BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Kalam termasuk salah satu cabang ilmu keislaman yang
muncul semenjak masa yang
terbilang awal. Dalam konteks pemikiran Islam, Ilmu kalam termasuk bagian dari
proses pengalaman Islam yang mengalir dalam bangunan peradaban Islam pada
umumnya. Oleh karena itu, Ilmu kalam tidak dapat dipisahkan dari proses sejarah
peradaban Islam itu sendiri. Ilmu kalam
menjadi suatu rangkaian kesatuan sejarah, dan telah ada di masa lampau,
masa
sekarang dan akan tetap ada di masa yang akan datang. Akan tetapi, setiap
langkah menuju pemikiran Ilmu kalam selanjutnya, diperlukan penguraian dan
analisis yang mendalam dalam hubungannya dengan entitas pandangan dunia keislaman.
B. Batasan Masalah
Mengingat
dari itu, maka pada makalah ini akan dibahas tentang Ilmu kalam dari aspek
berikut :
1. Sejarah muncul
dan penamaan ilmu kalam.
2. Esensi dan
eksistensi ilmu kalam.
3. Prospek
pengembangan ilmu kalam
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Muncul
dan Penamaan Ilmu Kalam
1. Sejarah
Kemunculan Ilmu Kalam
Secara Harfiyah, “Kalam” berarti
pembicaraan atau perkataan.[1]
Di dalam lapangan pemikiran Islam, istilah kalam memiliki dua pengertian: Pertama,
Firman Allah SWT, dan Kedua ‘Ilm al-Kalam,[2]
pengertian yang kedua ini lebih menunjukkan kepada teologi dogmatik dalam
Islam, dan sekaligus merupakan inti pembahasan dalam makalah ini.
Kata-kata “Kalam” sebenarnya
merupakan suatu istilah yang sudah tidak asing lagi, khususnya bagi kaum
muslimin. Secara harfiyah, kata-kata Kalam dapat ditemukan baik dalam al-Qur’an
maupun berbagai sumber lain. Misalnya seperti yang terdapat dalam al-Qur’an
sebagai berikut :
a. Surat an-Nisa ayat
164, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.
b. Surat al-Baqarah ayat
75, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka mendengar kalam Allah, lalu mereka mengubahnya
setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.”
c. Surat at-Taubah ayat
6, “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia dapat mendengar kalam Allah. Kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui.”[3]
Menurut Ibn Khaldum
sebagaimana yang dikutip oleh Yahya Jaya mengatakan bahwa Ilmu Kalam adalah
Ilmu yang mengandung Hujjah-hujjah (al-Hijaj) tentang aqidah keimanan dengan
dalil ‘aqliyat dan bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyelewengkan
aqidah dari Mazhab Salaf Ahl al-Sunnat.[4]
Nurcholis Majid
sebagaimana dikutib oleh Ali Asy-Syabi mengatakan bahwa antara istilah mantiq
dan kalam secara histories ada hubungan. Keduanya memiliki kesamaan, lalu para
Mutakalimin dan filsof mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya
memiliki makna yang sama.[5]
Dari pengertian
tersebut diperoleh gambaran bahwa Ilmu kalam tiada lain adalah perdebatan
teologis di antara umat Islam yang didasarkan atas argumentasi yang logis dan
rasional terutama dalam Kalam Ilahi yang dihubungkan dengan persoalan
manusia seperti baik dan buruk serta kebebasan berkehendak.
Menurut Yahya Jaya semenjak wafatnya Nabi Muhammad SAW
tahun 632 M bermunculanlah persoalan yang pelik di tengah-tengah umat Islam
yaitu tentang siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad SAW sebagai Kepala
Negara yang sudah terbentuk di Madinah, dimana ayat al-Qura’n dan Hadits tidak
ada yang bersifat tegas dan absolute menjelaskannya. Oleh sebab itu muncul
pendapat-pendapat sebagai berikut:
a. Pengganti Nabi
itu haruslah dari suku Quraisy.
b. Nabi Muhammad
SAW sebagai kepala Negara hanya pantas digantikan oleh salah seorang keluarga
sedarah yang terdekat dengan Nabi.
