I.
PENDAHULUAN
Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya beberapa golongan
dan aliran dalam Islam pada dasarnya berawal dari menyikapi permasalahan
politik yang terjadi diantara umat Islam, yang akhirnya merebak pada persoalan
Teologi dalam Islam. Tegasnya adalah persoalan ini bermula dari permasalahan
Khilafah, yakni tentang siapa orang yang berhak menjadi
Khalifah dan bagaimana mekanisme yang akan digunakandalam pemilihan seorang Khalifah. Di satu sisi umat Islam masih ingin mempertahankan cara lama bahwa yang berhak menjadai Khalifah itu adalah secara turun temurun dari suku bangsa Quraisy saja. Sementara di sisi lain umat Islam menginginkan Khalifah dipilih secara demokrasi, sehingga setiap umat Islam yang memiliki kapasitas untuk menjadi Khalifah bisa ikut dalam pemilihan.
Khalifah dan bagaimana mekanisme yang akan digunakandalam pemilihan seorang Khalifah. Di satu sisi umat Islam masih ingin mempertahankan cara lama bahwa yang berhak menjadai Khalifah itu adalah secara turun temurun dari suku bangsa Quraisy saja. Sementara di sisi lain umat Islam menginginkan Khalifah dipilih secara demokrasi, sehingga setiap umat Islam yang memiliki kapasitas untuk menjadi Khalifah bisa ikut dalam pemilihan.
Rumitnya persoalan ini dipicu oleh ego kesukuan dan
kelompok yang saling mementingkan kelompok masing-masing, hingga akhirnya
memuncak pada masa kekhalifahan Usman Bin Affan, yakni pada tahun ke 7
kekhalifahan Usman sampai masa Ali Bin Abi Thalib yang mereka anggap sudah
menyeleweng dari ajaran Islam. Sehingga terjadilah saling bermusuhan bahkan
pembunuhan sesama umat Islam. Masalah pembunuhan adalah dosa besar dalam Islam,
dalam menyikapi masalah inilah persoalan politik merebak ke ranah teologi dalam
Islam. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat dan faham, yang akhirnya
muncul dalam bentuk kelompok dan golongan yang menyebabkan umat Islam terdiri dari
beberapa golongan dan aliran.
Dalam makalah ini Penulis membahas tentang Sekte dan
Ajaran Pokok golongan Khawarij dan Murjiah yang muncul karena terjadinya permasalan
politik kenegaraan dalam Islam, serta perbedaan pendapat dikalangan umat Islam
yang mempengaruhi munculnya teologi dalam Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Kaum Khawarij
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa kaum Khawarij berasal pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan keluar
dari barisannya disebabkan oleh ketidak
setujuan mereka terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menyetujui tawaran damai
dengan Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dalam perang siffin yang dikenal dengan
arbitrase atau tahkim. Mereka merasa arbitrase hanya menguntungkan bagi pihak
Mu’awiyah yang menyatakan Mu’awiyah lah yang harus diakui sebagai Khalifah.
Nama Khawarij berasal dari kata ”Kharaja” yang artinya” keluar”.
Nama itu diberikan kepada mereka dikarenakan mereka keluar dari barisan Ali Bin
Abi Thalib. Menurut Ahmad Amin, nama Khawarij mereka sendiri yang menamakannya berdasarkan
surat Annisa’ ayat 100, yang didalamnya disebutkan ” Keluar dari rumah lari
kepada Allah dan Rasulnya. Berdasarkan pendapat ini kaum Khawarij memandang
kelompok mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya
untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasulnya.[1]
Mereka juga
menamakan diri mereka dengan ”al- Syur`at”, yang berasal dari kata ”Yasri”
artinya ” menjual” yang terambil dari surat al- Baqarah ayat 207. Dan mereka
juga mempunyai nama lain yaitu al-
Harurat, disebabkan setelah meninggalkan Ali mereka berkumpul di sebuah desa
dekat kota Kuffah yang bernama Harura. Di sinilah mereka mengangkat Abdullah
Bin Wahab Arrasibi sebagai imam mereka sebagai ganti dari Ali Bin Abi Thalib.[2]
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari kata Khawarij yang artinya keluar , karena mereka menyatakan
keluar dari barisan Ali disebabkan tidak setuju dengan arbitrase atau tahkim.
Dan disandarkan kepada penyebab mereka menyebut golongan mereka dengan nama
khawarij, karena mereka menganggap golongan mereka sebagai orang-orang yang
bersikukuh dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka harus
meninggalkan barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib. Hal ini disebabkan oleh karena mereka
tidak sependapat dengan Ali untuk menghentikan peperangan yang sudah diambang kemenangan
dan memilih arbitrase. Dan ternyata Mu’awiyah yang sudah berpengalaman
memanfaatkan arbitrase dengan kelicikannya untuk menobatkan diri sebagai orang yang
berhak menjadi Khalifah.
Konon pada awalnya
Ali meragukan untuk menerima tawaran arbitrase atau tahkim yang ditawarkan oleh
Mu’awiyah dan pengikutnya, karena Ali tahu persis dengan kelicikan dari
Mu’awiyah sekalipun Mu’awiyah dan Amru Bin Ash mengangkat Mushaf sebagai dasar
bertahkim kepada Al-Quran, untuk mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan
pengikutnya. Akan tetapi dengan pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin
Abi Thalib yang setuju dengan tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib menerima
dengan lapang dada demi menjaga keutuhan kelompoknya.
Namun sebagian lagi dari pengikut Ali Bin Abi Thalib tidak
setuju dengan arbitrase, karena kemenangan sudah hampir mereka peroleh dalam
perang siffin, dan menurut mereka arbitrase hanya menguntungkan bagi Mu’awiyah
dan Amru Bin Ash yang licik dengan taktiknya. Sehingga mereka yang tidak setuju
dengan menyatakan mundur dan keluar dari
barisan Ali. Mereka pergi menuju Harura, sebuah desa di dekat kota Kuffah di
Irak. Dan mereka mengangkat Abdullah Bin Wahb Al Rasyidi menjadi Imam mereka. Inilah
kelompok yang dikenal dengan sebutan Khawarij yang pertama yang beranggotakan
sekitar 12 ribu orang.[3]
Kelompok Khawarij disebut pula dengan Haruriyah, karena
dinisbatkan kepada Harura nama desa yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan
Al-Muhkamah, karena mereka yang mengatakan ”Bahwa tidak ada ketetapan Hukum
kecuali milik Allah”. Mereka juga menamakan kelompok mereka sendiri dengan
sebutan Asy-Syurat yang artinya orang yang menjual atau mengorbankan diri
kepada Allah berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 207.[4]
Dengan demikian nyatalah Khawarij sebagai suatu golongan
yang memisahkan diri dari pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, disebabkan oleh
watak yang keras dan pemikiran yang ekstrim dari mereka, sehingga Khawarij
dianggap sebagai kelompok pemberontak dimasa Kekhalifahan Ali. Dalam berbagai
pertempuran besar Khawarij dapat dikalahkan oleh pasukan Ali. Namun akhirnya
seorang Khawarij yang bernama Abd Al-Rahman Bin Muljam berhasil membunuh Ali
Bin Abi Thalib.
Walaupun Khawarij telah mengalami kekalahan, mereka tetap
bisa menyusun kekuatan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuasaan Islam resmi baik di zaman Dinasty Umaiyyah maupun di zaman Dinasty Abbasiyyah. Kemudian dalam perang saudara pada
masa Ibn Az-Zubir, dua gerakan kaum Khawarij yang memliki peran yang sangat
besar dalam merangsang pengembangan teologi sehingga berkembang dengan pesat
dan tumbuh menjadi kelompok yang cukup
besar. Kelompok Khawarij pertama adalah sub sekte Azraqiah sesuai dengan nama
pimpinan mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq dan kepemimpinan Az-Zubair. Namun pada
tahun 684 M, kota Basra jatuh ke tangan Ibn Az-Zubair, sehingga orang-orang
sekte Azrqiah yang tersisa melarikan diri ke pegunungan di sebelah timur Basra.
Akhirnya tentara Bani Umaiyyah yang berkuda pada waktu itu berhasil memusnahkan
kekuatan mereka.[5]
Sebagai
golongan yang ekstrim Khawarij memang menanggapi setiap permasalahan yang
muncul pada waktu itu secara keras dan sempit, siapapun pemimpin Islam, apabila
tidak memerintah sesuai dangan Al-Quran dan Sunnah yang mereka fahami secara
lafziyah, mereka anggap telah menyeleweng dari ajaran Islam, dan mereka mesti
ditentang dan dijatuhkan, bahkan darah mereka menjadi halal atau harus dibunuh.
Namun sebagian kecil dari mereka ada yang berfaham sedikit moderat seperti
Sekte Ibadiyah, yang akan penulis paparkan berikut ini.
B. Sekte dan Ajarannya
1. Al-Muhakkimah
Sekte Al-Muhakkimah adalah golongan Khawarij yang terdiri
dari pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan dirinya telah keluar
dari barisan Ali dalam perang siffin. Mereka disebut dengan golongan Khawarij
Asli. Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dan kedua
pengantara Amru Bin Ash dan Abu Musa Al-Assyari dan semua orang yang menyetujui
arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Kemudian hukum kafir ini mereka perluas
pengertiannya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang melakukan dosa
besar.[6]
Menurut mereka berbuat zina adalah dosa besar, maka bagi
pelaku zina telah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Dan begitu juga dengan
orang yang membunuh sesama manusia tanpa alasan yang sah, menurut mereka juga
dosa besar. Dengan demikian pelaku pembunuhan telah keluar dari Islam dan
menjadi kafir.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa galongan
Khawarij telah menganggap orang-orang yang menerima Tahkim atau arbitrase adalah kafir atau
murtad. Orang-orang seperti ini menurut mereka wajib dibunuh karena tidak
menentukan hukum sesuai dengan Al-Quran. Selain itu mereka juga membicarakan
masalah siapa yang tetap Mu’min yang menjadi ajaran pokok dan teologi Khawarij
seperti pelaku dosa besar.
