah sebuah pelarian diri dari kenyataan hidup.
Tetapi, ia adalah sebuah usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohani
yang menegakanya saat menghadapi kehidupan materialistis, dan juga untuk
merealisasikan keseimbangan jiwa ia mampu menghadapi berbagai kesulitan ataupun
masalah hidupnya.
Tasawuf sebagai perwujudan dari ihsan, yang
berarti beribadah kepada Allah SWT seakan-akan ia melihatnya, apabila tidak mampu demikian maka harus
disadari bahwa tuhan melihat kita, merupakan sebuah kualitas seseorang terhadap
agamanya. Dengan demikian tasawuf sebagaimana mistisme pada umumnya, bertujuan
membangun dorongan-dorongan yang terdalam pada diri sesorang. Yaitu
dorongan-dorongan untuk merealisasikan diri secara meyeluruh sebagai makhluk.
Tasawuf mempunyai potensi yang besar karena mampu menawarkan pembebasan
spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri dan ahirnya mampu mengenal
Tuhannya.
Dalam tasawuf terdapat
prinsip-prinsip yang mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyrakat, yang
antara laian bahwa manusia selalu introspeksi diri, untuk
meluruskankesalahan-kesalahannya, serta menyempurnakan keutamaan-keutamaan
dirinya. Tasawuf juga membuat manusia tidak terjebak dalam hawa nafsunya, lupa pada
diri dan Tuhannya yang akan membuat dirinya terjerumus kedalam penderitaan yang
berat. Menurut tasawuf dunia adalah sarana bukan tujuan, maka ia mengambil dari
dunia sekedarnya dan tidak berlebih lebihan.
B.
Pembahasaan
1. Asal Usul
Tasawuf
Berbagai macam pandangan dan
pendapat para peneliti tentang asal-usul Tasawuf antara lain:
a. Tasawuf dikenal oleh kaum
muslimin lewat orang-orang Persia yang
ketika itu berkembang adalah agama Majusi.
b. Tasawuf berasal dari sumber
Kristen, dengan alasan satu jauh sebelum Islam datang orang-orang Kristen jauh berinteraksi dengan kaum
Nasrani.dua, terdapat segi persamaan antara kehidupan para asketis (sufi) dalam
ajaran dan bagaimana mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan
kehidupan al-Masih, selain itu terdapat kesamaan antara asketis denga apara
rahib dalam cara mereka bersembahyang dan berpakaian.
c. Tasawuf berasal dari sumber
India, hal itu terdapat dari adanya hubungan seperti sifat fakir dan ajaran
tentang nirwana dengan faham fana dalam dunia tasawuf.
d. Tasawuf bersumber dari Islam
yang berpedoman pada kitab, sunnah dan amaan paa sahabat yang tidak keluar dari
ruang lingkup tersebut.[1]
Dari beberapa macam pendapat
diatas maka penulis memberikan analisis bahwa asal sumber tasawuf bersumber dari brbagai macam sumber, baik
dari luar Islam maupun dari Islam itu sendiri yang mereka berpedoman pada kitab
dan Sunnah dan ajaran pada ketika
tasawuf berkembang. .Hal ini dikarenakan mereka berbeda dalam melihat dari
sudut pandang yang berbeda, dan sesuai dengan kebiasaan orang-orang yang
mendalami kajian tasawuf.
Pada dasarnya perbedaan
asal-usul tasawuf bagi kita tidak menjadi sebuah hal yang dapat membuat kita
sebelah mata dalam memandang, akan tetapi hakikat serta makna tasawuf dalam
rangka mendekatkan kita kepada Allah.
2.
Asal-Usul Kata
Tasawuf
Al-Qusyairi didalam bukunya Al-Risalah Al-Qusyairiyah
sebagaimana dikutip oleh Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazni menatakan bahwa
“ Generasi pertama sesudah sahabat dan sesudah tabi’in lebih menyukai sebagi
penghormatan apabila mereka disebut sahabat Rasul.[2]
Banyak pendapat tentang
asal-usul kata tasawuf ,
sehingga ada yang menganggapnya sebagai gelar.[3] Ada yang berpendapat bahwa
kata tasawuf berasal dari “Shafa”
yang berari barisan. Sebab, dalam
anggapan mereka para sufi berada dibarisan terdepan dihadapan Allah (shalat).