c. Pengganti Nabi
itu tidak musti dari suku Quraisy atau dari kelurga Nabi, akan tetapi bisa
siapa saja dari umat Islam yang mampu.[6]
Sementara itu Harun Nasution
mengatakan bahwa kemunculan Ilmun kalam dipicu oleh persoalan politik
menyangkut peristiwa terbunuhnya Usman Bin Affan yang berujung pada penolakan
Muawiyah atas kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali
Bin Abi Thalib mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan
keputusan Tahkim (arbitrase). sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr
Bin Ash (utusan Mu’awiyah dalam Tahkim) _ sungguhpun dalam keadaan terpaksa _
tidak disetujui oleh sebahagian tentaranya dengan alasan bahwa persoalan yang
terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui Tahkim, akan tetapi
segala bentuk keputusan hanya datang dari Allah SWT dengan kembali kepada
hukum-hukumNya yang terdapat dalam al-Qura’n. Mereka juga memandang Ali bin Abi
Thalib telah berbuat salah sehingga meninggalkan barisannya. Mereka ini
kemudian lebih dikenal dengan nama Khawarij, sementara kelompok yang tetap
mendukung Ali Bin Abi Thalib dikenal dengan nama Syiah.[7]
Disamping persoalan politik tersebut
Yahya Jaya mengatakan bahwa Ilmu kalam juga muncul diakibatkan oleh persolan
pandangan kaum Khawarij bahwa pembunuhan yang terjadi pada perperangan Siffin
(antara kelompok Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Tahalib) merupakan prilaku
Dosa Besar.[8]
Persoalan Dosa Besar ini yang kemudian menurut Yahya Jaya memunculkan tiga
aliran, yaitu:
a. Aliran Khawarij,
menegaskan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar
dari Islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
b. Aliran Murji’ah
mengatakan bahwa orang Mukmin dan Muslim itu adalah orang yang telah
mengucapkan dua kalimat Syahadat dan dosa besar yang dilakukan oleh
seorang Muslim tidak mempengaruhi keimanan dan keislamanya..
c. Aliran
Mu’tazilah memandang bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat Syahadat
maka ia dapat disebut orang mukmin sekaligus muslim. Manakala ia melakukan
dosa besar maka ia tidak lagi dapat disebut orang mukmin, melainkan hanya
sebatas orang muslim.[9]
Persoalan lainnya yang menyebabkan
munculnya Ilmu kalam adalah perbedaan pandangan umat Islim tentang perbuatan
manusia dan takdir (nasib) yang diwakili oleh golongan Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya, sementara Jabariyah berpendapat manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Dalam perkembangan selanjutnya
paham Qadariah ini banyak dianut oleh golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand, sementara paham Jabariyah banyak dianut oleh aliran Asy’ariyah dan
Maturidiyah Bukhara.[10]
Berdasarkan uraian tentang empat (4)
persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam sekaligus sebagai
penyebab lahirnya Ilmu Kalam telah memunculkan enam (6) aliran Ilmu kalam,
yaitu aliran Syi’ah, Kahawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Maturidiyah, Qadariyah
dan aliran Jabariyah.
2. Penamaan Ilmu
Kalam
Ilmu kalam disebut
dengan beberapa nama, antara lain :
a. Ilmu Ushuluddin.
Penyebutan Ilmu kalam dengan ilmu Ushuluddun ini dikarenakan ilmu ini membahas
pokok-pokok Agama (ushuluddin). Selain itu ilmu Ushuluddin juga membahas
mengenai prinsip-prinsip kepercayaan Agama dengan dalil-dalil yang Qath’i (Al
Qur’an dan Hadits Mutawatir) dan dalil-dalil akal pikiran.[11]
b. Ilmu Tauhid. Adapun
ilmu Tauhid menegaskan bahwa Allah SWT adalah Esa dalam Dzat-Nya (tidak
terbagi-bagi), Esa dalam sifat-sifat Nya yang azali (tiada bandingan bagiNya)
dan Esa dalam perbuatan-perbuatanNya (tidak ada sekutu bagiNya). Di dalam ilmu
Tauhid juga dikaji tentang Asma (nama-nama) dan Af’al
(perbuatan-perbuatan) Allah SWT baik yang Wajib, Mustahil dan Jaiz serta RasulNya.[12]
c. Fiqh Al-Akbar. Menurut Abu Hanifah hukum Islam yang
dikenal dengan istilah Fiqh terbagi atas dua (2) bagian, pertama Fiqh
al-Akbar yang membahas keyakinan atau pokok-pokok Agama dan kedua Fiqh
al-Asghar yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah dan cabang
ajaran Agama.[13]
d. Teologi Islam. Kata
Teologi merupakan istilah yang diambil dari bahasa Inggris yaitu “Theority”.