2. Al-Azariqah
Golongan ini adalah kelompok yang besar dan terkuat
setelah hancurnya golongan Al-Muhakkimah. Daerah kekuasaan Al-Azariqah adalah
pada perbatasan Irak dengan Iran. Nama Al-Azariqah terambil dari nama pemimpin
mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq yang meninggal pada tahun 686 M di Irak. Sub
Sekte ini memiliki pandangan yang lebih radikal dibanding sekte Al-Muhakkimah,
karena mereka tidak lagi memakai istilah kafir bagi pelaku tahkim dan dosa
besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme yang dosanya lebih
besar dari trem kafir.[7]
Menurut Al-Azariqah, semua orang yang tidak sefaham
dengan mereka adalah musyrik, walaupun orang yang sefaham dengan Al-Zariqah
tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik.
Menurut mereka, daerah Islam itu hanyalah daerah kekuasaan mereka saja,
sedangkan orang yang tinggal diluar daerah kekuasaan Al-Zariqah adalah musyrik,
mereka boleh ditawan dan dibunuh. Bahkan istri dan anak-anak dari orang yang
dipandang musyrik boleh dibunuh.[8]
Dengan demikian agaknya sekte Al-Zariqah nyata-nyata menganggap hanya
golongan merekalah yang sebenarnya orang Islam, adapun orang-orang yang diluar
lingkungan mereka adalah kaum musyrik dan daerahnya adalah Darul Al Kufr, maka
harus diperangi. Maka Ibn Al-Hazm mengatakan, orang-orang sekte Al-Zariqah
selalu melakukan Isti’rad, yakni selalu mempertanyakan pendapat atau keyakinan
seseorang. Siapa yang mereka jumpai mengaku oarang Islam, yang tidak termasuk
golongan Al-Zariqah langsung mereka bunuh.
Sekte Al-Zariqah
merangsang pemikiran teologis karena secara logika mereka merumuskan kedudukan
Khawarij pada kesimpulan yang ekstrim, prinsip dasarnya yang telah dirumuskan
dalam bahasa Al-Quran bahwa tidak ada keputusan selain keputusan Allah ( La
Hukma Illa Lillah ) yang berarti keputusan adalah hak Allah semata, dengan
demikian menurut mereka keputusan harus diambil sesuai dengan harfiahnya
Al-Quran.[9]
Sekte ini juga berpendapat bahwa penguasa yang telah
berbuat dosa dan menyatakan bahwa siapa yang tidak ikut mereka dalam memerangi
penguasa yang ada juga adalah pendosa. Sedangkan anggota kelompok Al-Zariqah
adalah kelompok muslim sejati.
3. Al-Najdad.
Sekte Khawarij ini muncul disebabkan terjadinya perbedaan
pendapat dengan kubu Al-Zariqah, tentang faham bahwa orang yang tidak bergabung
dengan Al-Zariqah adalah orang musyrik. Maka untuk itu mereka mengangakat
pimpinan sendiri yang bernama Najdah Bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah. Begitu
juga dengan pendapat Al-Zariqah tentang boleh dan halalnya anak dan istri orang
Islam yang tidak bergabung dengan mereka untuk dibunuh.[10]
Najdah memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan dua
sekte Khawarij sebelumnya yakni bahwa orang yang melakukan dosa besar, yang menjadi
kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan
golongannya. Sedangkan pengikut-pengikut Najdah yang melakukan dosa besar,
memang betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan didalam neraka dan kemudian
akan masuk ke syurga. Kemudian dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus akan
menjadi dosa besar dan orang yang mengerjakannya menjadi musyrik.
Sekte Najdah atau Najdiyah kebanyakan mereka terdiri dari
kaum Khawarij yang berasal dari Arabia Tengah yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka
mulai dari tahun 686 – 692 M adalah Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan sekte
Najdah mencakup bentangan luas Arabia bahkan Oman di pantai timur Yaman serta
Hadramaut di selatan dan barat daya. Pertikaian yang sering terjadi dalam
masalah kepemimpinan menjadikan sekte Najdah terpecah kepada beberapa sub
sekte, dan kemudian Yamamah ditindak
oleh tentara Umayyah.[11]
Nampaknya sebagian besar pandangan kaum Najdah
berdasarkan pada pandangan hukum seperti yang biasa muncul dalam pemerintahan
suatu negara yang memiliki wilayah yang luas, seperti persoalan-persoalan
perlakuan pimpinan terhadap tawanan perang wanita, hukuman pengadilan
kasus-kasus pencurian serta perampokan. Dari pandangan kaum Najdiyah mengenai
masalah seperti itu, tergambar bahwa adanya upaya awal untuk mempertimbangkan
kembali konsep-konsep Khawarij, tentang masyarakat Islam sejati dan tujuan
memberikan keringanan karena ketidak sempurnaan manusia dalam menghindarkan
diri dari larangan Agama. Pandangan kaum Khawarij yang keras yang dijadikan dasar
oleh kaum Najdiyah adalah bahwa seseorang yang terlibat dalam dosa besar penghuni neraka. Kalau bagi kaum Al-Zariqah
pelaku dosa besar dengan mudah dapat dikeluarkan dari daerah kekuasaannya,
tetapi bagi kaum Najdiyah yang memiliki daerah yang luas tidak mudah untuk
mengeluarkan seseorang dari wilayahnya, jadi menurut mereka hal itu tidak
diperlukan, ini adalah atas dasar
pertimbangan bahwa manusia normal manapun juga cendrung untuk mengakui
adanya keburukan dan kebaikan.
Menurut kaum Najdiyah dosa kecil yang dilakukan seseorang
akan menjadi dosa besar kalau dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya
akan menjadi musyrik. Kemudian yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah
mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya
pada seluruh yang di wahyukan Allah kepada Rasul-Nya. Orang yang tidak
mengetahui tiga macam ini tidak dapat diampuni. Yang dimaksud orang Islam
disini adalah orang kaum Najdiyah. Dalam masalah selain diatas, orang Islam
tidak diwajibkan untuk mengetahuinya, kalau ia melakukan sesuatu yang haram
dengan alasan ia tidak tahu bahwa itu adalah haram, ia dapat dimaafkan.[12]
Selain itu lapangan politik Najdah berpendapat bahwa Imam
itu perlu jika maslahat menghendakinya. Menurut mereka seseorang boleh saja tidak
berhajat pada adanya imam atau pemimpin. Di kalangan Khawarij, golongan ini
kelihatannya yang berkeyakinan bahwa mereka boleh saja merahasiakan keyakinan
demi untuk keamanan diri seseorang yang disebut dengan Taqiah. Taqiah bukan
hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Dengan demikian
seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan yang
mungkin menunjukkan dia secara lahiriyah nya bukan orang Islam, tetapi pada
hakikatnya ia tetap menganut agama Islam.
Walaupun demikian tetapi tidak semuanya golongan Najdiyah
setuju dengan pendapat tersebut, terutama bahwa dosa besar tidak membuat
pelakunya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Akhirnya
perpecahan dikalangan mereka terjadi dalam masalah pembagian harta rampasan
perang atau qarimah, dan sikap lunak yang diambil oleh Najdah terhadap khalifah
Abd Al-Malik Ibn Marwan dari Dinasty Bani Umayyah. Dalam perpecahan ini Abd
Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Afiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah ke
Sajistan Iran dan akhirnya Najdah dapat mereka bunuh.[13]
4. Al-Jaridah
Golongan ini adalah pengikut Abd. Karim Bin Ajrad yang
sekelompok dengan ’Atiah bin Al-Aswad. Dimana pada awalnya mereka adalah
golongan Al-Najdah, sehingga pemikiran Al-Jaridah serupa dengan pemikiran
Al-Najdah. Diantara pemikiran Al-Jaridah yang spesifik adalah tentang masalah
anak kecil harus bebas dari seruan kepada Islam, kecuali setelah ia baligh. Dan
bagi orang musyrik tetap berada didalam neraka
bersama orang tuanya. Diantara prinsip mereka adalah Hijrah hanya
merupakan keutamaan bukan kewajiban. Orang-orang yang melakukan dosa besar
tetap kafir dan tidak boleh mengambil harta rampasan perang, tidak boleh
membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang.
Kalau Al-Jaridah masih bersikap lunak terhadap kewajiban
berhijrah karena hijrah itu hanya merupakan suatu kewajiban saja. Dan pengikut
Al-Jaridah boleh tinggal diluar daerah kekuasaan mereka, artinya mereka tidak
dianggap kafir. Selanjutnya kaum Al-Jaridah ini mempunyai faham puritanisme. Menurut
mereka Al-Quran sebagai kitab suci tidak mungkin mengandung cerita cinta
sebagaimana yang diyakini golongan lain, sehingga mereka tidak meyakini surat
Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur`an.
