A.
Pendahuluan
Allah adalah pencipta alam semesta ini, termasuk juga semua yang ada di dalamnya, mulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Allah bersifat Mahakuasa, maha mengatur dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlaq. Maka timbul pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Allah, apakah manusia bergantung 100% kepada taqdir Allah Swt dalam menjalani hidupnya? ataukah manusia mempunyai kemerdekaan dalammengatur hidupnya tanpa bergantung pada taqdir?
Allah adalah pencipta alam semesta ini, termasuk juga semua yang ada di dalamnya, mulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Allah bersifat Mahakuasa, maha mengatur dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlaq. Maka timbul pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Allah, apakah manusia bergantung 100% kepada taqdir Allah Swt dalam menjalani hidupnya? ataukah manusia mempunyai kemerdekaan dalammengatur hidupnya tanpa bergantung pada taqdir?
Iman kepada
taqdir merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh oleh setiap muslim. Iman kepada taqdir adalah bagian dari rukun iman, dan
juga merupakan salah satu tanda iman. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah Saw. ditanya oleh Malaikat Jibril
tentang iman, Beliau menjawab bahwa salah satu tanda iman adalah percaya pada
taqdir baik dan taqdir buruk yang telah ditentukan Allah Ta'ala. Pemahaman
seperti inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf. Orang
yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan
tauhid kepada Allah Swt. dan berjalan di atas petunjuk Rabb-nya.
Dalam permasalahan taqdir (qadha dah qadar) ini ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan saling bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Di antara kelompok tersebut adalah Qadariyah dan Jabariyah. Pemikiran qadariyah ini bercorak liberal, sedangkan jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional.
Dalam permasalahan taqdir (qadha dah qadar) ini ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan saling bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Di antara kelompok tersebut adalah Qadariyah dan Jabariyah. Pemikiran qadariyah ini bercorak liberal, sedangkan jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional.
Munculnya corak
pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan karena semakin luasnya wilayah
Islam ke Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan dan
pemikiran dari ajaran-ajaran lain, terutama filsafat Yunani. Seperti diketahui
wilayah-wilayah yang bergabung dengan Islam, terutama di bagian Barat adalah
wilayah-wilayah yang pernah diduduki oleh bangsa Romawi(Yunani).
B. Qadariyah
1. Pengertian dan asal usul qadariyah
Kata Qadariyah
berasal dari bahasa Arab qadara yang berarti kemampuan dan kekuatan.
Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau
kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya sendiri, bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan
Allah.[1]
Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan nama free will dan free act.[2]
Tidak ada
keterangan pasti kapan paham ini muncul dalam sejarah perkembangan teologi
Islam. Tetapi menurut keterangan para ahli teologi Islam, paham qadariyah
pertama kali dibawa oleh seorang bernama Ma’bad al-Juhani yang berasal dari
Bashrah dan temannya bernama Ghailan al-Dimasyqi. Menurut
Ibnu Nabatah dalam bukunya syarh al-‘uyun, Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Iraq.[3] Dan
menurut al-Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’I yang baik, tetapi ia memasuki
kawasan politik dan memihak ‘Abd al-Rahman Ibn Asy’as dalam menentang kekuasaan
Bani Umayyah. Ma’bad mati terbunuh dalam tahun 80 H.[4] Ia mati
dibunuh oleh al-Hajjaj, seorang gubernur dari Bani
Umayyah yang terkenal kejam dan berdarah dingin.
Setelah kematian
Ma’bad, Ghailan terus menyebarkan paham qadariyah di Damaskus, tetapi ini tidak
berjalan lancar karena mendapat tantangan dari khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd
al-‘Aziz. Baru setelah kematian ‘Umar ia melanjutkan kegiatannya yang sempat
terhenti pada masa itu. Tapi akhirnya ia mati dihukum bunuh oleh Hisyam ‘Abd
al-Malik.Sebelum dilaksanakan hukuman tersebut diadakanlah debat antara Ghailan
dan Awza’i yang langsung dihadiri oleh Hisyam mengenai paham yang dibawa
Ghailan[5].
Qadariyah adalah
sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap perbuatan hambaNya
dan mereka berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan terhadap
makhlukNya.Mereka berpendapat bahwa tidak ada takdir, mereka mengingkari iman
dengan qadha dan qadar. Mereka juga mengatakan bahwa Allah tidak menentukan dan
tidak mengetahui sebuah perkara sebelum terjadi, bahkan Allah baru mengetahui
sebuah perkara setelah terjadi. Dalam
kitab Al-Milal wa Al-Nihal, pembahasan
masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin
Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas.
Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh
kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga dijadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya, sebahagian orang juga menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua
aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[6]
2. Paham dan doktrin qadariyah
Hampir
semua paham-paham qadariyah bertentangan dengan apa yang dipahami ahlu
al-sunnah wa al-jamaah. Adapun paham yang dikembangkan kaum qadariyah
diantaranya adalah:
1. Meletakkan
posisi manusia sebagai makhluk yang merdeka dalam tingkah laku dan semua
perbuatan, baik dan buruknya. Mereka meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan
untuk menentukan nasibnya tanpa ada intervensi dari Allah Swt. Jadi manusia
mendapatkan surga dan neraka karena kehendak mereka sendiri bukan karena
taqdir. Paham ini merupakan ajaran terpenting dalam keyakinan qadariyah.[7]
2. Kaum
qadariyah mengatakan bahwa Allah itu Esa, dalam artian bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat Azaly, seperti ilmu, kudrah dan hayat. Menurut mereka
Allah mengetahui semuanya dengan zatNya, dan Allah berkuasa dengan zatNya,
serta hidup dengan zatNya, bukan dengan sifat-sifat qadimNya tersebut. Mereka
juga mengatakan, kalau Allah punya sifat qadim tersebut, maka sama dengan
mengatakan bahwa Allah lebih dari satu.[8]
3.
Takdir merupakan ketentuan Allah SWT terhadap hukum alam semesta sejak
zaman azali, yaitu hukum yang dalam Al-Qur’an disebut sunnatullah,[9]
seperti matahari terbit dari timur, rotasi bumi dll. Tidak termasuk perbuatan
dan tingkah laku manusia.
4. Kaum
qadariyah berpendapat bahwa akal manusia
mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah
tidak menurunkan agama. Agama tidak menyebabkan sesuatu menjadi baik karena
diperintahkannya, dan tidak pula menjadi buruk karena dilarangnya. Bahkan
perintah atau larangan agama itu justru mengikuti keadaan segala sesuatu, kalau
sesuatu itu buruk, tentu saja agama melarangnya, begitu sebaliknya.[10]
Sebenarnya dalam
golongan qadariyah sendiri ada perbedaan pendapat dan pemahaman seputar masalah
taqdir. Ada golongan qadariyah yang berpendapat bahwa kebaikan berasal dari
Allah Ta’ala, sedangkan keburukan berasal dari manusia itu sendiri. Pemahaman
ini sama dengan menganggap ada dua pencipta. Ada yang berpendapat bahwa semua
kebaikan dan keburukan penciptanya adalah pelakunya sendiri. Sebagian golngan
qadariyah lainnya menyebutkan bahwa setelah Allah menciptakan makhluk, lalu
Allah menciptakan kemampuan pada makhluk tersebut untuk berbuat sesuai
kemauannya tanpa ada pengaturan lagi dari Allah. Pemahaman ini berarti setelah
Allah menciptakan alam semesta Allah menganggur, hanya menonton kejadian yang
terjadi di alam.
Karena pendapat dan pemahaman-pemahaman
seperti inilah muncul celaan-celaan terhadap qadariyah. Sebagaimana Diriwayatkan
dari Abdullah bin Umar r.a, ia berkata, "Rasullah saw. bersabda, “Qadariyah adalah majusi ummat ini. Jika
mereka sakti jangan kalian jenguk dan jika mereka mati jangan kalian saksikan
jenazahnya," (Hasan, Silsilah Jaami' ash-Shaaghiir [4442]). Ibnu Abi
'Izz al-Hanafi dalam kitab al-Aqidah ath-Thahaawiyah (hal.524)
berkata, "Akan tetapi penyerupaan mereka dengan Majusi sangatlah nyata.
Bahkan keyakinan mereka lebih buruk dari majusi. Karena Majusi meyakini adanya
dua pencipta sedangkan qadariyah meyakini
adanya banyak pencipta."
Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha,
disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai mengatakan :
القدرية خصماء
الله عز وجل في الأرض
"Qadariyyah
adalah musuh Allah di dunia"
Yang dimaksud musuh Allah
di sini adalah musuh mengenai taqdir Allah, karena taqdir Allah terdiri dari
kebaikan dan keburukan. Demikian pula perbuatan manusia terdiri dari dua macam
yaitu baik dan buruk.
Dalam
kitab As-Sunnah, Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin Abd
al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat
saya tentang kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila
tidak mau, mereka harus dihukum mati".
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman
seperti kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin
hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat
seperti mereka. Allah yang Maha Suci, tidak mungkin kekuasaan-Nya
ditembus oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki keinginan
dan kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan
Allah. Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti
kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.