William Reese mendefinisikannya dengan “discourse or reason concerning”
God (diskusi atau pemikiran tentang Tuhan). William Reese lebih jauh
mengatakan, “Theology to be a discipline resting truth and independent of
both philosophy and science” (Teologi merupakan disiplin ilmu yang
berbicara tentang kebenaran wahyu serta independent filsafat dan ilmu
pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa Teologi adalah penjelasan
tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman Agama secara rasional.[14]
Dari berbagai
penamaan Ilmu kalam tersebut, penulis memahami bahwa pada dasarnya Ilmu kalam
adalah suatu ilmu yang membahas tentang persoalan pokok-pokok dasar Agama
terutama tentang persoalan keyakinan terhadap Tuhan dan segala sesuatu
tentangNya seperti dzat, sifat dan perbuataNya, kebeasan manusia dalam
berkehendak serta sifat-sifat RasuNya.
B. Esensi dan
Eksistensi Ilmu Kalam.
1. Esensi Ilmu
Kalam
Semua aliran dalam Ilmu kalam berpegang kepada
wahyu sebagai sumber pokok. Dalam hal ini, perbedaan yang muncul hanyalah
bersifat interpretasi mengenai teks ayat-ayat al-Qura’n dan Hadits.
Perbedaan dalam interpretasi ini yang kemudian menimbulkan aliran-aliran yang
tidak sama. Diantara para Teolog ada yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya
yang kuat untuk memberi interpretasi yang bebas tentang teks al-Qura’n dan Hadits
Nabi sehingga dengan demikian timbulah aliran teologi yang dipandang
liberal dalam Islam, yaitu Mu’tazilah.
Di pihak lain, terdapat pula sekelompok teolog yang
melihat bahwa akal tidak mampu untuk memberikan interpretasi terhadap teks al-Qur’an,
seandainyapun dianggap mampu resiko kesalahannya lebih besar dari pada
kebenaran yang akan didapatkan. Kendatipun justru fakta ini yang didapatkan,
namun semua teolog sepakat bahwa sumber kebenaran itu hanyalah wahyu Tuhan itu
sendiri. Sehingga dalam pemikiran Ilmu kalam, teks yang dibaca tersebut sering
terlepas dari tradisi, konteks atau sejarah yang melingkupi turunnya ayat yang
dibacakan tersebut. Padahal tradisi jauh lebih kompleks dibanding penuturan
sebuah teks. Sebuah contoh yang disampaikan oleh Komarudin Hidayat, ibarat
gambar sebuah gunung pada sebuah peta, dalam kenyataan teritorinya yang
namanya gunung keadaannya jauh lebih kompleks dari pada apa yang tergambar pada
peta itu.[15]
Namun demikian, dalam perspektif teologis teks justru memainkan
peran yang sangat besar bagi terjalinnya komunikasi antara Tuhan dan manusia
dan antar manusia itu sendiri, antara zat (Tuhan) yang metafisik dengan manusia
yang konkret. Hanya saja masalah yang jarang kita temukan dalam pemikiran
kalam adalah bahwa teks (al-Qur’an) yang diyakini sebagai Firman Tuhan Yang
Maha Gaib dalam kenyataan telah memasuki wilayah historis, sehingga dalam
pemahaman akan teks (al-Qur’an) yang justru banyak ditemukan adalah Analogi
Konseptual antara The World Of Human Being dan The World Of God
dan tidak menggunakan Analogi Historis-Kontekstual, misalnya antara
dunia Muhammad yang Arabic dengan dunia umat Islam lain yang hidup di
zaman serta wilayah yang berbeda sama sekali. Meskipun diyakini bahwa teks
(al-Qur’an) seakan-akan merupakan “penjelmaan” dan “kehadiran” Tuhan,
namun bagaimanapun juga begitu memasuki wilayah sejarah, teks tadi terkena
batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia.[16]