5. Al-Sufriah
Pimpinan golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar. Dimana
golongan ini terkenal dengan gerakan evolusi praktis dalam pemikiran Khawarij.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahmud
Abdurrazaq dalam bukunya ”Al-Khawarij fi biladil Magrib” bahwa keyakinan
golongan Sufriyah atau Syafariyah bahwa mereka tidak berlebihan dalam bersikap
yang hanya justru menyebabkan perpecahan dikalangan Khawarij seperti yang
terjadi sebelumnya. Mereka tetap melakukan hukum rajam bagi pezina, tidak
membunuh anak-anak orang musyrik serta tidak mengkafirkan seperti pendapat
golongan Azariqah. Mereka juga membolehkan Taqiah, tetapi hanya dalam
perkataan, bukan perbuatan.[14]
6. Al- Ibadiyah
Golongan Al-Ibadah adalah pengikut Abdullah Bin Ibadh
At-Tamimy. Ia hidup pada pertengahan kedua abad I Hijriyah. Mereka lebih dekat
kepada golongan Islam dari pada golongan Khawarij. Pendapat-pendapat mereka
lebih solider dari pada kelompok Khawarij yang lain. Pada tahun 686 M, mereka
memisahkan diri dari golongan Al-Zariqah. Faham moderat mereka dapat dilihat di
ajaran-ajarannya sebagai berikut :
1.
Orang Islam yang
tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi
kafir. Maka orang Islam yang demikian boleh melakukan perkawinan dengan orang
Islam lain, dan hubungan warisan, shahadat mereka dapat diterima dan membunuh
mereka adalah haram.
2.
Daerah Orang
Islam yang tak sefaham dengan mereka adalah kafir
3.
”Dar Tawhid”
yakni daerah yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp pemerintah. Mereka boleh
diperangi karena menurut mereka camp pemerintah adalah daerah orang kafir.
4.
Orang Islam yang
melakukan dosa besar adalah muwahid, orang yang meng Esakan Tuhan tetapi bukan
mukmin, dan kalaupun mereka kafir tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir
rullah.
5.
Yang boleh
dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta seperti emas dan perak harus dikembalikan kepada yang
punya kecuali bila dia sudah mati.[15]
Kemudian pendapat golongan Ibadiah yang terpenting adalah
bahwa semua yang di wajibkan Allah terhadap makhluknya merupakan gambaran dari
iman. Iman harus mencakup sisi awal yang merupakan bagian dari iman. Namun
mereka tidak memberikan kejelasan tentang masalah kedudukan anak orang musyrik.
Menurutnya mereka boleh saja disiksa atau boleh juga masuk syurga.
C. Ajaran Pokok Khawarij
Diantara ajaran pokok Khawarij berkisar tentang masalah kekhalifahan atau
politik ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal perbuatan umat Islam antara
lain:
1.
Khalifah tidak
mesti berasal dari suku Quraisy, siapa saja yang mapunyai kapasitas untuk
menjadi khalifah dan bisa berlaku adil
dapat dipilih, apabila tidak mampu wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak
bersifat turun temurun. Pendapat ini akhirnya dianut oleh Ahli Sunnah.
2.
Orang Islam yang
melakukan dosa besar adalah kafir. Dosa besar yang dimaksud kaum Khawarij
adalah orang yang bertahkim tidak dengan Al-qur`an, berzina dan memakan harta
anak yatim tidak sefaham dengan mereka dinyatakan kafir.
3.
Untuk menentukan
kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada amal perbuatannya.
Sungguhpun seseorang telah bersahadat, tetapi melanggar ketentuan agama maka
dihukum kafir.[16]
D. Kaum Murji`ah
Munculnya kaum murji’ah ditengah suasana pertentangan
yang terjadi dikalangan umat Islam pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan
munculnya kaum Khawarij. Kaum murji’ah muncul juga disebabkan oleh persoalan politik dalam masalah khilafah.
Dapat dikatakan agaknya kaum murji’ah adalah orang-orang yang tehimpun dalam
sebuah golongan yang tampil beda dalam menyikapi persoalan-persoalan yang
terjadi pada masa mereka . Namun kaum murji’ah tidaklah terpengaruh dengan
praktek kafir-mengkafirkan sesama umat Islam. Mereka lebih netral dibanding
Khawarij yang begitu fanatik dan ekstrim dalam ajarannya.
Kata Murji`ah
berasal dari kata ”al- Irja`” yang berarti ”al- Ta`khir” yang artinya
menangguhkan atau menomorduakan, hal ini berdasarkan pada firman Allah yang
terdapat dalam surat al-A`raf ayat 111,”Qaaluu arjih wa akhaahu” yang artinya
mereka menjawab”beri tangguhlah dia dan saudaranya, dan juga berarti ”I`thaa`u
al-rajaa”. Pengertian murji`ah yang ke dua ini
adalah disebabkan mereka berpendapat bahwa perbuatan maksiat tidak
merusak iman, sebagaimana halnya ketaatan seseorang tidak berpengaruh dengan
kekufurannya.[17]
Murji’ah lebih
tepat dikatakan sebagai suatu kecendrungan atau nazi’ah, yakni sebuah
kecendrungan untuk mencari keselamatan dengan tidak menenggelamkan diri ke
dalam urusan politik, baik sebagai
penyokong maupun sebagai penentang. Semua permasalahan kecil yang menyebabkan
timbulnya masalah besar tampaknya dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan
teori maupun yang bersifat perbuatan dan tindakan.
Sebuah kesimpulan logis yang dapat diberikan terhadap sikap kaum murji’ah adalah bahwa
mereka memandang yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang bukanlah soal
perbuatan atau amalnya, tetapi terkait pada masalah kepercayaan atau iman,
artinya amal adalah sesudah duduknya masalah keyakinan dalam diri orang mukmin.
Inilah yang menjadi salah satu dasar pemberian nama terhadap kaum murji’ah yang
terambil dari kata arjaa’ yang berarti mengambil tempat di belakang. Dalam
artian memandang masalah perbuatan seseorang menjadi kurang penting dalam
menentukan posisi amal atau kafirnya seseorang. Kata arjaa’ juga berarti
penyelesaian persoalan siapa yang salah dan siapa yang benar nanti diserahkan
kepada pengadilan Tuhan. Pengertian lain dari arjaa’ juga mengandung makna
pemberian harapan bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir
tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal didalam neraka, disini jelas masih
adanya penghargaan yang diberikan kepada pelaku dosa besar dengan harapan mendapat
rahmat dari Allah.[18]
C.
Sekte dan
Ajarannya
Beberapa sekte dan ajaran Murji`ah yang terkenal adalah:
1. Yunusiyah
Pemimpin mereka adalah Yunus ibnu `Aun al Hamiri. Mereka
berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah, tunduk dan cinta serta tidak
takabur kepada Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang berarti
telah layak dikatakan sebagai mukmin, sedangkan amal perbuatan yang berbentuk
ketaatan bukanlah unsur dari iman
artinya tidak akan berpengaruh pada iman apabila ditinggalkan.
Bahkan menurut mereka
apabila di hati seseorang telah bersemi rasa tunduk dan cinta kepada
Allah, perbuatan maksiatpun tidak akan bisa merusaknya, dan inilah yang akan
memasukkan seseorang ke syurga.
2. Ubaidiyah
Mereka sependapat dengan sekte Yunusiyah, bahwa dosa dan
kejahatan tidak akan merusak iman . Semua dosa tidak mustahil akan diampuni
Allah selain dosa syirik. Mereka adalah pengikut dari `Ubaid al- Mukta`ib.
3. Ghassaniyah
Mereka adalah pengikut Ghassan al- Kufi. Mereka
berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dan RasulNya , serta mengakui
kebenaran segala ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman bersifat tetap tidak bisa bertambah dan juga
tidak bisa berkurang. Selanjutnya Iman menurut mereka adalah pengakuan dan cinta
kepada Allah, mengagungkannya dan tidak takabur kepada Allah.[19]
4.
Saubaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu Sauban al- Murji`i. Iman
menurut mereka adalah mengakui Allah dan RasulNya , mengetahui apa yang
diperintah dan apa yang dilarang secara rasional menurut mereka bukanlah iman.
5.
Tumaniyah
Mereka adalah pengikut Abu Mu`az al- Tumani. Menurut
mereka iman adalah apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di
dalamnya terkandung berberapa unsur iman yang bisa menyebabkan seseorang
menjadi kufur bila ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq,
mahabbah, ikhlas serta mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. seperti orang
yang meninggalkan shalat atau puasa
karena menganggap halal dianggap kafir, akan tetapi kalau meninggalkannya
dengan niat mengqada maka tidaklah kafir. Orang yang membunah Nabi dipandang
kafir karena dipandang telah menghina dan memusuhi nabi, bukan karena perbuatan
pembunuhannya.[20]
6. Shalihiyah
Pimpinan mereka adalah Shalih ibnu Umar al- Shalihi.
Menurut mereka iman adalah mengenal Allah, siapa yang tidak mengenal Allah
berarti kafir. Ibadah menurut mereka bukan dipandang amal, tetapi adalah iman
itu sendiri yakni mengenal Allah, iman juga tidak bertambah dan tidak berkurang
begitu juga kafir. Shalat , puasa dan ibadah lainnya menurut mereka bukanlah ibadah tetapi adalah ketaatan
melaksanakan iman.[21]
E. Ajaran Pokok Murji`ah
Kaum Murji`ah
yang timbul sebagai reaksi terhadap kaum Khawarij dalam faham mereka sangat bertentangan
dengan faham Khawarij. Dimana menurut mereka orang Islam yang melakukan dosa
besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Masalah dosa besar yang
dilakukannya diserahkan kepada keputusan Allah kelak di Akhirat. Apabila dosa
besarnya diampuni Allah ia akan masuk syurga, kalau tidak ia akan masuk neraka
sesuai dengan dosa yang dilakukan, kemudian dimasukkan ke syurga. Adapun
argumen yang dipakai oleh kaum Murji`ah adalah bahwa orang Islam yang melakukan
dosa besar masi mengucapkan dua kalimat syahadat, orang ini masih tetap mukmin.[22]
Pada umumnya kaum Murji`ah
berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dengan hati. Seseorang dikatakan
mukmin jika dia telah beriman dengan hatinya, walaupun lidahnya tidak
mengucapkan dua kalimah syahadat atau secara lahirnya berprilaku Yahudi atau
Nasrani.[23] Menurut mereka iman
adalah tasdiq, amal seseorang lahir bukanlah karena tasdiq, maka iman dengan
amal tidak memiliki hubungan. Inilah golongan Murjiah yang ekstrim dalam
fahamnya.