3. Dalil-dalil yang menjadi dasar paham Qadariyah
Ada
beberapa dalil al-Quran yang dijadikan landasan untuk mendukung paham-paham
Qadariyah. Dalil-dalil tersebut diantaranya:
QS al-Kahfi ayat 18
Artinya: dan Katakanlah!! Kebenaran itu datangnya dari
Tuhanmu, Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir".
1)
QS Fussilat ayat
40
Artinya: perbuatlah apa yang kamu kehendaki;
Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2)
QS Ali Imran
ayat 164
Artinya: dan
mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah
menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
3) QS
al-Ra’d ayat 11
Artinya: Sesungguhnya
Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan mereka
sendiri.
C. Jabariyah
1. Pengertian dan asal-usul Jabariyah
Nama
jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Dalam istilah
Inggrisnya paham ini disebut fatalism atau predestination[11].
Dalam kontek pemikiran kalam, istilah jabariyah diartikan bahwa manusia makhluk
yang terpaksa di hadapan Tuhan.
Menurut
Syahrastani, Jabariyah adalah paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara
hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia
tidak punya andil sama sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang
menentukan segala-galanya.
Paham
Jabariyah ini dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham. Tetapi
yang mengembangkannya kemudian adalah Jahm Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm Ibn
Safwan merupakan pendiri golongan Jahmiyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia ikut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani
Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm dapat ditangkap dan kemudian dihukum mati di
tahun 131 H[12].
Selain dua tokoh tersebut, ada satu nama lagi yang cukup dikenal di kalangan
Jabariyah, yaitu al-Husein Ibn Mahmud al-Najjar, seorang tokoh dari golongan
Jabariyah moderat. Paham yang dibawa tokoh-tokoh Jabariyah ini adalah lawan
ekstrim dari paham yang dianjurkan Ma’bad dan Ghailan.
2. Para Pemuka Jabariyah dan Doktrin-Doktrinnya
Menurut
al-Syahrastani, Jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok
ekstrim dan moderat. Di antara tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim adalah Jahm Ibn
Safwan dan Ja’ad Ibn Dirham. Tokoh dari kalangan moderat nama al-Hasan Ibn
Muhammad al-Najjar. Dari tokoh-tokoh ini lahir beberapa kelompok dalam aliran
Jabariyah, diantaranya adalah[13]:
1)
Kelompok Jahmiyah
Mereka
adalah para pengikut Jahm Ibn Safwan, yang kebid’ahan dan ajarannya muncul di
Khurasan. Kelompok ini termasuk dalam kelompok ekstrim Jabariyah.Pada akhir
kekuasaan Bani Umayyah, Jahm akhirnya dibunuh oleh Salam Ibn Ahwaz al-Mazini di
kota Moru, salah satu kota paling terkenal di Khurasan. Diantara doktrin
kelompok Jahmiyah ini adalah:
a)
Allah tidak
memiliki sifat-sifat azaly, karena hal ini akan menjadikan Allah serupa dengan
makhluk. Pendapat ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh
Mu’tazilah.
b)
Bid’ah jabr.
yaitu pernyataan bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan dan daya upaya sama
sekali, bahkan semua kehendaknya muncul karena dipaksa oleh Allah Swt.
c)
Bid’ah irja’,
yaitu bahwa iman cukup hanya dengan ma’rifat. barang siapa yang inkar di lisan
maka hal tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa
lenyap karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam
keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan. [14]
d)
Mereka berpendapat
bahwa surga dan neraka, serta penduduk yang ada di dalamnya tidak kekal.
e)
Kaum Jahmiyah
juga mengatakan bahwa al_Quran adalah makhluk Allah. Pendapat itu merupakan dampak
dari tidak mengakui sifat Allah. Karena Allah tidak bersifat kalam ,
maka al-Quran itu bukanlah kalamullah yang qadim.
2)
Kelompok Najjariyah
Mereka
adalah pengikut Husein Ibn Muhammad an-Najjar. Kelompok ini termasuk kelompok
moderat. Najjariyyah juga terbagi menjadi beberapa kelompok kecil
(Barghutsiyah, Za’faraniyah dan Mustadrikah), tetapi mereka tidak berbeda dalam
prinsip-prinsip pokok dalam aliran Jabariyah[15]. Diantara
doktrin-doktrin Najjariyah adalah:
a)
Mereka
berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, baik
dan buruknya, tetapi manusia mempunyai andil atau peran dalam perwujudan
perbuatan-perbuatan itu.[16]
b)
Tuhan tidak dapat(mustahil)
dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja
memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat
Allah.