Meskipun demikian, paling tidak ada tiga faktor yang
menyebakan bahwa kitab suci ini mempunyai eksistensi yang tetap dan diyakini
secara penuh : Pertama, ia dipelihara melalui tradisi lisan secara turun
temurun. Kedua, ia terdokumentasikan dalam bentuk tulisan yang terjaga
rapi sehingga terhindar dari manipulasi historis, Ketiga, diperkuat lagi
oleh tradisi dan ritual keagamaan yang selalu memasukkan ayat-ayat (al-Qur’an)
sebagai bacaan dan doa-doanya.[17]
Bila dihubungkan dengan aliran-aliran yang ada dalam
Ilmu kalam, baik tradisional maupun liberal, kedua model atau cara berfikir
kelompok tersebut tetap terkait dengan teks tadi. Teologi liberal menghasilkan
paham dan pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam dimana penganut teologi
ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas disebut
dalam ayat-ayat al-Qura’n maupun Hadits yang tidak bisa diinterpretasi lagi
selain arti harfiyahnya. Sebaliknya penganut teologi tradisional kurang
mempunyai ruang gerak karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma tetapi
juga pada ayat-ayat yang mengandung arti Zhanni, yaitu ayat-ayat yang
bisa mengandung arti lain dari arti Letterlet yang terkandung di
dalamnya, dan ayat-ayat ini terkadang mereka artikan secara harfiyah.[18]
Berangkat dari uraian tersebut penulis memahami bahwa
Ilmu kalam secara esensialnya membicarakan di satu sisi tentang pokok-pokok
keyakinan seorang individu terhadap Tuhannya dan hubungan antara manusia dengan
sesamanya secara tekstual ayat. Sementara di sisi lain Ilmu kalam juga hendak
membicarakan tentang bagaimana seorang individu dapat mempertanggungjawabkan
apa yang dipercayainya tersebut secara masuk akal tanpa terlepas dari histori-kontekstual
teks.
2.
Eksistensi Ilmu Kalam
Berdasarkan objek pembahasan Ilmu kalam, yakni
eksistensi Tuhan dan sifat-sifat Nya dalam hubungannya dengan alam semesta
serta manusia, metode yang digunakan adalah deduktif dengan menjadikan eksistensi
Tuhan sebagai suatu hal yang diyakini kebenarannya. Penalaran metode deduktif
mensyaratkan penggunaan teori koherensi sebagai ukuran kebenaran dalam proses
pengambilan suatu pengetahuan. Menurut teori koherensi ini, kebenaran satu
proposisi hanya dapat diterima jika sesuai dengan proposisi sebelumnya yang
sudah diterima kebenarannya.[19]
Berangkat dari pernyataan dan pengakuan yang sudah
mutlak benar yang kemudian diikuti dengan prinsip-prinsip yang membuktikannya, para
ahli kalam berbeda dalam perspektif ini karena adanya perbedaan dalam
menampilkan konsep Tuhan yang dijadikan premis utama, yaitu :
a. Kaum Mu’tazilah tertarik pada
masalah kebebasan untuk berkehendak dan berbuat, maka titik pangkal pemikiran
mereka bukan pada masalah itu sendiri tetapi mereka mengkaji masalah tersebut
selama ada kaitannya dengan eksistensi Tuhan, yaitu apakah kebebasan
berkehendak dan berbuat sesuai atau tidak dengan konsep mengenai Tuhan Yang
Maha Adil. Kaum Mu’tazilah, seperti yang diterangkan oleh ‘Abdul Jabbar, keadilan
erat hubunganya dengan hak, dan konsep Tuhan adil mengandung arti bahwa segala
perbuatannya adalah baik, Tuhan tidak dapat berbuat buruk dan tidak dapat
mengabaikan kewajiban-kewajibanNya terhadap manusia,[20] dengan demikian dapat difahami bahwa kaum Mu’tazilah yang menjunjung tinggi konsep keadilan
Tuhan.