Dengan
demikian menurut Murji’ah ekstrim, orang
Islam yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin, karena menurut Abu Hanifah,
iman itu ialah sebuah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang
Rasul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan secara kaseluruhan. Iman
menurutnya tidak bisa bertambah dan tidak bisa pula berkurang serta tidak ada
perbedaan antara manusia dalam masalah iman. Pendapat ini mungkin muncul
dikarenakan Abu Hanifah sebagai seorang imam mahzab yang banyak berpegang pada
logika. Karena menurutnya iman semua orang adalah sama, walaupun dia orang baik
atau orang jahat, sehingga terjadi pro kontra di kalangan ulama dalam menilai
pendapat Abu Hanifah ini sehingga ada yang menggolongkan Abu Hanifah sebagai
tokoh ekstrim Murji’ah.
Menurut mereka sembahyang bukanlah merupakan ibadat
kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepada Allah, dalam arti
Shalikiah sembahyang, zakat, puasa dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan
tidak merupakan ibadat kepada Allah. Karena yang mereka sebut ibadah itu
hanyalah iman kepada Allah.
Agaknya pendapat golongan Murji’ah ini sangat ekstrim
sekali karena menurut pendapat golongan ini antara perbuatan dan amal tidaklah
sepenting iman. Dan hanya imanlah yang menentukan mukmin atau kafirnya
seseorang. Sedangkan perbuatan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap iman.
Iman itu letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak dapat
diketahui oleh orang lain. Makanya ucapan dan perbuatan seseorang tidaklah
mesti mengandung arti bahwa dia tidak mempunyai iman, yang penting adalah iman
di dalam hati.
Golongan Murjiah kedua adalah golongan yang moderat,
mereka berpendapat bahwa seseorang mukmin selama dia mengakui tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya, dia adalah mukmin. Walaupun
dia melakukan dosa besar, namun dosa besar yang dilakukannya tidaklah membuat
dia keluar dari Islam. Artinya di a tetap menjadi orang Islam dan tetap
akan masuk surga. Karena menurut mereka iman bukan hanya membenarkan dengan
hati, tetapi juga harus diikrarkan dengan lisan.[24]
Begitu juga pendapat ini dikuatkan oleh tokoh Murji’ah
yang bernama Al-Bazdawi bahwa iman adalah kepercayaan dalam hati, yang
dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan kepada Tuhan merupakan akibat dari keimanan.
Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah orang kafir. Orang mukmin
yang melakukan dosa besar tidak akan dalam neraka sekalipun dia tidak sempat
bertaubat, artinya nasib seseorang diakhirat tergantung kepada kehendak Allah.
Dengan demikian iman adalah kunci untuk masuk syurga, sedang amal hanya
berfungsi untuk membedakan tingkatan seseorang dalam syurga.
III. P E N U T U P
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa golongan
Khawarij dan golongan Murji’ah adalah dua golongan yang muncul disebabkan
pengaruh politik pemerintah yang akhirnya terpecah-pecah menjadi
kelompok-kelompok kecil. Persoalan yang mereka permasalahkan tidak hanya sebatas
persoalan politik, tetapi sudah merambah persoalan teologi yang menambahkan berbagai faham yang ekstrim dan
moderat. Hal ini adalah disebabkan mereka hidup pada suasana yang begitu keras
dan daerah yang tandus, sehingga berpengaruh pada pola pikir dan cara hidup
mereka selama ini.
Namun kedua golongan ini berbeda satu sama lain. Gologan
Khawarij sangat keras dalam faham mereka terutama dalam hal mengkafirkan seseorang yang tidak bertahkim kepada
Alqur`an , sedangkan golongan Murji`ah lebih menyerahkan pada kehendak Allah,
yang terdiri dari dua golongan besar yakni golongan Murji`ah ekstrim dan
Murji`ah moderat. Apabila dibandingkan dengan aliran yang berkembang dalam
Islam, golongan Khawarij dan Murji’ah adalah golongan pertama yang berhasil
menumbuhkan benih-benih teologi yang semakin disempurnakan oleh golongan yang
muncul sesudah mereka. Sehingga melahirkan berbagai aliran dalam Islam ada
yang Jubariyah dan ada yang Qadriyah dalam menilai ketentuan Allah dalam
kehidupan manusia.
Demikianlah makalah ini penulis buat, dalam rangka
menambah pegetahuan dalam menganalisa perkembangan pemikiran dalam Islam. Dalam
penulisan makalah ini penulis merasakan jauh dari kesempurnaan, saran dan
masukan dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya
penulis mengaturkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
- An- Najjar, Amir, Al- Khawarij,
Aqidatan , Fikratan, wa Falsafatan, Terj.
Khattur, Suhardi, Solo: CV.Pustaka Mantiq, 1992- Hanafi, Ahmad, Pengantar Teologi Islam, Jakarta:
Al- Husna Zikra, 1995- Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran- Aliran Sejarah
Analisa Perbandingan, Jakarta :
Universitas Indonesia Press, 1986
- -------------------, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1979
- -------------------, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979-Watt,W.Montgomery,Islamic
Theology and Fhilosofy, Terj. Umar Basalim, Jakarta: Perhimpunan
Pengembangan Pesanteren dan Masyarakat P3M, 1987
Ya`kub, Tasman, Perkembangan
Pemikiran Islam, Padang: IAIN IB Press, 2004
- Zar, Sirajuddin, Teologi Islam
Aliran dan Ajarannya, Padang: IAIN IB Press, 2003
I. Pendahuluan
Berbicara mengenai asal- usul kata tasawuf, masih terdapat perbedaan pandangan yang
sangat beragam dikalangan ahli. Tidak hanya dikalangan ahli bahasa, ulama salaf
dan para ahli sufi sendiri pun berbeda pendapat dalam mendefenisikan tasawuf.
Perbedaan pendapat dikalangan ahli sufi, antara lain disebabkan oleh karena berbedanya pengalaman
kerohanian melalui penghayatan hidup terbuai dalam kesufian.
Dasar- dasar tasawuf sebenarnya sudah ada
sejak datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW, berdasarkan
Al-qur`anul karim. Hal ini tergambar dari kehidupan pribadi rasul yang
merupakan implementasi dari ajaran tasawuf yang harus diteladani oleh umat
manusia, namun perkembangan nya sebagai suatu ajaran baru pada abad ke dua Hijriyah.
Namun
apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ajaran dalam Islam melalui pengamatan
langsung atau tidak, pada intinya tasawuf atau sufisme dalam bahasa Eropa
adalah ajaran tentang jalan untuk sampai kepada Allah Azza Wajalla melalui
latihan hati yang dikenal dengan mengasah zuqh dengan implikasinya hidup dalam
kezuhudan terhadap segala bentuk kemegahan duniawi. Karena hidup dalam kesufian
adalah hidup yang didasari dengan keikhlasan dalam mendekatkan diri kepada
Allah sedekat- dekatnya , sehingga tidak ada lagi sesuatu yang menjadi halangan
untuk menerima segala bentuk kehidupan yang sudah diyakini berdasarkan
keredhaan Ilahi.
Sehingga di dalam tasawuf dimulai
dengan penyucian jiwa yang dikenal dengan konsep tazkiyah al- nafs yang melalui
tiga tahapan, yakni pembersihan jiwa dari sifat- sifat jelek yang disebut takhalli dan proses kedua adalah mengisi jiwa
dengan amal shaleh, yang disebut tahalli dan ketiga berusaha mendekatkan diri sepenuhnya kepada
Allah dengan mencintai-Nya dengan cinta yang mendalam yang disebut dengan tajalli, sehingga
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Dalam makalah ini penulis membahas
seputar asal usul arti tasawuf ,
perkembangan tasawuf, maqamat dan ahwal.
ASAL- USUL ARTI TASAWUF,MAQAAMAT DAN
AL-AHWAL
II. Pembahasan
A. Pengertian dan Asal- usul arti Tasawuf
Menurut etimologi tasawuf berasal dari kata صف، صوف yang berarti barisan dalam
shalat. Karena seorang sufi adalah orang yang kuat imannya, bersih jiwanya,
selalu shalat pada shaf terdepan. Juga berarti bulu domba yang dijadikan pakaian yakni dikarenakan kebiasaan orang- orang shaleh sering memakai
pakaian sederhana dari bulu dan kulit domba sebagai lambang kesederhanaan.[25]
Menurut Harun Nasution,[26]
Tasawuf berasal dari kata صو في , secara etimologi menurutnya kata sufi antara lain berdasarkan:
1.
Ahlu al- Suffah yakni orang –
orang yang ikut hijrah bersama Nabi dari Mekah ke Madinah. Disebabkan
kehilangan harta, dia hidup dalam kemiskinan sehingga mereka tinggal di samping
Masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai pelana sebagai bantal.