Ada yang berpendapat bahwa kata tasawuf dinisbahkan kepada Ahlu-Suffah,
sekelompok kaum hajirin dan ansar yang miski tinggal di ruangan Masjid Nabawi,
dimana mereka sangat tekun beibadah. Yang lain lagi berpendapat bahwa kata
Tasawuf berasal dari kata “ Shifah”. Pendapat pendapat berikutnya adalah
bahwa hal yang demikian karena dinisbahkan kepada salah seorang penjaga ka’bah
pada zaman Jahiliyah yang bernama Shufah bin Murrah. Pendapatyang lain
mengatakan bahwa kata Tasawuf berasal dari Yunani, Sophia, Sophos yang berarti
hikmah, keutamaan dan bijak.[4] Namun pendapat-pendapat diatas
nampaknya kurangtepat. Maka yang dianggap lebih tepat adalah bahwa kata
tersebut berasal dari kata “Shuf” yang berarti bulu domba. Sebagaimana
seorang berkata jika seorang memakai
pakaian yang terbuat dari wol. Sebab pada itu perkembangan asketisme, pakaian
bulu dari domba adalah simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis.
Namun, istilah pengertian tasawuf
muncul sekitar akhir abad ke 2 hijriah jika dikaitkan dengan pakaian wol
sebagaimana yang disebutkan d iatas.
3.
Pengertian Tasawauf
Banyak ulama yang mencoba
mendefinisikan apa itu tasawuf. Banyak pula para penulis yang mencoba memberi
definisi tentang pengertian Tasawauf. Namun, tak satupun dari mereka yang dapat
memberikan pengertian tasawauf secara utuh dan memuaskan. Mereka mendefinisikan
dari satu sisi saja. Jalaluddin Rumi pernah menggambarkan orang yang mencoba
mendefiniskan tentang Tasawuf, dan ia menggambarkan mereka seperti orang buta
yang merabah binatang gajah. Lalu mereka memerikan definisi tentang binatang
Gajah tersebut, ada yang menggambarkan bahwa gajah itu adalah bagaikan kipas,
bagaikan tiang yang kokoh, bagaikan pipa. Dari setiap mereka tidak ada ang
dapat memberikan definisi tentang Gajah secara utuh.
Secara umum, Tasawuf lebih cendrung kepada akhlak, Syekh
Muhammad Al-Kattani (w. Tahun 322 H) berkata, Maka Bertmabah Mantap Hatinya.[5] Abu Muhammad Al-Jariri
ditanya tentang Tasawuf ia menjawab:
االدخول في كل خلق سني
والخروج من كل خلق دني
Artinya : “ Memasuki
setiap akhlak yang mulia dan menginggalkan (keluar) dari akhlak yang tercela”.
Ibn
Khaldun, sebagaiman yang dikutip Hamka dalam bukunya “Tasawuf Modren,”
menyatakan Tawasuf adalah semacam syari’at yang timbul dalam agama. Asalnnya
ialah bertekun beribadat dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah.
Hanya menghadap Allah semata, menolak segala perhiasan dunia, membenci apa ang
daat memperdaya manusia berupa kelezatan dunia benda dan kemegahan, serta
menendiri menuju jalan Allah SWT untuk berkhalwat dan beribadat.[6]
Abu
Husain An-Nuri memberi batasan tentang pengertian tasawuf hanya pada segi akhlak, ia berkata” Tasawuf
adalah akhlak yang baik, tidak membebani diri serta dermawan”. Jadi, buah tasawuf adalah akhlak yang baik.
Namun, ada kecenderungan sebagian orang ang mendefinisikan Tasawauf adalah
zahid. Dan ketika orang mendengar kata “ Tasawuf” maka ia memahami makna zuhud. Dengan demikian
ketika orang mendengar orang yang ahli ibadah (‘Abid), maka ia memahami
bahwa ia seorang sufi. Padah makna sufi dan menekuni ibadah-ibadah dengan
shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan zahid orang ang menjauhi kesenangan dan
kenikmatan dunia, adapun orang yang mensucikan dan memusatkan pikiranya kepada
Tuhannya dan mengharapkan terbitnya cahaya Al-Haq dari Allah, dalam hatina maka
ia dikatakan sebagai Al-‘arif (bijaksana). Adapun sufi adalah suatu
istilah yang digunakan untuk orang yang menganut dan mengamalkan ajaran Tasawuf.
