A. Pendahuluan.
Ketika kita ingin mengetahui kesahihan sebuah hadits, apakah hadits itu
bisa diterima atau ditolak, maka kita harus mencari cara yang tepat untuk
mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan cara mengkaji penukilan, periwayatannya,
baik dari segi ketsiqohan perawi, kedhabitan hafalannya, seluk beluk jati
dirinya, apakah dia terlepas dari keteledoran, mengada-ada, dan lain
sebagainya.
Untuk itu ilmu al-jarh wa
at-ta’dil bermamfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu
dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang
rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil
ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian
bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padalah, perjalanan
hadits semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang
begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadits perlu mendapat
penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik,
masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan
hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada
Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat
untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya
sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari
Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Oleh karena itu, maka ilmu al-jarh
wa at-Ta’dil mempunyai urgensi yang sangat vital dalam menyaring semua
periwayatan hadits yang sampai kepada kita selaku pemeluk agama islam.
B. Pengertian
Kalimat al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu kesatuan
pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu al-jarh dan al-adl’.
Al- jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata جرح – يجرح , yang berarti seseorang
membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari
luka itu. Dikatakan juga جرح الحاكم وغيره الشاهد , yang berarti hakim dan
yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa
kedustaan dan sebagainya.[1]
Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri
perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan
ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau
bahkan tertolak riwayatnya. Adapun at-tajrih menyifati seorang perawi
dengan sifat sifat yang membawa konskuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau
tidak diterima.[2]
Kemudian, pengertian al-adl secara etimologi berarti sesuatu yang
terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, merupakan lawan dari lacur. Orang
yang adil berarti orang yang diterima kesaksiannya. Ta’dil pada diri
seseorang berarti menilainya positif.[3]
Adapun secara terminologi, al-adl berarti orang yang tidak memiliki
sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya.[4]
Lafaz al-jarh, menurut Muhaddisin ialah sifat seseorang rawi yang
dapat mencacatkan keadilan dan hapalannya. Men-jarh atau men-tajrih
seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya. Adapun Rawi
dikatakan ‘adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang
dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberi sifat-sifat terpuji kepada rawi
sehingga apa yang dirwayatkannya dapat diterima dan disebut men-ta’dil-kannya.[5]
Dengan demikian, ilmu al-jarh wa
at-ta’dil berarti:
العلم الذى يبحث فى احوال الرواة من حيث قبول
رواياتهم أو ردها
Ilmu yang membahas hal ikhwal para
perawi dari segi diterima atau ditolak riwayat mereka.[6]
Berdasarkan
pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli ilmu al-jarh wa at-ta’dil
merupakan suatu materi pembahasan dari cabang ilmu hadits yang membahas cacat
atau adilnya seorang yang meriwayatkan hadits yang berpengaruh besar terhadap
klasifikasi haditsnya.[7]
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini merupakan cabang dari ilmu rijal
al-hadits, ilmu ini adalah ilmu yang sangat agung. Perkataan tentang rijal,
baik secara al-jarh maupun at-ta’dil nya bersumber dari Al
Qur’an, hadits dari Rasulullah, sahabat dan seterusnya dari tabi’in dan
orang-orang setelah mereka. Al-jarh wa at-ta’dil ini dibolehkan untuk
memelihara dan mengantisipasi syari’ah dari penyimpangan, atau
kesalahan-kesalahan dalam penyampaian, bukan untuk mencaci atau mencela seorang
manusia, akan tetapi menjelaskan kelemahan dari segi orang yang menilai hadits
tersebut, supaya haditsnya bisa dianalisa dengan seksama, apakah hadits itu
bisa diterima atau malah sebaliknya ditolak. Sebagaimana bolehnya al jarh pada
syahadah (kesaksian). Dan menjaga kebenaran urusan agama adalah lebih
utama dari pada menjaga hak-hak dan harta. Oleh karena itu para ulama
bersungguh-sungguh dalam melakukan pembahasan tentang ilmu ini.[8]
Sebagaimana firman Allah Azza Wa Jalla dalam surat al-Hujurat : 6
يا ايهاالذين امنوا ان جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا ان تصيبوا قوما بجهالة
فتصبحوا على مافعلتم نادمين ( الحجرات : 6
)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman jika datang
kepadamu orang fasik membawa berita, hendaklah kamu periksa kebenarannya,
karena takut kalau-kalau kamu menimpakan suatu hukum kepada suatu kaum tanpa
pengetahuan lalu kamu menyesal atas perbuatanmu.[9]
Ditempat lain Allah SWT juga berfirman :
واستشهدوا شهيدين من رجالكم فان لم يكونا رجلين فرجل و امراتان ممن ترضون من الشهداء ان تضل
احداهما فتذكر احداهماالاخرى (الباقرة : 282)
Artinya:
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang orang lelaki (diantaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu redhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. (Al-Baqarah
: 282)
Yang dimaksud saksi yang diredhai adalah orang yang kita ridhai agama dan
kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadits tidak kurang dari bentuk
kesaksian itu. Oleh karena itu, hadits tidak diterima kecuali dari orang-orang
tsiqah.