Dalam bahasa arab pelana disebut dengan suffah. Karena mereka memilki sifat-
sifat yang teguh pendirian, taqwa, wara` dan zuhud serta tekun dalam beribadah
mereka disebut dengan suffah.
2.
Sufi berasal dari kata صا في dan
صفي
yang berarti suci. Karena seorang yang sufi adalah orang yang telah
mensucikan dirinya melalui latihan berat yang cukup lama.
3.
Sufi berasal dari kata sophos
bahasa Yunani yang artinya hikmat. Karena masyarakat Yunani adalah orang- orang
yang cenderung terhadap ilmu pengetahuan yang disebut dengan hikmah. Hanya saja
menurut Harun Nasution huruf s pada kata sophos jika ditransliterasikan ke
dalam bahasa Arab menjadi س
bukan ص sebagaimana yang terdapat dalam
kata philosophia.
Berdasarkan beberapa asal kata tasawuf * di
atas, pada hakikatnya pengertian tasawuf adalah sebuah bentuk kehidupan yang
didasari oleh kesederhanaan hidup atau zuhud terhadap dunia, dengan memiliki
akhlak yang terpuji serta memiliki jiwa yang suci dan bersih dari hal- hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai lawan dari bentuk kehidupan sufi
adalah orang – orang yang hidup dengan segala kemewahan dan hawa nafsu tanpa
memperhatikan sikap dan tabi`at yang baik sebagai seorang manusia yang
mempunyai keteguhan hati dalam mengimani dan mengamalkan ajaran Islam dalam
menuju kedekatan dan keredhaan Allah.
Selanjutnya
Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam,
bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan sehingga
disadari pengalaman seorang sufi bahwa
seseorang telah berada di hadhirat Tuhan . Intinya tasawuf atau sufisme ialah
sebuah kesadaran yang sebenarnya bahwa adanya komunikasi dan dialog antara roh
ketuhanan manusia atau Nasut dengan roh kemanusiaan Tuhan atau Lahut dengan
jalan dengan berkontemplasi penuh yang di dalam tasawuf disebut dengan ittihad
yakni bersatu dengan Tuhan.
Pendapat lain tentang asal usul
kata tasawuf adalah :
1.
Berasal dari bahasa Yunani
yaitu dari kata theosophi yang berarti Tuhan dan sophos yang berarti Hikmat.
Jadi theosophia dan sophos adalah hikmat ketuhanan. Hal ini disebabkan oleh karena ajaran tasawuf banyak
membicarakan masalah ketuhanan.
2.
Kemudian kata tasawuf merujuk pada
kata shafwah yang berarti sesuatu yang terpilih. Ini dikatakan karena orang-
orang sufi biasanya memandang diri mereka adalah sebagai orang pilihan atau
orang terbaik.
3. Tasawuf berasal dari kata shaufanah yang berarti sejenis buah- buahan
kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini dikarenakan melihat kehidupan
orang- orang sufi yang banyak memakai
pakaian yang berbulu dan mereka hidup dalam kesengsaraan fisik, tetapi
bahagia dengan kesuburan batin.[27]
Pendapat di atas
agaknya juga berpedoman dengan memperhatikan kepada kondisi kehidupan para sufi
yang dihubungkan dengan sesuatu yang memiliki kolerasi dengan pengertian
tasawuf itu sendiri. Secara bahasa memang sangat beragam pendapat para ahli
dalam memberikan pengertian tasawuf menurut asal kata dari tasawuf , kemudian
mereka hubungkan dengan eksistensi para sufi dalam mengamalkan ajaran tasawuf
dalam kehidupan kesehariannya.
Agar lebih jelasnya defenisi tasawuf, disini akan penulis sebutkan
beberapa defenisi menurut sejumlah tokoh sufi yang terkenal pada abad ke tiga
Hijriyah:[28]
a. Abu Sa`id al-Kharraz (w. tahun
227H), ketika ditanya tentang siapa yang disebut ahli tasawuf, ia menjawab
bahwa mereka adalah orang- orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah
dan telah dipenuhi dengan cahaya,mereka tenang bersama dengan Allah dan tidak
pernah hatinya berpaling dari Allah sehingga dia selalu berzikir mengingat
Allah dalam hidupnya.
b. Al- Junaid al- Bagdadi ( w. tahun
297 H) mengatakan bahwa tasawuf adalah Allah mematikan kelalaian mu dan
menghidupkan dirimu denganNya.
c. Ja`far al- Khalidi (w. tahun 348
H) berkata, tasawuf itu adalah memusatkan segenap jiwa dan raga dalam beribadah
dan keluar dari kemanusiaan serta memandang kepada Al- Haqq secara menyeluruh.
d. Abu Bakar Muhammad al-Kattani
mengatakan tasawuf menurutnya adalah kejernihan dan penyaksian.
e. Asy- Syibli mengatakan tasawuf
adalah :
بدؤه معرفة الله ونهايته توحيده
Artinya: Permulaannya adalah ma`rifah kepada Allah
dan diakhiri dengan pengesaanNya.
Melihat pada defenisi tasawuf yang dikemukakan oleh
al- Kattani, merupakan sebuah ungkapan yang sangat simpel sekali tentang
pengertian tasawuf, yang mencakup dua segi yang membentuk satu kesatuan dan
keduanya saling menunjang dalam mendefenisikan tasawuf. Jika dilihat salah
satunya adalah merupakan cara atau jalan dalam tasawuf, sedangkan yang satunya
adalah tujuan yang akan dicapai dalam hidup seorang sufi.
Apabila dilihat berbagai perbedaan para ahli sufi
dalam mendefenisikan tasawuf, memang berbeda dalam menjelaskan tentang cara
yang dilalui untuk menjadi seorang sufi. Begitu juga dalam masalah asal kata
tasawuf, namun menurut sejarah orang yang pertama kali menggunakan kata tasawuf
adalah seorang zahid yang bernama Abu Hasyim al- Kufi dari Irak ( w. tahun 150
H). Tetapi dalam merumuskan tujuan dari tasawuf itu sendiri hanya terdapat
perbedaan dari segi bahasa yang digunakan berdasarkan pengalaman yang didapati
melalui cara atau maqam yang dilalui dengan
latihan untuk sampai kepada Allah
SWT.
Dalam pencarian
akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, memang
merupakan hal yang sulit untuk menarik sebuah kesimpulan yang tepat. Kesulitan
itu terdapat pada esensi tasawuf sebagai pengalaman rohaniah yang hampir tidak
mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan. Masing- masing sufi
mempunyai penghayatan yang berbeda sehingga mereka juga berbeda dalam
mengungkapkannya, maka muncullah defenisi tasawuf sebanyak orang yang mencoba
mentranspormasikan pengalaman rohaniahnya.
Di sisi lain juga dipengaruhi oleh sejarah dan
perkembangan tasawuf melalui segmen dan kultur yang bervariasi. Dalam setiap
fase menampilkan sebagian dari unsur- unsur yang tidak utuh, maka upaya untuk
menggabungkan berbagai unsur defenisi dalam tasawuf itulah yang akhirnya
melahirkan satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Yakni satu ilmu yang lahir
dari pengalaman spiritual yang mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber
dari nilai- nilai Islam.[29]
Seorang tokoh sufi terkenal abad ke tiga Hijriyah Abu
Yazid al- Bustami (w.260 H) secara lebih luas mengatakan bahwa pengertian
tasawuf mencakup tiga aspek:[30]
1). Melepaskan diri dari perangai yang tercela
2). Menghiasi diri dengan akhlak yang mulia
3). Mendekatkan diri kepada Tuhan
Berangkat dari penjelasan
berbagai pendapat tentang defenisi tasawuf di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian tasawuf itu sangat sulit untuk diambil kesimpulan. Dari berbagai
defenisi tentang tasawuf menurut Ibrahim Basuni seorang tokoh sufi modern
pengertian tasawuf dapat dibagi kepada tiga kategori, yaitu al- bidayat, al-
mujahadat dan al- madzaqot.[31]
Al-bidayat adalah bahwa prinsip awal tumbuhnya
tasawuf adalah sebagai wujud dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya
sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia atau para sufi untuk
memusatkan perhatiannya untuk beribadah kepada Khaliqnya yang diiringi dengan
kehidupan zuhud atau asketisme, untuk pembinaan moral. Dengan aspek ini tasawuf
diartikan sebagai upaya untuk memahami hakikat Allah dengan melupakan segala
yang berkaitan dengan kesenangan hidup duniawi yang dalam ajaran tasawuf
disebut al-Hubb atau cinta Ilahi.
Defenisi tasawuf yang dikategorikan kepada al-
mujahadat adalah seperangkat amaliah dan latihan keras dengan satu tujuan yakni
berjumpa dengan Allah. Dalam hal ini tasawuf
diartikan dengan berusaha
sungguh- sungguh untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Kemudian al-
madzaqot diartikan sebagai pengalaman yang dirasakan oleh seorang sufi di
hadirat Allah, apakah dia melihat Tuhan atau merasakan kehadiran Tuhan dalam
hatinya dan atau mereka merasa bersatu dengan Tuhan yang difahami sebagai
ma`rifatul Haqq yang merupakan ilmu terbukanya hijab bagi seorang sufi.[32]
Kemudian tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan
adalah ilmu yang mempelajari tentang cara atau jalan yang dilalui oleh para
sufi untuk bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan, bahkan bisa bersatu dengan
Tuhan dalam berbagai bentuk sesuai dengan maqam yang mereka lalui.