Orang
pertama yang disebut sufi dalam sejarah Islam Abu Hasyim al-Kufi, seorang zahid
yang besar pada masanya. Ia Meninggal 150 tahun setelah Hijrah. Dalam hal ini
merupakan indikasi bahwa istilah Sufi dipakai pada abad kedua Hijriah
atau setelah generasi sahabat.[7] Tujuan awal ini adalah mendidik dan
megarahkan hati kepada Allah dan menitikberatkan kebaikan moral seperti yang
dicontohkan oleh Nabi.[8] Lahirnya Tasawuf tidak
lepas dari gejala masyarakat ang timbul pada saat itu.
4.
Maqamat (Station) dan Ahwal (Keadaan)
Maqamat adalah bentuk kalimat
jamak dari Maqam. Secara harfiah
maqamat berasal dari bahasa Arab berarti tempat orang berdiri yang selanjutnya
digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harusditempuh sufi untuk berada
dekat dengan Allah.[9] Mengani maqam yang harus ditempuh oleh seorang sufi
untuk sampai menuju Tuhan, dalam hal ini pasa sufi berbeda pandangan, ada yang
mengatakan sepuluh, delapan, dan ada juga yang mengatakan tujuh. Meskipun
demikian, ada Maqam yang mereka
sepakati yaitu : taubah, zuhud, wara’, faqr,
shabr, tawakkal. Dan ridiha. Sedangkan tawadhu’,
mahabbah dan ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat.
Untuk mencapai tujuan hubungan
batin dan kedalaman rohaniah, jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi
bukanlah jalan yang mudah, namun penuh dengan rintangan dan hambatan yang
membutuhkan perjuangan keras. Mereka harus menempuh tahapan-tahapan spiritual
yang dalam tradisi tasawuf dinamakan dengan istilah maqam atau station. Untuk
pindah dari satu station ke station berikutnya menghendaki usaha
yang berat dan waktu yang tidak singakat.
Seseorang tidak dapat bernajak
dari satu Maqam ke Maqam lain sebelum ia memenuhi semua
persyaratan yang ada pada Maqam tersebut.
Sebagaimana digambarkan oleh al-Qusyairi bahwa seseorang yang belum sepenuhnya
qanaah tidak bisa mencapai tawakkal. Dan siapa yang belum sepenuhnya tawakkal
tidak bisa sampai pada taslim. Barangsiapa belum taubah tidak bisa sampai pada
inabat dan barang siapa belum wara’ tidak bisa mencapai zuhud, begitu seterusnya.
Maqamat (station).sebagaimana dikutip
oleh simuh dari kitab Al-Luma’ fi Atshawufkarya Abu Nasir al-Sarajj al-Thusi,
yaiti:
a. Taubat
Kata
Taubat berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali, yaitu memohon ampunan Allah
dengan melafalkan kalimat istighfar dari
segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal
kebjikan (taubat nasuha). Taubat adalah tingkat pertama yang harus ditempuh
oleh seseorang yang menuju jalan Allah. As-Sudiy ditanya tentang taubat, lalu
ia menjawab.
التوبة االرجوع من كل شيء ذمة العالم الي ما مدحه العام
Artinya : Taubat adalah kembali dari segala yang dicela
oleh ilmu menuju sesuatu yang dipuji oleh ilmu.”
Allah telah membukakan pintu
taubat selebar-lebarnya kepada manusia yang ingin kembali kepada-Nya. Allah
berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:
يا عبا د انكم تخطعون با اليل واانها ر وان اغفر الذ نوب جميعا فا ستغفرو ني
اغفر لكم.
Artinya : Wahai hambaku,
sesungguhnya kalian melakukan kesalahan (dosa) pada siang dan malah hari. Dan
akulah yang mengampuni semua dosa-dosamu. Maka mohonlah ampunan padaku, niscaya
Aku mengampuni kalian.[10]
Menurut Dzunun al-Mishri bahwa
taubatnya orang awam adalah dari dosa-dosa. Sedangkan taubatnya orang yang
khusus (khawwash) adalah karena
kelalaian. Artinya, mereka bertaubat jika memikirkan selain Allah.
Banyak sekali ayat yang
memerintahkan manusia untuk bertaubat kepada-Nya, di antaranya Allah berfirman:
Artinya : Kembalilah kamu kepada tuhanmu,
dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu
tidak mendapat pertolongan.”