b. Kaum As’ariyah justru menjunjung
tinggi konsep kekuasaan mutlak Tuhan. Doktrin kaum Asy’ariyah (mengenai
hubungan perbuatan manusia dalam kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan)
digambarkan dengan istilah “al-Kasb”. Al-Kasb adalah sesuatu yang timbul
dari yang berbuat (al-muktasib) dengan perantaraan daya yang
diciptakan.[21]
Dengan kata lain bahwa yang mewujudkan al-Kasb (perbuatan manusia)
sebenarnya adalah Tuhan itu sendiri, karena bagi al-Asy’ari Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak yang menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Jika
Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada dan jika Tuhan tidak menghendakinya
niscaya ia tiada.[22] Jadi
dari konsep kekuasaan mutlak Tuhanlah al Asy’ari sampai kepada kesimpulan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.[23]
Berdasarkan analisa terhadap doktrin yang dikemukakan
oleh dua aliran teologi tersebut nampaklah bahwa adanya penggunaan metode
deduktif dalam kajian Ilmu kalam, yaitu penurunan doktrin dari yang bersifat
umum ke doktrin yang bersifat khusus dengan konsekwensi bahwa teori koherensi harus
menjadi kriteria dalam mencapai kebenaran. Penggunaan teori koherensi sebagai
kriterium kebenaran sudah barang tentu menjadikan pemikiran kalam bercorak metafisik-spekulatif
dan kurang mampu berdialog dengan realitas empiris kehidupan masyarakat yang
terus berubah.
Analisa itu juga menunjukan bahwa keberadaan Ilmu
kalam selama ini cenderung berbicara tentang hal-hal yang bersifat Abstrak
dimana semua pembahasan berawal dan berkaitan dengan Tuhan. Pembahasan tersebut
ternyata masih dirasakan belum bersentuhan dengan persoalan bagaimana interaksi
manusia dengan kultur budaya dalam kehidupannya.
C. Prospek
pengembangan ilmu kalam
Corak bangunan epistemologi Ilmu kalam (yakni kriteria
kebenaran didasarkan kepada kesesuaian logik antara doktrin-doktrin yang
dibangun) harus memerlukan adanya kritik historis. Produk pemikiran kalam
sebagai respon terhadap fenomena masyarakat yang muncul pada penggalan sejarah
tertentu barangkali memang relevan dengan persoalan-persoalan pada masanya,
tapi akan menjadi mandul dan kehilangan makna ketika dihadapkan pada fenomena
empirik kontemporer. Pada sisi inilah barangkali diperlukan adanya pembaharuan
epistemologi Ilmu kalam.
Pola logika pemikiran Ilmu kalam yang bersifat
deduktif merupakan pola yang mirip dengan cara berpikir Plato. Plato pernah berpendapat
bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui oleh manusia adalah berasal dari Idea,
yaitu ide-ide yang telah tertanam dan melekat pada diri manusia secara kodrati
sejak awal mulanya.[24]
Ide kebajikan dan keadilan misalnya, menurut Plato
tidaklah diketahui melalui pengalaman historis-empiris-induvtif semata, akan
tapi diperoleh dari ide bawaan yang dibawa oleh manusia sejak sebelum lahir.
Manusia tinggal mengingat kembali tentang ide-ide bawaan yang telah melekat
begitu rupa dalam keberadaannya. Seperti yang ditulis Amin Abdullah bahwa
Plato tidak pernah menyetujui pendapat bahwa ilmu pengetahuan dapat diperoleh
manusia melalui pengetahuan dan pemeriksaan secara cermat dan seksama terhadap
realitas alam dan realitas sosial sekitar kalau hanya mengandalkan pengamatan
dan pengalaman indrawi.[25]
Pemikiran Islam
pada umumnya dan pemikiran kalam pada khususnya juga bersifat deduktif seperti
itu. Hanya saja fungsi ide-ide bawaan dalam pola pikir Plato terebut diganti
untuk tidak mengatakan diislamkan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks Hadits.