B. Perkembangan Tasawuf
Dalam dunia Islam, tasawuf dikenal secara luas adalah
semenjak penghujung abad ke dua Hijriyah. Dimana bermula dari para zahid yang mengelompok di serambi Masjid Madinah
.Dalam perjalanan hidup berkelompok lebih mengkhususkan diri untuk beribadah
dan mengembangkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kehidupan duniawi, yang
ditandai dengan sebutan zahid atau kesalehan asketis yang merupakan awal
pertumbuhan tasawuf yang akhirnya berkembang pesat.
Kemudian sampai abad ke tiga Hijriyah sedah beralih
dari kehidupan zuhud ke arah sufisme
yang sudah mulai membicarakan persoalan apa itu jiwa yang suci, apa itu moral
dan bagaimana pembinaannya. Sebagai reaksi dari perbincangan ini muncullah
berbagai teori tentang jenjang* yang
harus ditempuh oleh seorang sufi.
Adapun teori asal timbulnya aliran yang dikenal dengan sufisme ini antara lain
menurut Harun Nasution merupakan pengaruh dari kehidupan para Rahib Kristen yang mengasingkan diri di
padang pasir Arabia. Kemudian juga dari pengaruh Filsafat Pyithagoras dan
emanasi Plotinus bahwa untuk memperoleh kehidupan yang senang di alam samawi
manusia harus mampu membersihkan roh dengan jalan meninggalkan hidup materi
yaitu zuhud. Selain itu juga dipengaruhi oleh ajaran Budha karena adanya
kemiripan ajaran sufisme Fana` dengan
ajaran nirwana dengan meninggalkan dunia memasuki hidup kontemplasi, dan juga
dari ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan
mendekati Tuhan untuk bersatu dengan Atman dan Brahman. [33]
Namun kebenaran pendapat ini sangat sulit dibuktikan ,
sebab walau bagaimanapun juga tanpa persentuhan dengan dunia non muslim, di
dalam ajaran Al- Qur`an sudah ada ayat- ayat yang mengatakan bahwa manusia itu
dekat dengan Allah sebagaimana dalam surat 2 ayat 186 :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّيقَرِيبٌ أُجِيبُ
دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي
وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“َJika hambaKu
bertanya tentang diriKU maka Aku dekat dan mengabulkan seruan
yang memanggil Aku jika Aku dipanggil,
penuhilah perintahKu dan berimanlah
kepadaKu
agar mereka memperoleh kebenaran” (al-Baqarah : 186).
Begitu juga dengan hadits Nabi yang
menggambarkan kedekatan hubungan antara manusia dengan Tuhan bahwa:
من عرف نفسه فقد عرف ربه ”Orang yang mengetahui dirinya , itulah orang yang mengetahui
Tuhannya"
Dan banyak lagi ayat- ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan tentang
kedekatan manusia dengan Allah. Dengan kata lain menurut penulis tanpa ada
pengaruh ajaran agama dan pemikiran lain selain Islam, ajaran tasawuf dengan
sendirinya tetap akan muncul dalam Islam.
Tasawuf atau sufisme sebagai suatu ajaran dalam Islam
mengalami perkembangan yang pesat yang memberikan gambaran dan motivasi munculnya gerakan di kalangan muslim pada umumnya dari
kalangan hartawan dan pembesar negeri terhadap kehidupan glamor dan sikap hidup
sekular dari para penguasa Istana waktu itu , menjadi tidak lagi mendapat
respon dan simpatik dari masyarakat muslim.
Sehingga tampillah seorang tokoh populer aliran ini Hasan al- Bashri (w.110 H) yang memiliki
pengaruh besar dalam sejarah spritual Islam melalui doktrin yang terkenal
adalah al- zuhud , kemudian Rabi`ah al-Adawiyah
(w.185 H) dengan ajaran al- hubb
atau mahabbah serta Ma`ruf al- Kharki
(w. 200 H) .[34]
Kemudian pada abad yang sama muncul pula DzuNun al-
Mishri (w.245 H) dengan konsep spiritual menuju Tuhan al- maqomat yang sejalan
dengan konsep al- hal . Setelah berkembangnya doktrin al- hal ini, perkembangan
tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan dalam tujuan maupun ajaran dengan
kesalehan asketis. Sehingga untuk menjadi seorang sufi sudah dirasakan sangat
berat bagaikan kelahiran kembali seorang manusia yang harus melepaskan
kehidupan materi yang menyenangkan untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian
dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sampai abad ke tiga Hijriyah muncul lagi seorang sufi
terkenal Abu yazid al- Busthomi (w.260 H) yang melangkah lebih maju dengan
doktrin al-ittihad melalui al- fana.[35] Setelah ini tasawuf semakin pesat
hingga terjadi pergeseran tujuan tasawuf
ke tingkat yang lebih tinggi .
Maka tasawuf
mulai dimasuki oleh unsur- unsur di luar Islam melalui akulturasi. Sehingga
terjadi ketegangan antara kaum sufi
ortodoks yang berasal dari
kalangan teolog dan fuqaha dengan kelompok sufi yang berfaham ittihad di pihak
lain.* Akibat terjadinya perbenturan pemikiran tentang doktrin tasawuf waktu
itu, pemikiran dalam tasawuf terbagi kepada dua kelompok besar, maka pada
penghujung abad ke tiga Hijriyah tampilah tokoh kompromis antara sufisme dengan ortodoksi dalam Islam , yang bernama
al- Kharraj (w.277 H) bersama al Junaid ( w.297) untuk menjembatani antara
mistik dengan syari`at Islam. Sehingga lahir lagi doktrin al- Baqa sebagai
perimbangan dari doktrin al- Fana. .[36]
Hasil pemaduan antara mistik dengan syari`at sebagai
suatu lembaga mendapat sambutan luas dari kalangan masyarakat muslim waktu itu,
sehingga tampilnya para penulis tasawuf
seperti al- Sarraj, dengan karangannya al- Luma, dan al- Kalabazi dengan kitab
al- Ta`ruf li Mazhab ahl al- Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al- Risalahnya.
Kemudian setelah ini muncul jenis tasawuf yang berbeda yakni tasawuf yang
merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat dengan konsep ma`rifat sejati
dari tokoh yang bernama Ibn Masarrah (w.381 H) yang menggabungkan antara
sufisme dengan teori emanasi Neo-Platonisme. Faham tasawuf ini akhirnya dikikis
habis oleh al-Ghazali (w.503 H) pada abad ke lima Hijriyah karena dianggap
hasil rekayasa dan tidak Islami, seperti ucapan- ucapan estatik dari seorang
yang arif dalam kondisi sakr atau terkesima. Namun setelah sadar mereka mengaku
pula bahwa kesatuan dengan Tuhan itu
bukanlah hakiki, tetapi hanya sebagai sebuah kesatuan simbolistik .
C. Maqaamat dan Ahwal
Orang- orang sufi mempunyai jalan rohani yang
merupakan tempat atau jalan yang ditempuh untuk menuju Allah Azza wa Jalla.
Mereka mengandalkan Al- Qur`an dan Hadits Nabi yang telah nyata hasilnya
dirasakan oleh orang- orang sufi. Jalan yang ditempuh oleh sufi ini disebut
dengan al- maqaamat wal Ahwal yang artinya kedudukan dan keadaan. Masing-
masing sufi memiliki jalan yang berbeda utuk sampai kepada Allah sesuai dengan
faham tasawuf yang mereka pelajari, secara bertingkat untuk sampai pada Allah
SWT.
Maqaamat atau maqam adalah jalan panjang yang ditempuh
oleh seorang sufi yang berisikan stasion- stasion yang harus dilalui untuk
sampai pada Tuhan. Sedangkan ahwal atau hal adalah keadaan atau rasa yang hadir dalam diri sufi
yang merupakan anugrah dan rahmat yang
diberikan Allah yang bersifat sementara datang dan pergi bagi seorang sufi
dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[37]
Adapun maqam yang memiliki stasion- stasion yang harus dilalui tidak sama menurut ahli
sufi. Seperti yang akan dijelaskan pada uraian ini.
1.Zuhud
Zuhud adalah meninggalkan dunia
dengan segala kemewahannya dan hidup kematerian. Zuhud merupakan stasion
terpenting yang harus dilalui oleh seseorang sebelum menjadi seorang sufi.
Aliran ini mulai muncul sebagai reaksi umat Islam terhadap kehidupan khalifah
yang larut dalam kemewahan keserakahan akan kekuasaan dan ketidak sucian, maka
orang- orang tidak simpatik dengan kehidupan itu dan ingin mempertahankan hidup
sederhana menjauhkan diri dari dunia kemewahan. Aliran ini pertama berkembang
di Kuffah dan Basrah Irak, dengan para zahid yang terkenal di sini adalah Hasan
al- Basri (w.110 H ) dan Rabi`ah al- Adawiyah (w.185 H).[38]
Hasan al- Basri dikenal dengan
kemashurannya dengan zuhud yang berlandaskan kepada Khauf yaitu takut untuk
berbuat maksiat dan raja` demi mengharap rahmat Allah.. Dia pernah mengatakan
”jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada
perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan”. Kemudian dilanjutkan oleh malik
bin Dinar (w.171 H) yang hidup dalam kezuhudan sehingga dirumahnya tidak ada apa-
apa kecuali hanya Al-Qur`an.[39]
Kemudian
stasion- stasion lain yang kedudukannya dibawah zuhud adalah[40]:
a.Taubat (taubat yang sebenar- benarnya dan senantiasa
melakukan kontemplasi dengan Allah)
b.Wara` (meninggalkan hal-hal yang subhat)
c.Kefakiran (tidak mau meminta lebih dari apa yang ada
padanya)
d.Sabar (sabar dalam melaksanakan peritah
Allah,meninggalkan larangan dan menerima cobaan, )
eTawakkal ( menyerah kepada qada` dan keputusan Allah)
f.Kerelaaan (Tidak meminta syurga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan
dari neraka).