Jika manusia telah bertorbat,
maka hal itu ibarat mendatangkan dua malaikat yang membelah dada manusia dan
mencucinya dengan embun atau dengan air zam-zam. Taubat adalah menyucikan diri
dari maksiat sehingga dapat menghapus dosa-dosa sebelumnya.
Banyak penjelasan tentang
mengenai taubat sebagai mana dikutip dalam bukunya “ Kunci-Kunci Rahasia
Sufi” di katakan bahwa taubat dibagi kepada tiga macam.[11], antara lain: Pertama adalah orang awam yang tidak mampu menagkpa
kebenaran Ilahi.seseorang merasa ketidakmampuannya sebagai salah satu yang
menggelisahkan dan ia sadar, bahwa dosa-dosanya yang membuat hatinya berkabut,
dia berpaling kepada Allah dan mengucapkan kata taubat dengan kalimat-kalimat
yang relevan” Astagh Irullah al-Azim“.
Kedua orabg yang separuh sadar kembali akan kebenaran Ilahi dibalik selubung
Eksistensi material. Dia merasakan getaran dosa di dalam batinya dan merasa menesal sekali terhadap apa-apa
yang telah dilaksanakan, dilakukan, lalu muncul dalam pikirirannya bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah,
bahwa ia telah lalai dan mohon ampun kepada Allah.
Ketiga adalah orang-orang yang hidup dengan
hati-hati, yang hidup sebagai dikatakan dalam hadits “ Bahkan ketika
mereka tidur, hati mereka bangun,” akan segera menanggalkan apa saja yang menabiri
antara Allah dengan hatinyadan fakultas hati lainnya, dan memperoleh kembali
kesadaran tentang hubungan mereka dengan Cahaya dari Cahaya. Mereka selalu
memanisfestasikan makna Dia adalah sebaik-baik hamba ! sesungguhnya dia selalu bertaubat kepada Tuhannya.
b.
Wara’ (Berpantang)
Wara dalam kamus didefinisikan
sebagai menhan dari hal-hal yang tidak pantas dan sia-sia dan menjauhkan diri
secara ketat dan hal-hal yang haram dan terlarang serta menjauhkan diri dari
hal-hal yang meragukan. Kaum sufi mendefinisakan wara adalah sebagai selalu
menjaga kedekatan dengan-Nya
Wara sangat berhubungan dengan
aspek lahir dan batin dari perlaku manusia seorang pengelana di jalan wara
pasti mencapai puncak taqwa. Penulis mengutip syair dari Fariduddin al-Attar
menjelskan prinsip wara yang sangat indah.
Wara membangkitkan rasa takut kepada Allah.
Orang tanpa wara akan jatuh dalam kehinaan.
Siapa saja yang mengkuti jalan wara dengan benar
Apapun yang ia lakukan adalah semata-mata karena Allah
Tanpa wara pernyataan Cintanya adalah palsu.
Setelah melakukan perubahan
yang benar, maka seorang salik akan melakukan tingkatan selanjutnya yaitu “
Wara’ wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang subhat. Rasulullah bersabda.
دع ما ير يبك الى مالا ير يبك
Artinya: Tinggalkan apa-apa yang mergukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu. (H.R Tirmizi, hasan Shahih). Wara adalah hati-hati dalam berkata dan berbuat serta apa-apa yang dipikirkannya.
c.
Zuhud (Asketisme)
Zuhud secara harfiah adalah tidak ingin kepada
sesuatu yang bersifat keduniaan. Menurut HarunNasution yang dikutip oleh oleh
Prof. Dr. Abudin Nata bahwa zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia kematerian.
Zuhud adalah ketidakpedulian terhadap keduniaan dan hidup dengan cermat dan
memilih untuk menghindari diri dari dosa dan memandang rendah dunia dalam aspek
dunia dan nafsunya.[12] Ada juga yang berpendapat bahwa zuhud adalah
menghindari dari hal yang haram. Zuhud merupakan salah satu ajaran agama yang
sangat penting dalam mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Seorang
yang zahid akan lebih mementingkan kehidupan akhirat dari pada dunia yang sifat
dan kenikmatannya hanya sementara. Adapun menurut al-Ghazali(540-505 H/150
-111M) hakekat zuhud ialah berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada susuatu
yang lebih baik, benci dunia mencintai akhirat, atau berpaling dari selain Allah
kepada Allah SWT semata-mata. Mereka berdalil dengan ayat:
Artinya : “Katakanlah, kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Dan kamu tidak akan dizalimi
sedikitpun.” (QS. Al-Nisa: 78). [13]
Artinya : “Tiadalah kehidupan dunia ini kecuali main-main dan senada
gurau belaka. Dan sungguh kempung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Apakah
kamui tidak berfikir.”(QS. Al-An’am: 32).[14]
d.