3)
Kelompok
Dhirariyah
Aliran
al-Dhirariyah juga merupakan salah satu daripada aliran al-Jabariyyah yang
dipelopori oleh Dirar bin ‘Amru al-Kufi di akhir pemerintahan Bani Umayyah. Pemikiran
yang dibawa oleh Dhirar ini juga dikatakan aliran yang moderat sebagaimana
aliran al-Najjariyah mengenai konsep kasb. Menurut pehaman ini Tuhan dan
manusia bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak
semata-mata dipaksa melakukan perbuatan mereka,
tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan
dalang. Walaupun pada hakikatnya setiap perbuatan manusia itu adalah
diciptakan oleh Allah Swt.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga
berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis
ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[17]
3. Dalil-dalil yang menjadi dasar paham Jabariyah
Paham-paham
yang dikembangkan Jabariyah tetap didasarkan kepada ayat-ayat al-Quran.
Ayat-ayat tersebut diantaranya adalah:
1)
QS al-An’am ayat
112
Artinya: niscaya
mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui.
2)
QS al-Shaffat
ayat 96
Artinya: Padahal
Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
3)
QS al-Hadid ayat
22
Artinya: tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah.
4)
QS al-Anfal ayat
17
Artinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang
membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.
5)
QS al-Insan ayat 30
Artinya:
dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Setelah melihat ayat-ayat yang menjadi sandaran bagi
kaum Qadariyah dan Jabariyah di atas, maka tidak mengherankan kalau dua paham
ini masih tetap berkembang dalam kalangan umat Islam, walaupun pelopor-pelopor
paham ini sudah tiada. Dalam sejarah teologi Islam, selanjutnya paham Qadariyah dianut oleh kaum
Mu’tazilah, sedangkan paham jabariyah, dilanjutkan oleh Asy’ariyah.[18]
D.
Penutup
Berdasarkan
uraian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa:
1.
Qadariyah
adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu Allah terhadap
perbuatan hambaNya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat ketentuan
terhadap makhlukNya.
2.
Jabariyah adalah
paham yang menafikan perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan
perbuatan tersebut kepada Allah Swt. Artinya, manusia tidak punya andil sama
sekali dalam melakukan perbuatannya, Tuhanlah yang menentukan segala-galanya.
3.
Takdir adalah sesuatu yang
harus kita imani, dan ini merupakan salah satu rukun dari enam rukun iman.
4.
Agama kita adalah agama
rasional, sesuai dengan sabda Rasulullahi Saw: “Laa diina liman laa ‘aqla lah”.
Tetapi tidak semuanya yang bisa kita terima dengan akal, ada beberapa hal yang
harus kita terima dengan iman. Imam ‘Ali pernah berkata: “Seandainya semua hal
dalam agama ini bisa diakali, pastilah telapak khuf lebih utama untuk disapu.”
Mudah-mudahan
makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat kita, terutama dalam memahami
paham-paham qadariyah dan jabariyah. Namun penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari
sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika penulisan, dll. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Penulis mohon maaf atas semua
kekurangan dan keterbatasan. Terima kasih atas kerjasama dan saran dari pembaca
semua. Wassalam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Quran dan terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2007
Alkhendra, Pemikiran Kalam, Bandung: Alfabeta, 2000
Al-Syahrastani, Muhammad Ibn ‘Abd al-Karim, Muhammad Ibn Fath Allah
al-Badran, al-milal wa al-nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiah, t.th
Amin, Ahmad, Fajr Islam,Kairo: al-Nahdhah, 1965
Dusar, Bakri, Pemikiran Teologi Agus Salim, Padang: Hayfa Press, 2007
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 2002
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Citra, 1996
[1] Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta, 2000), h. 43
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press,1986), h. 33
[3] Ahmad Amin, Fajr Islam, (Kairo: al-Nahdhah,1965), h. 255
[4] Ibid.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit., h. 34
[6] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al- Nihal ,(Beirut: Dar
al-Kutub Ilmiah), h. 38
[7] Alkhendra, op.cit., h. 44
[8] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h.38
[9] Alkhendra, loc cit.
[10] Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta), h. 47
[11] Harun Nasution, op.cit., h, 33
[12] Ibid, h. 35
[13]Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h. 35
[14] Ibid, h. 74
[15] Ibid, h. 75
[16] Harun Nasution, op.cit., h. 37
[17] Muhammad ibn Abd
al-Karim al-Syahrastani, op.cit., h.78
[18] Harun Nasution, op. cit., h. 39