2.al-Mahabbah
Mahabbah yang dimaksud disini adalah cinta kepada
Tuhan. Menurut Harun Nasution pengertian
mahabbah adalah:[41]
a. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan
dan membenci sikap melawan kepadanya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada
yang dikasihi yaitu Tuhan
c. Mengosongkan hati dari segalanya
kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.
Menurut al- Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkatan:
a. Cinta biasa, yakni selalu ingat
kepada Tuhan dengan sering berzikir dan memuji-Nya dengan menyebut nama Allah dan berdialog
dengan-Nya.
b. Cinta orang yang siddiq, yakni
orang yang kenal dengan Tuhan, pada kebesaran, kekuasaan dan pada Ilmu-Nya
serta lain- lain. Yaitu cinta yang dapat menyingkap tabir yang memisahkan
manusia dengan Tuhan sehingga dapat melihat rahasia- rahasia yang ada pada
Tuhan yang membuat seseorang selalu rindu pada Tuhan.
c. Cinta orang `arif, yakni cinta
yang timbul karena telah tahu betul dengan Tuhan, sehingga yang timbul adalah
rasa diri yang dicintai dan akhirnya sifat- sifat yang dicintai masuk ke dalam
diri yang dicintai.
Sufi yang terkenal dalam mahabbah
ini adalah Rabia`h al- Adawiyah (713- 801) yang berasal dari Basrah. Allah Azza
wa Jalla menggambarkan jalan untuk kecintaan-Nya. Sebagai langkah awal adalah
menjalankan segala kewajiban kepada Allah, karena kecintaan Allah mustahil akan
didapat jika tidak berupaya mendekatkan diri kepada-Nya. Termasuk kecintaan
kepada Allah Ta`ala dengan mengikuti Rasulullah dalam petunjuknya, kezuhudan
serta akhlaknya serta meneladani dalam segala hal. Antara cinta hamba dengan
kecintaan Allah diikat dengan amal dan akibat dari kecintaan-Nya juga dengan
amal.[42]
Sehingga bagi Rabi`ah Adawiyah Tuhan adalah zat yang dicintai dan meluaplah
dari hatinya rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan yang lahir dalam ucapannya ”
Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka dan bukan pula
karena ingin masuk syurga, tetapi aku mengabdi karena cinta kepada-Nya. Dia
menolak untuk tawaran menikah karena dia adalah milik Tuhan yang dicintainya.
3.al- Ma`rifah
Di dalam konsep tasawuf ma`rifah
diartikan dengan pengenalan yang langsung tentang Tuhan, yang diperoleh dengan
hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat. Dengan demikian
ma`rifat lebih mengacu pada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat
mengarah pada kualitas pengetahuan atau pengamalan. Melalui latihan yang berat,
jiwa seseorang bisa menyatu dengan zat yang diketahuinya itu yakni Allah Azza
wa Jalla.[43]
Ma`rifah juga berarti mengetahui
Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari seseorang dapat melihat Tuhan.
Sehingga orang sufi mengatakan:
a.
kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia itu terbuka, maka
kepalanya akan tertutup dan saat itu yang terlihat hanyalah Allah.
b.
Ma`rifah adalah cermin, kalau orang yang arif melihat cermin, yang
dilihatnya adalah Allah, begitu juga disaat tidur dan bangun yang dilihatnya
hanya Allah.
c.
Sekiranya ma`rifah mengambil bentuk materi, maka semua orang yang
melihatnya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya...
dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya yang gilang gemilang.
Zunnun al- Misri (w. 860M) yang
digelari dengan bapak ma`rifah mengatakan bahwa ada tiga macam pengetahuan
tentang Tuhan:[44]
a. Pengetahuan awam, yakni
pengetahuan tentang Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.
b. Pengetahuan ulama, yakni
pengetahuan tentang Tuhan satu menurut logika akal.
c. Pengetahuan sufi, yakni
pengetahuan tentang Tuhan satu dengan
perantaraan hati sanubari. Maka pengetahuan yang pertama dan ke dua disebut
dengan ilmu, sedangkan pengetahuan yang ke tiga disebut dengan pengetahuan yang
hakiki tentang Tuhan yang disebut dengan ma`rifah.
Imam al- Ghazali pernah mengatakan bahwa dalam ma`rifah kepada Allah dengan menjadikan-Nya sebagai teman
dalam hidup dan mati. Ketahuilah bahwa
sahabat yang tidak pernah meninggalkanmu dalam rumah dan perjalannmu dalam
tidur dan terjagamu, dalam kehidupan dan
kematianmu adalah Tuhanmu, Maulanamu sebab dia adalah temanmu. Akhirnya
memang Allah selalu ingat dalam setiap waktu yang dilalui. Jika sesorang telah
mampu menghadirkan Allah dalam setiap waktunya, pertanda ia sudah mengetahui
Tuhannya dengan pengetahuan hati
sanubarinya, sehingga Allah berfirman Aku adalah teman duduk bagi orang yang
mengingat-KU.[45]
4.al-
Fana dan al- Baqa
Sebelum seorang sufi dapat
bersatu dengan Tuhan, ia harus mampu menghancurkan dirinya. Sebab selama dia
belum mampu menghancurkan dirinya dia
akan selalu sadar, selagi masih sadar seorang sufi tidak dapat bersatu dengan
Tuhannya. Inilah yang disebut fana dalam tasawuf. Kemudian fana selalu diiringi
dengan Baqa yakni tetap terus hidup. Kalau seorang sufi telah mencapai fana`an
al- Nafs, yakni menghancurkan wujud jasmaninya, maka yang tinggal hanya wujud
rohaninya, maka ketika itu barulah ia dapat bersatu dengan Tuhannya. Abu Yazid
al- Bustami* (w. 874 M) sebagai sufi pertama dalam fana` dan baqa` mengatakan”
اعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت
“Aku tahu
pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
padaNya,
maka akupun hidup.”[46]
Selanjutnya Abu Yazid bahwa sebenarnya
manusia seesensi dengan Allah, bisa bersatu denganNya apabila manusia mampu
meleburkan eksistensinya sebagai suatu pribadi (fana` an nafs) yakni hilangnya
kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam hadhirat Allah. Artinya bukan
jasad tubuhnya yang menyatu dengan zat Allah.
5.al- Ittihad
Pengertian al- Ittihad adalah
dimana seorang sufi sudah merasakan dirinya bersatu dengan Allah, suatu
tingkatan karena yang mencintai dengan yang dicintai sudah menjadi satu.
Sebagaimana dikatakan oleh A.R. Al- Badawi yang dilihat dalam Ittihad hanya
satu wujud, walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu sama lain,
sebab yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad bisa
terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai. Dalam
ittihad identitas telah hilang, telah menjadi satu, karena itu kesadaran sudah
hilang karena fana` maka ia berbicara
sufi berbicara dengan nama Tuhan.[47]
Berdasarkan pengalaman Abu Yazid
dalam ittihad dapat difahami bahwa ittihad bisa dicapai setelah seorang sufi
mencapai tingkatan fana` sehingga identitas diri telah tidak dirasakan lagi,
dalam ketidak sadaran jasmani, rohani telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga sufi
berbicara atas nama Tuhan, dengan kata lain Tuhan berbicara melalui lidah Abu
Yazid. Hal ini kelihatan dari pengalaman Abu Yazid dengan ucapannya:
قال : يا ابا يزيد انهم كلهم خلقي غيرك. فقلت : فانا
انت وانت انا وانا انت
Tuhan berkata : ”Semua mereka
kecuali engkau, adalah makhlukKu, akupun
berkata:” aku adalah engkau, engkau adalah
aku, dan aku adalah engkau”
Paham
ittihad ini timbul sebagai konsekwensi lanjut dari pendapat Bayazid bahwa jiwa
manusia adalah pancaran Nur Ilahi, aku nya manusia itu adalah pancaran dari
yang maha esa sebagaimana pancaran sinar matahari di bumi. Maka barang siapa
yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriah atau kesadaran insan, maka dia
akan menemukan jalan untuk kembali bersatu dengan sumber asalnya, bersatu padu
dengan Yang Tunggal yaitu Allah. Inilah yang disebut ittihad.[48]
6. al-
Hulul
Faham al- Hulul ditimbulkan oleh
Husain Ibn Mansur al- Hallaj (l. Persia 858M- w.922) ia meninggal karena
dihukum mati dan setelah itu jasadnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai
Tigris karena ia dituduh oleh penguasa saat itu.* Karena al- hallaj diwaktu mencapai hulul
mengatakan انا الحق
”Akulah Yang maha Benar”.[49]
Menurut
keterangan Abu Nasr al- Tusi dalam kitab al- Luma` ialah faham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya,
setelah sifat- sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu berhasil dilenyapkan.[50]
Dari ajaran al- hulul yang
dikembangkan al- hallaj dapat disimpulkan bahwa
di dalam diri manusia terdapat sifat Ketuhanan, dan di dalam diri Tuhan
terdapat sifat kemanusiaan . Persatuan antara
Tuhan dan Manusia bisa terjadi dalam bentuk hulul, setelah manusia mampu
menghilangkan sifat- sifat kemanusiaannya melalui fana`. Setelah fana` yang
tinggal dalam diri manusia hanyalah sifat Ketuhanan, disanalah Tuhan bisa
mengambil tempat di dalam diri manusia. Dan ketika itu roh Tuhan dan roh
manusia dapat bersatu di dalam tubuh manusia. Dengan demikian ketika al- hallaj
mengatakan ”Akulah Yang maha Benar” bukan roh al- hallaj yang mengatakan itu,
tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat di dalam diri al-hallaj. Perbedaannya antara
Ittihad Abu Yazid dengan al- Hulul nya al- Hallaj adalah dalam ittihad diri
Busthami hancur, yang dilihat hanya satu wujud yaitu Tuhan, sedangkan dalam
hulul al- hallaj wujud dirinya tidak hancur, yang dilihat ada dua wujud tetapi
bersatu dalam satu tubuh seperti Allah memerintahkan malaikat dan Iblis sujud
kepada Adam, karena Allah telah mengambil tempat dalam tubuh nabi Adam.