Bahkan sering kali melebar sampai ke-Ijma’ dan Qiyas yang
memerlukan adanya Dalil dan Istidlal sebagai landasan pola pikir
dan pola bertindak dalam kehidupan keseharian umat Islam. Pola pikir ini dengan
mudah menggiring seseorang dan kelomok ke arah model berfikir yang justifikatif
terhadap tek-teks yang sudah tersedia.[26]
Jadi, jika teologi atau Ilmu kalam betul-betul ingin
menjadi ilmu maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi atas kitab suci
tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan data empiris
kontemporer.[27]
Hal senada juga dikemukakan oleh Walter H. Capps, bahwa studi agama masa depan
harus meminjam dan mengadaptasi sejumlah pemahaman dan penemuan dari
berbagai disiplin keilmuan yang lain.[28]
Sebagaimana yang telah disampaikan bahwa pola pikir
dan logika yang digunakan dalam Ilmu kalam adalah pola pikir deduktif, pola
pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks). Sementara itu perkembangan ilmu pengetahuan
era abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola
pikir abductif. Pola pikir ini lebih menekankan the Logic Of Discovery
dan bukan The Logic Of Justification, dimana pengujian secara kritis terhadap
apa yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan (termasuk di dalamnya rumusan
manusia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah) dapat dikaji
kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang
terus-menerus berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.[29]
Lebih dari itu persoalan-persoalan yang dihadapi pada
masa sekarang ini lebih diwarnai oleh isu-isu masalah kemanusiaan secara
universal. Isu seperti demokrasi, pluralitas Agama dan budaya, hak asasi
manusia, lingkungan hidup, kemiskinan struktural menjadi tantangan sekaligus
menjadi agenda persoalan yang dihadapi oleh generasi masa kini. Isu-isu
tersebut jelas berbeda dengan isu-isu abad pertengahan dan zaman klasik pemikiran
Islam yang biasa diangkat dalam kajian Ilmu kalam dan Falsafah Islam klasik.[30]
Ketika dihadapkan kepada isu-isu masa lalu tersebut
pengembangan dan pembaharuan pemikiran Ilmu kalam memang merupakan suatu keniscayan.
Tahapan awal dalam upaya mengembalikan “keseimbangan” antara bobot pemikiran Ilmu
kalam yang bermuatan Moralitas Normatif sementara tuntutan perkembangan
ilmu pengetahan kontemporer yang bersifat empiris mutlak diperlukan kritik
epistemologis mendasar yang konstruktif.[31]
Selanjutnya upaya rekonstruksi itu harus menuju pada sebuah format teologi yang
bisa berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan
saat ini.
Untuk itu objek kajian Ilmu kalam yang bersifat transendent-spekulatif
(seperti pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan) yang relevansinya kurang jelas
dengan kehidupan masa kini harus diganti dengan kajian yang lebih aktual,
seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan sejarah, korelasi antara keyakinan
Agama dengan pemeliharaan keadilan dan masih banyak lagi aspek lain.