Faqir
Faqir atau fakir artinya orang yang membutuhkan atau
miskin. Sedangkan menurut kaum sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa
yang telah ada pada diri kita. Tidak meminnta rezeki kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban. Akan tetapi jika diberi, maka tidak menolak. Ada juga
yang mengatakan bahwa yang dimaksud disini adalah spiritual.[15]
e.
Shabar
Shabar artinya menahan atau menaggung penderitaan,
kesusahan serta kesulitan dan menunjukan ketabahan saat menghadapinya penuh
dengan ketenangan. Sabar menurut pada sufi adalah menjaga adab saat musibah
menimpa. Sabar adalah menahan diri tanpa memperlihatkan keputusan. Sabar adalah
tidak mengikuti baha nafsu. Sebar adalah karakteristik yang melekat pada setiap
Nabi dan rasul saat mereka menyampaikan
dakwah kepada umatnya. Para sufi berpendapat bahwa segala penderitaan dan
kesulitan yang menimpa mengandung berkah dan rahmat serta hikmah di baliknya.
Orang yang tertimpa musibah seharusnya tidak mengeluh kepada orang lain.
Alfudhuli berkata, “Engkau bilang kau adalah pecinta, jadi jangan mengeluh
terhadap penderitaan dari cinta. Dengan mengeluh, jangan sampai orang lain tahu
penderitaanmu.” Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri
dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika
mendapat cobaan dan menampakan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam
kefakiran dalam bidang ekonomi.[16] Allah
berfirman:
Artinya
: Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai kteguhan dari
hati dan Rasul-rasul dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka”. (Qs: 35)
f.
Tawakkal
Tawakal
secara harfiyah adalah penerahan diri. Meurut sahal bin Abdullah pada walanya
adalah apa bila seorang hamba dihadapkan Allah seperti mayat dihadapkan orang
yang memandikannya, tidak ada memiliki daya dan kekuatan untuk melawannya. Ada
juga yang berpendapat bahwa Tawakkal adalah berpegang teguh kepada Allah. Harun
Nasution berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Abudin Nata bahwa Tawakkal
adalah menyerahkan diri kepada qada dan qadhar Allah.[17]
g.
Ridha
Ridha berarti kerelaan, suka
dan senang, dalam sebuah hadits disebutkan, ridhalah dengan apa yang diberikan
Allah kepadamu niscaya kamu akan menjadi manusia yang paling kaya. [18]. Ridha juga berarti tidak menolak atau benci terhadap musibah dan menerima
tanpa keluhan. Definisi lain dari ridha adalah menunjukan sikap penerimaan
dengan lapang dada dan senang terhadap apapun perlakuan Allah kepada diri, baik
sesuatu yang menyenangkan atau tidak. [19]
Biasanya manusia sukar menerima
keadaan-keadaan yang sulit menempa dirinya, seperti kematian, kemiskinan dan
kekgagalan. Yang dapat bertahan dari cobaan itu adalah orang-orang yang telah
memiliki sifat kerelaan. Selain itu juga rela berjuang pada jalan Allah, rela
menghadapi kesukaran, rela mebela kebenaran, berkorban jiwa dan raga. Itu semua
dipandang oleh orang-orang sufi merupakan sifat-sifat terpuji. Ketujuh maqam
ini mengarah kepada peningkatan secara tertib dari satu maqam ke maqam
berikutnya.
h.
Ahwal
Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan
atau situsai kejiwaan, yang dalam bahasa Inggris di sebut dengan state.
Menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata, hal adalah sebuah
keadaan mental seperti sedih,senang dan lain sebagainya. Hal masuk adalam hati
seseorang merupakan suatu anugrah yang diberikan Allah. Hal datang dan pergi
dari diri seseorang tanpa perjalanan tertentu. Karena ia datang dan pergi
secara tiba-tiba dan tidak sengaja. Maka sebagaimana di katakan al-Qusyairy,
bahwa pada dasarna maqam adalah upaya (Makasib) sedang hal adalah karunia
(Mawahib).[20]
Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia namun seseorang yang ingin
memperolehnya tetap terus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau
ibadah. Adapun kondisi ahwal tersebut adalah :
1.