7.Wahdat al- Wujud
Wahdat al- wujud berarti kesatuan
wujud yang merupakan kelanjutan dari faham hulul yang dikemukakan oleh Muhy al-
Din Ibn Arabi (L. 1165M.w.1194M). faham wihdatul wujud ini menurutnya
pengakuannya dia terima dari Nabi Muhammad melalui satu mimpi pada tahun 626
H.di Damaskus. Dalam wahdatul wujud, nasut yang ada dalam hulul dirobahnya
menjadi khalq ( makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Makhuk dan haq
merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Khalq adalah aspek luar dan haq aspek
sebelah dalam.[51]
Dalam faham ini setiap sesuatu
yang ada memiliki dua aspek yakni aspek kemakhlukan dan aspek ketuhanan. Aspek
yang terpenting adalah aspek haq yang merupakan batin jauhar atau substansi dan
esensi setiap yang berwujud. Sedangkan aspek khalq adalah aspek yang datang
kemudian.
Renungan zauq tasawuf yang
didasarkan pada renungan filsafat ini timbul sebagai kelanjutan dari konsep
penciptaan makhluk. Menurut Ibnu `Arabi alam ini diciptakan Allah dari `ain
wujudnya. Sehingga jika Allah ingin melihat dirinya maka Allah cukup dengan
melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya
artinya alam yang nampak berbeda- beda ini pada dasarnya adalah satu seperti
seseorang yang ingin melihat dirinya lewat cermin. Betapa banyaknya bayangan
yang ada, namun orangnya tetap satu karena bayangan itu tidak mempunyai
substansi.[52]
Dalam pandangan Ibn `Arabi, tidak
ada perbedaan antara wujud yang satu dengan alam yang beraneka ragam . Hal iu
hanya dapat dipandang oleh orang yang `arif yang bisa melihat dengan mata
hatinya, sehingga orang `arif itu berucap”
سبحا ن من خلق الا شياء وهو عينها. اذا شهد نه شهدنا
نفو سنا. واذا شهدنا نفوسه
” Maha
suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatNya, sehingga apabila kami
melihat Nya berarti kami melihat diri kami, dan apabila kami melihat diri kami
maka kami juga melihat diriNya.”
Berdasarkan
pengertian di atas, dapat difahami bahwa faham wahdatu al-wujud yang dicetuskan
oleh Ibn al- `Arabi dalam tasawufnya merupakan tasawuf falsafi, karena sudah
merupakan hasil fikir dari seorang sufi dan tidak hanya semata- mata berasal
dari hati atau sir saja untuk bisa memahami persatuan wujud Tuhan dengan wujud
alam ini. Artinya alam ini merupakan cermin
bagi Tuhan untuk melihat dirinya. Walaupun alam ini terdiri dari bentuk
materi yang beragam, namun sebenarnya wujudnya adalah satu yakni wujud Tuhan.
Wujud makhluk ini tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Adapun wujud
yang lain hanyalah wujud yang tidak sebenarnya atau wujud bayangan.[53]
Dengan
demikian dalam hal ini Ibn al- `Arabi mengatakan bahwa wujud hakiki hanyalah
wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayang- bayang dari yang punya
bayangan atau Allah, atau gambaran dalam kaca dari yang mengaca. Maka makhluk
adalah bayangan sedangkan al-haq adalah yang maha Suci dan makhluk adalah
tiruan. Yang dimaksud dengan
Tajallinya Allah pada alam adalah
sebagai bukti wujud Tuhan secara
transenden pada semua makhluk, dariNya segalanya berasal dan kapadaNya pula semua akan kembali.
IV. Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan
sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa di antara perbedaan asal- usul arti kata tasawuf disebabkan
adanya akulturasi dengan dunia luar Islam, sebenarnya sulit untuk dibuktikan .
Sebab dalam ajaran al- Qur`an dan hadits
sendiri sudah ada isyarat yang
megajarkan tentang keharusan manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada
Allah, sekalipun dalam memahami isyarat tersebut berbeda pemahaman di kalangan
sufi. Akan tetapi semuanya menuju kepada kedekatan hamba dengan Allah.
Berdasarkan
defenisi yang dikemukakan oleh tokoh- tokoh sufi tentang pengertian
tasawuf dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah jalan yang ditempuh oleh seorang
muslim untuk sampai kepada Allah dalam berbagai bentuk dengan cara melatih
diri yakni mengasah hati dan
pikiran berdasarkan al- Qur`an dan
hadits yang dikenal dengan sir dan zugh secara bertahap dengan maqam yang
difahami dan diyakini untuk sampai kepada Allah. Artinya tasawuf adalah suatu
usaha yang dapat dilakukan seorang muslim dengan melatih dan mengasah hati dan
pikiran secara rohaniyah. Sehingga terjadilah perbedaan pengalaman yang
dirasakan oleh seorang sufi dalam mencapai hadirat Allah.
Demikianlah makalah ini penulis susun sebagai bahan diskusi dalam mata kuliah
Sejarah Pemikiran Dalam Islam.
B. Saran- saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis sangat merasakan
ketidak sempurnaan terutama dalam
menela`ah referensi yang cukup
terbatas .Kepada pembaca yang budiman
penulis harapkan untuk dapat menggali lebih mendalam tentang tasawuf dan masukan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhirnya penulis aturkan terima kasih.
[1]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-
Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 11
[18] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam,
Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995, hal. 64
[22] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1979,
hal.34
[23] Sirajuddin Zar, Op.cit.,
hal.40
[24] Ibid.,hal.41
[25] Ahmad
Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, ( Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan
Ponpes Al- Munawwir, 1984), hal.860
[26]Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mitisisme dalam
Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang 1973), hal.56-57
* Menurut
koleksi Ibrahim Basuni, ia telah mengumpulkan sekitar 40 arti tasawuf sampai ia
menulis bukunya Nas- ah al-Tasawuf al Islam tahun 1969
[27] Abdurrahman Abdul Khaliq, Ihsan Ilahi
Zhahir, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang- bayang Fatamorgana, (
Jakarta: Amzah, 2001), hal 12-13
[28] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia
Islam , Judul asli At-Tashawwuf fi al- Islam, terj. Abdulllah Zakiy
al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 26
[29] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme
Klasik ke Neo- Sufisme, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002), hal. 33
[30] Abu Syu`ud, Islamologi Sejarah Ajaran
dan Perananna dalam Peradaban Umat Manusia,
( Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), hal. 103
[31] A.
Rivay Siregar, Opcit., hal . 34
[32] Ibid.,
hal.35
* Jenjang yang harus ditempuh ini disebut dengan
maqaamat dalam tasawuf serta ciri- ciri yang dimiliki sufi pada tingkat
tertentu yang disebut al- Hal.
[33] Harun
Nasution, Opcit., hal.58-59
[34] A.
Rivay Siregar, Opcit., hal.38
[35] Ibid.,
hal 41
* Pada waktu itu Tujuan tasawuf tidak hanya
sebatas mencintai dan dekat dengan
Tuhan, tetapi sudah meningkat menjadi penyatuan diri dengan Tuhan melalui
mi`raj spiritual ke alam Ilahiyat sehingga menimbulkan konflik antara sufi
dengan teolog dan Fuqaha dengan saling menganggap sesat.
[36] Ibid.,
hal.42
[37] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisisme,
Opcit., hal 62- 63
[38] Ibid.,
hal. 65
[39] Abu
Su`ud, Opcit., hal.188
[40] Harun
Nasution, Opcit., hal 67-69.
[41] Ibid.,
hal. 70-71
[42] Abdul
Halim Mahmud, Opcit., hal. 94
[43] A.Rivay
Siregar, Opcit., hal.112
[44] Harun
Nasution, Opcit., hal. 76
[45] Imam
al- Ghazali, Bidayatul Hidayah, diterjemahkan oleh Tim Mumtaz, (Jakarta: Himmah), hal. 235
*Nama kecilnya Thaifur, lahir di Bistonm kawasan Persia
tahun 200H. Tentang penulisan namanya ada Busthami, Bisthomi, Busthomi dan
Basthomi, bahkan ditulis Bayazid saja
[46] Harun
Nasution Opcit., hal.81
[47] Ibid.,
hal.82
[48] A.Rivay
Siregar, Opcit., hal 153
*Ada
pendapat yang mengatakan bahwa al- Hallaj dihukum mati bukan karena ajarannya,
tetapi karena dia adalah anggota pemberontak Karamihtah
[49] Harun
Nasution, Opct., hal.87
[50] Ibid.
,hal. 88
[51] Ibid.,
hal. 92
[52] A.
Rivay Siregar, Opcit., hal 183
[53] Harun
Nasution , Opcit., hal. 95