Hassan Hanafi secara radikal melontarkan pandangan
tentang perlunya upaya penggeseran wilayah pemikiran yang dahulu hanya
memusatkan perhatian kepada persoalan-persoalan ketuhanan (teologi) ke arah
paradigma pemikiran yang lebih menelaah dan mengkaji secara serius persoalan
kemanusiaan (antropologi).[32]
Terlebih pula bahwa sumber kebenaran Ilmu kalam
kontemporer yang tidak hanya terpusat pada wahyu dan dataran konsep yang dipikirkan
tapi secara metodologis harus menerima masukan dari produk barbagai disiplin
keilmuan kontemporer.[33]
Kendatipun semangat fundamentalisme begitu mencolok dalam fenomena
seperti ini akan tetapi hal itu bukanlah satu-satunya gejala yang ada di
dalamnya, bahkan terdapat perkembangan yang sering bertolak belakang. Perubahan
yang cenderung “anarkis” dan kemajemukan wacana mendorong sebagian cendikiawan
untuk memunculkan paradigma pemikiran yang lebih inklusif, toleran, dan perlunya
pengertian terhadap kelompok lain.[34]
Menurut Linbeck setidaknya masalah kebenaran muncul
dalam bentuk konsistensi atau pertalian masing-masing bagian dari sebuah
sistem, yaitu antara sistem dalil-dalil yang ditawarkan, pernyataan-pernyataan
doktrinal teologis dan praktek-praktek keagamaan masyarakat.[35] Dalam
melihat Agama sebagai sebuah keyakinan, Lindbeck secara epistemilogis
mengatakan bahwa “dalam sebuah teori, seseorang harus mengevaluasi klaim-klaim
kebenaran berdasarkan ketetapan di antara berbagai keyakinan beserta
pengalaman-pengalaman yang ada”, sehingga untuk evaluasi ini seseorang harus
menggunakan berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk memahami data baru
dan menyiapkan penafsiran yang mudah dipahami dari berbagai situasi.[36]
Dengan kata lain bahwa wilayah inti (hard core)
dari wahyu serta dimensi normativitas ajaran Agama akan tetap seperti itu apa
adanya, dan hanya wilayah interpretasi ajaran Agama yang bersifat historis-relatif
yang akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan
perkembangan ilmu pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi.
Jika memang begitu adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi justru
menunjukkan adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Apa yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa
kebenaran Agama biarlah berjalan apa adanya dimana substansi kebenaran ajaran Agama
tetap berlangsung apa adanya dan tak perlu diragukan apalagi ditolak, hanya
saja lebih dari semua itu diperlukan adanya pembenahan ulang terhadap berbagai
konsep dan teori dimana dan dalam kondisi apa Ilmu kalam itu dibangun.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian singkat makalah ini, kiranya dapat diambil
beberapa kesimpulan dalam rangka menggambarkan rangkaian kerangka pembahasan
sebagai berikut :
1.
Ilmu kalam adalah perdebatan teologis di antara umat Islam
yang didasarkan atas argumentasi yang logis dan rasional terutama dalam Kalam
Ilahi yang dihubungkan dengan persoalan manusia seperti baik dan buruk
serta kebebasan berkehendak.
2.
Ilmu kalam muncul disebabkan oleh:
a.
Persoalan pergantian kepemimpinan dalam Negara Islam
b.
Persoalan politik menyangkut peristiwa terbunuhnya
Usman Bin Affan dan penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Persoalan tersebut berujung pada pada ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali Bin
Abi Thalib dengan terjadinya perperangan Siffin yang berakhir dengan
keputusan Tahkim (arbitrase).
c.
Persoalan kelompok Khawarij yang menghukum kafir
orang-orang yang terlibat dalam penyelesaian perang Siffin dengan jalan Tahkim
serta menghukum dengan dosa besar pembunuhan yang terjadi pada perperangan
tersebut.
d.
Persoalan tentang perbuatan manusia dan takdir.
3.
Ilmu kalam memiliki nama antara lain adalah Ilmu
Ushuluddin (ilmu tentang dasar-dasar Agama), Ilmu Tauhid (ilmu tentang
mengesakan Tuhan), Fiqh Akbar dan Teologi Islam.
4.
Ilmu kalam secara esensialnya membicarakan tentang pokok-pokok keyakinan individu
terhadap Tuhan dan hal-hal yang berhubungan denganNya, hubungan antara manusia
dengan manusia dan sesama manusia serta bagaimana seorang dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dipercayainya tersebut secara Logis dan
rasional.
5.
Selama ini eksistensi Ilmu kalam lebih mengarah kepada hal-hal yang
bersifat Abstrak dimana semua pembahasan berawal dan berkaitan dengan Tuhan
serta belum bersentuhan dengan persoalan bagaimana interaksi manusia dengan
kultur budaya dalam kehidupannya.
6.
Format Ilmu kalam selama ini masih terkesan berada dalam domain spritualitas
keagamaan umat Islam, sehingga kedepannya diperlukan kritik historis-kontekstual
pada aspek struktur epistemologi yang terkandung di dalamnya, sumber, metodologi
dan keabsahan kebenaran yang telah didapatkan darinya sehingga dapat diketahui penyebab
berbagai penyimpangan yang terjadi dalam realitas kehidupan Muslim dan
menjadikan Agama Islam sebagai salah satu alat memecahkan problem sosial yang
sedang dihadapi dan untuk dapat melihat lebih dekat makna hakiki dari ajaran
agama Islam itu sendiri.