Muraqabah
Muraqabah dalam definisi sufi adalah
Kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan
waspada. Sehingga segala daya dan
pikiran dan imajinasinya tertuju pada
satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh Muraqabah akan penyatuan
antara tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia. Muraqabah merupakan hal
yang sangat penting. Karena, pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah
dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan kata lain
muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang
individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya bahwa
Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya akan selalu mawas diri,
menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya. [21]
2.
Mahabbah
Di antara para ulama ada yang
menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi, yang merupakan
pencapaian para sufi. Dimana semua jenjang yang dilalui bertemu dalam maqam
mahabbah. Mahabbah mengandung keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang
dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan berpaling kepada yang laian. Ia
senatiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang
dicintainya. Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa ketika
seorang yang dilanda rasa cinta akan dipenuhi ingatan pada sang kekasih, bahkan
ia mepupakan sifat sendiri. [22]
Lebih jauh lagi sebenarnya
kesadaran cinta mengimplikasikan sikap pecinta yang senantiasa konsisten dan
penuh konsentrasi kepada apa yang dituju dan yang diusahakan, dengan tanpa
merasa sulit dan berat untuk mencapainya. Karena segala sesuatunya dilakukan
dengan penuh kesenangan dan kegembiraan tanpa ada perasaan terpaksa atau
tertekan. Kesadaran cinta juga berimplikasi diri seseorang dengan sikap
pecintanya terhadap segala apa yang ada dan terjadi di alam semesta. Sehingga
segala sesuatu, bai yang bersifat positif
yang berwujud kebaikan maupun
yang berbentuk kejahatan dan kekurangan, semua diterima dengan lapang dada.
3.
Khauf
Al-Qursyairi mengemukakan bahwa Khauf
terikat dengan kejadian akan datang. Yakni akibatnya sesuatu yang dibenci dan
sirnanya sesuatu yang dicintai.[23] Takut kepada Allah berarti
takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana
frman Allah :
Dalam ayat lain juga
diungkapkan, yang artinya : ” Mereka menyeru kepada Tuhanmu dengan penuh rasa takut.”
Memang perasaan ini sangat sulit untuk kita
bisa pahami oleh seseorang dengan kasap mata. Karena hal ini sangat terkait
dengan pengalaman keberagamaan seseorang yang bersifat pribadi. Sehingga
dikatakan oleh Ibn Iyadh bahwa hana mereka yang termasuk golongan orang-orang
yang takutlah yang dapat melihat orang-orang
yang takut. Ia mengibaratkan seorang ibu ynag sedih karena kehilangan
anaknya, yang hanya dapat dipahami kesedihannya oleh ibu yang kehilangan
anaknya pula.
Perasaan
takut akan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan secara
otomatis akan memnerikan dorongan untuk melakukan yang terbaik sehingga pada
masa mendatang ia kan menerima akibat yang baik pula. Seorang yang diliputi
perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk
kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena
keinginan-keinginan nafsunya atau akan karena kepentingan sesaat, seorang yang
khauf akan berpikiran jauh kedepan.
4.
Raja’
Raja’adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang
diinginkan terjadi pada masa akan datang. Al-Qusyairi membedakan antara harapan
dan angan-angan (tamanni), raja’ bersifat aktif, sementara tamanni bersifat
pasif. Seseorang yang berharap sesuatu ia akan berupaya semaksimal mungkin
untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya. Sementara orang yang
mengangan-angankan sesuatu ia hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun
yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan yang diangan – angankan.[25]
Ibn Khubaiq membagi harapan menjadi 3 bentuk : 1.
manusia yang melakukan amal kebaikan, denga amal keabikan akan diterima Alla.
2. manusia yang melakukan amal buruk, kemudian ia bertaubat, dengan harapan
akan mendapatkan ampunan dari Allah. 3. orang yang menipu diri dengan terus
menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan ampunan. Di katakan bahwa 59
harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan
aktivitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan
demikian, ia akan melakukan segala aktivitasnya terbaiknya dengan penuh
keyakinan.
5.
Syauq
Rindu (Syauq) melupakan luapan perasaan
individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang
dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala
sesuatu yang dirindukan. Begitupun seorang hamba yang sedang dilanda kerindan
kepada Allah SWT akan terlepas hasrat segala hasrat selain Allah. Oleh karena
itu sebagai bukti perasaan rndu adalah
terbebasnya sesorang dari hawa nafsu.
Secara psikologis, seorang yang dilanda perasaan
rindu, mereka yang segala aktivitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju
pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya kebenaran yang
hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat
mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senatiasa terjaga
dari segala yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan
melakukan tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan tanpa
merasa keraguan dan kecemasan.
6.
Uns
Perasan suka cita (uns) merupakan kondisi kejiwaan. Di mana
seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan, atau dengan pengertian lain di
sebut dengan pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang dalam kondisi (uns)
akan merasakan kebahagiaan, kesenagan dan suka cita yang meluap-luap. Kondisi
seperti ini dirasakan oleh seorang sufi ketika berdekatan dengan Tuahn-Nya.
Yang mana hati dan perasaannya diliputi oleh suka, cinta, kelembutan kasih
sayang yang sangat luar biasa sehingga sangat sukar untuk di lukiskan.
Kondisi ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam keadaan tertentu,
misalnya ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan atau merdunya suara
musik, yang mana seorang sufi benar-benar merasakan keindahan Allah. Tentu saja
individu yang satu dengan yang lain memiliki pengalaman yang berbeda-beda
dengan muatan dan perasaan yang bersifat pribadi. Sehinga tidak dapat di
gambarkan dengan jelas oleh orang lain.
7.
Tuma’ninah
Tuma’ninah adala keteguhan atau ketentraman hati
dari segala hal yang dapat mempengarhuiya. Hal ini di dasarkan pada firman
Allah :
Artinya : “ Wahai jiwa yang tenang, kembalilah
kehadirat Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya. Masuklah dalam
golongan hamba-hamba ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”. ( Q.s. 27-30).
Ibn Qasim membagi Tuma’ninah ke dalam tiga
tingkatan: ketengana hati dengan mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada
kashf, ketentraman pada perindu pada batas penantian. Ketiga, ketentraman Tuhan
dalam kasih sayang-Nya. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan fana’ dan baqa’.
Menurut pandangan sejumlah sufi fana’ adalah gugurnya sejumlah sifat-sifat
tercela, sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji. [26]
8.
Musyahadah
Penjelasan tentang musyahadah sering dikaitkan
dengan uraian tentang Muhadarah dan mukasyafah berarti kehadiran qalbu dan
mukasyafah kehadiran qalbu dengan sifat nyatanya. Sedangkan musyahadah adalah
kehadiran al-Haqq dengan tanpa dibaangkan. Al-Junaidi memberikan penjelasan
bahwa seorang yang dalam ahapan muhadarah selalu terkait dengan sifat-sifat
Tuhan. Orang yang mukasyafah terhampar oleh sifat-sifat Tuhan. Sedagkan
musyahadah adalah ditemukan zat Tuhan. Orang yang ada pada puncak musyahadah
kalbunya senatiasa kalbuna dipenuhi oleh cahaya-cahaya ketuhanan, sehingga
ibarat kilatan cahaya dimalam hari yang tiada putus sama sekali. Sehingga
malampun laksana siang hari yang nikmat. Begitulah gambaran orang yang
diseimuti cahaya ketuhanan dalam musyahadah.[27]
9.
Yakin
Al-Yakin dalam terminologi sufi adalah merupakan
perpaduan antara ilmu Al-Yaqin Ain Al-Yaqin Dan Haqqul Yaqin ‘Ilmu Yaqin
adalah sesuatu yang ada dengannya syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain yaqin
adalah sesuatu ada yang dengan disertai kejelasan. Haqqul yaqin adalah sesutau
yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataan. ‘ilmu yaqin dibutuhkan mereka yang cendrung rasional.
‘Ainul yaqin bagi para ilmuan, sedangkan Haqqul yaqin bagi orangorang ma’fifah.