B.
Saran
Disadari bahwa cakupan pembahasan Ilmu kalam dalam makalah ini spenuhnya
belumlah memuat dan menguraikan hal-hal yang menjadi sub topik pembahasan yang
telah ditetapkan dalam silabus mata kuliah Studi Pemikiran Islam. Akan tetapi
kiranya pembahasan ini dapat menjadi batu loncatan dan bahan pembuka wacana,
saran dan argumentasi yang logis-konstruktif dari para pembaca, sehingga apa
yang menjadi sasaran dari penulisan makalah ini untuk dapat menjadi karya
ilmiah yang memiliki kualitas keilmuan yang baik dapat dicapai dengan baik.
Amin
[1] Mircea Eliade, The
Encyclopedia of Religion, Vol VII, (New York: Mac Millan Publishing
Company, 1987), h. 231
[2] Ibid
[3] Sahilun A. Nashir, Ilmu
Kalam, (Surabaya Bina Ilmu, 1980), h. 9
[4]
Yahya Jaya, Teologi Islam, (Padang: Angkasa Raya padang, 2000), h. 54-55
[6]
Yahya Jaya, Op. Cit, h. 58
[7] Harun Nasution, Teologi
Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia), 1986, h. 12
[8]
Yahya Jaya, Op. Cit, h. 59
[9]
Ibid.
[10]
Ibid, h. 61
[11] Musthafa Abd
Ar-Raziq, Tamhid Li Tarikh, (Al-Islamiyah,
tt), h. 265
[12] Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid, Terj. Firdaus An, (Bulan Bintang, Jakarta, 1965), h. 25
[13] Raziq, Op. Cit,
h. 268
[14] William L. Resse, Dictionary
of Philosophy Religion, (USA: Humanities Press Ltd, 1980), h. 28
[15] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 23
[17] Ibid, h. 241
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1972), h. 151
[19] Vincent Brummer, Theology and Philosophical
Inquiry: An Introduction, (London: The MacMillan Press Ltd., 1981),
h. 172
[20] Abd al-Jabbar Ahmad, Syarh
al-Ushul al-Khamsah, Abd. al-Karim ‘Usman (ed), (Kairo: Maktabah Wahbah,
1965), h. 132-133
[21] Abu Hasan al-Asy’ari, Kitab
al-Luma’ fi al-Rad ‘ala Zaig wa al-Bida’, (Kairo: tp, 1965), h. 76
[22] Al-Asy’ari. al-Ibanah ‘an Ushul
al-Diniyah, Fauqiyah, (editor) Husein Mahmud, (Mesiar: tp., 1977), h. 51
[23] Op. Cit, h. 57 dan
70
[24] HM. Amin Abdullah, Kajian Ilmu
Kalam di IAIN, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI, (Yogyakarta: IAIN Suka, 2000), h. 85
[25] Ibid.
[26] Ibid, h. 86
[27] Nancey Murphy, Theology in The
Age of Scientific Reasoning, (Ithaca and London: Cornell University Press,
1990), h. 87
[28] Walter H. Capps, Religious Study:
The Making of a Discipline, (Minneapolis: Augsburg Portress, 1995), h. 331
[29] M. Amin Abdullah, Kajian Ilmu
Kalam Di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman Pada Era
Milenium Ketiga, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamis Studies, No 65,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2000), h. 86
[30] Amin Abdullah, Falsafah Kalam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 89
[31] Ibid, h. 29
[32] Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyyah,
(Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt.), h. 205
[33] Walter H. Capps, Religious Study:
The Making of a Discipline, (Minneapolis: Augsburg Portress, 1995), h. 331
[34] Azyumardi Azra, Kontek Berteologi
di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 16
[35] Linbeck, The nature of Doctrine,
(Philadelphia: Westminster Press, 1984), h. 64-66
[36]
Ibid, h. 66