Jelasnya al-yaqin adalah sebuah kepercayaan yang tak tergoyahkan tentang
kebenaran pengetahuan yang dimilikinya, karena penyaksiannya dengan segenap
jiwanya dan dirasakan oleh seuruh ekspersinya, serta disaksikan oleh segenap
eksistensinya.[28]
C. Penutup
Islam adalah agama yang
luwes sehingga ia dapat diterima oleh banyak orang. Islam menghalalkan kepada
penganutnya mengejar kenikmatan duniawi asal dicapai dengan jalan yang baik dan
suci. Namun, ketika islam mengalami masa eemasannya, perekonomian menjadi baik
dan kaya. Maka merka terlena dengan kehidupan tersebut dan gaa hidup pun
berubah. Melihat fenomena ini, terdapat orang-orang yang masih konsisten
menjalankan agamanya. Lalu memberikan nasehat bahwa kehidupan dunia adalah
membuat terlena dan mengedepankan akhlak terpuji. Maka pada abad ke 2 hijriah
munculah istilah tasawuf, meskipun prakteknya sudah ada pada zaman Rasulullah.
Dalam penjelasanna, tasawuf berkembang dengan pesat sehingga memunculkan
cabang-cabang Tasawuf seperti Tasawuf akhlaki dan Tasawuf falsafati. Tasawuf
adalah jalan menuju pengetahuan tentang Allah dengan cara memperbaiki akhlak,
memperbanyak ibadah serta tidak menjadikan dunia dalam hatinya. Sehingga dengan
jalan itu seorang hamba lebih dapat merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya dan
dalam segala segi kehidupannya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Ghanimi Al-Taftazani, Abu Al-wafa, Sufi
Dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Pustaka,1997.
Al Qur’an Yayasan
Penyelengaraan Penerjemah Al qur’an, al
Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1985
Gulen Fathullah, Kunci-Kunci
Rahasia Sufi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2001.
Hamka, Tasawuf Modren, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1970.
Ihsan Ilahi Zahir, Abdurrahman abdul
Khalik, Pemikiaran Sufisme Di Bawah
Bayanmg-Bayang Fatamorgana, Jakarta : Amzah, 2001.
Mahmud Abdul Halim, Tasawuf Di Dunia
Islam, Bandung: CV, Pustaka Setia.2002.
Malik
Abdulah, Madrasah Pendidikan Jiwa, Jakarta PT raja Grafindo Persada,
2006
Nasution Harun, Falsafah Dan Mistisme
Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Nata Abudin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya
Dalam Dunia Islam, Jakarta, Rajawali
Pers: 1997.
Siregar Rifa’i, Tasawuf Dari Sufisme
Ke Neo- Sufisme, Jakarta : Rajawali Persada, 2002
[1] Abu Al-Wafa Al-Ghanimi Al-Taftazani, Sufi Dari Zaman
ke Zaman,Terjemahan (Bandung: Penerbit Pustaka,1997),h. 23-27.
[3] H.A. Rifa’i Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Ke Neo-
Sufisme, ( Jakarta : Rajawali Persada, 2002),h. 32
[4] Abdurrahman Abdul Khalik
dan Ihsan Ilahi Zahir, Pemikiaran Sufisme
Di Bawah Bayanmg-Bayang Fatamorgana,( Jakarta : Amzah, 2001)Cet.2,h. 11-13
[10]
Abdul Malik, Madrasah Pendidikan Jiwa, ( PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta),h. 65-78
[11] Fathullah Gulen, Kunci-Kunci Rahasia
Sufi, ( PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001),h. 22-23
[13]
Al Qur’an surat Al-Nisa ayat 78, Yayasan Penyelengaraan Penerjemah Al qur’an, al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen
Agama, 1985.
[14]
Al Qur’an surat Al-An’am ayat32
Yayasan Penyelengaraan Penerjemah Al qur’an, al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1985
[15]
Abdul Malik, Madrasah Pendidikan Jiwa, ( PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta),h.54
[16]
Al Qur’an surat Al-An’am ayat 35,
Yayasan Penyelengaraan Penerjemah Al qur’an, al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama, 1985
[19] Simuh, Tasawuf dan
Perkembangannya Dalam Dunia Islam, ( Jakarta, Rajawali Pers: 1997),cet
2,h.49
[20] Ibid, h. 56
[22] Ibid, h. 34
[23] Ibid, h. 36
[24]
Al Qur’an surat Ali Imran 175 Yayasan Penyelengaraan Penerjemah Al
qur’an, al Qur’an dan Terjemahannya,
Departemen Agama, 1985
[25] Ibid,h. 46
[26] Fathullah Gullen, op,cit,. h. 220
[27] Ibid,h.189