Berkenaan
dengan al-jarh wa at-ta’dil, Rasulullah SAW bersabda :
مارواه البخارى عن سهل بن سعد الساعدى , انه قال,
مر رجل على رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لرجل عنده جالس : مارايك فى هذ ؟
فقال : رجل من اشرف الناس. هذا والله حري ان خطب ان ينكح وان شفع اْن يشفع. قال
فسكت رسول الله صلى الله عليه وسلم. ثم مر رجل, فقال له رسول الله صلى الله عليه
وسلم. مارايك فى هذا ؟ هذا من فقراء المسلمين هذا حري, ان خطب ان لاينكح وان شفع
ان لا يشفع. وان قال ان لا يسمع لقوله. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هذا خير
من ملء الارض من مثل هذا.
Al Baihaqi berdalil dengan sabda Rasulullah
الموْمنون شهداء الله فى الارض
Atas ada kewajiban bagi seseorang untuk menjelaskan keadaan riwayat yang
dibawanya, apakah itu bisa diterima atau ditolak.
Defenisi rawi adalah orang yang
menerima hadits dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampaiannya.[10]
Para ulama mengklasifikasi para rawi dari sedikit banyak hadits yang
diriwayatkannya dan peranannya dalam bidang ilmu hadits menjadi beberapa
tingkat dan julukan di antaranya :
a. Al-musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits
beserta sanatnya, baik mengetahui kandungan hadits yang diriwayatkannya atau
sekedar meriwayatkan.
b. Al-muhaddits adalah orang yang mencurahkan
perhatiannya terhadap hadits baik riwayah maupun dirayah,
identitas dan karakteristik para rawi, mengetahui zaman rawi beserta hadits yang
diriwayatkannya.
c. Al-hafizh adalah gelar orang yang sangat luas
pengetahuannya tentang hadits dan ilmu ilmunya, sehingga hadits yang
diketahuinya lebih banyak dari hadits yang tidak diketahui.
d. Al-hujjah, gelar ini diberikan kepada orang hafizh
yang tekun, kuat, rinci hafalannya akan
sanat dan matan. Hujjah yaitu orang yang hafal tiga ratus ribu hadits berikut
sanat dan matannya.
e. Al-hakim, adalah rawi yang menguasai seluruh
hadits sehingga hanya sedikit yang terlewatkan.
f. Amir
Al-Mu’minin fi al-hadits, ini gelar yang tertinggi yang diberikan kepada orang yang kemampuannya
melebihi orang yang di atas, baik hafalan, kedalaman pengetahuan dan
ilat-ilatnya, sehingga menjadi rujukan bagi para hakim dan hafizh yang lain. Di
antaranya adalah Sufyan ats-Tsauri, Syu’ban bin Al-Hajjaj, Al-Hafizh Ahmad bin
Ali bin Hajar al-‘asqalani dan lainnya.[11]
C.
Syarat al-Jarih wa al-Mu’addil
Kritik
terhadap seorang perawi bukan suatu urusan yang sepele, oleh karena itu seorang
pen-tajrih atau pen-ta’dil harus mempunyai pengetahuan
yang luas tentang sesuatu yang diriwayatkan, tentang sesuatu yang berkaitan
dengan perawi-perawi sebelumnya, tata cara periwayatan, maksud dan tujuan
perawi, sebab-sebab yang mendorong kepada pendustaan, pemudahan, terjadinya kesalahan
dan kekeliruan. Kemudian pen-tajrih dan pen-ta’dil harus
mengetahui juga tentang ihwal siperawi, kapan dan dimana dia dilahirkan,
bagaimana dia dalam beragama, amanahkah, cerdaskah, bermartabatkah, dan kuatkah
hafalannya? dan kapan dia mendengarnya, dari siapa, bagaimana caranya, dan
bagaimana dia menulisnya, kemudian pen-tajrih dan pen-ta’dil barulah
meneliti tentang keadaan Syuyukh atau guru-gurunya, dimana asalnya,
kapan lahir dan wafatnya, bagaimana cara dia menyampaikan hadits, bagaimana
periwayatan orang-orang darinya, lalu kemudian dicocokkan periwayatannya dengan
perawi ini.
Inilah
hal-hal yang mesti dilakukan oleh seorang yang berbicara tentang perawi (pen-tajrih
dan pen-ta’dil), tanpa melakukan hal-hal diatas maka tidaklah
diterima perkataannya tentang siperawi.[12]
Selain itu, ada juga syarat-syarat
yang mesti dimiliki oleh seorang pen-tajrih atau pen-ta’dil :
1. Berilmu
2. Taqwa
3. Wara’
4. Jujur
5. Menjauhi fanatik
golongan
6. Mengetahui sebab
sebab tajrih dan ta’dil (Mufassar)
Permasalahan jarh wa ta’dil ini
sangat penting, Imam Ibnu Hajar mencoba mengkaji faktor-faktor yang mendorong
tajrih, beliau membaginya kepada beberapa faktor, yaitu:
1. Bid’ah : bid’ah secara umum yaitu sesuatu
yang mencacatkan karena pelakunya mengada-ada dalam urusan agama sehingga dia
tidak dipercaya, kebanyakan ulama hadits, menolak periwayatan ahli bid’ah
secara mutlak apapun bentuknya. Atau boleh juga diartikan orang mempunyai
I’tiqad berlawanan dengan syari’at, orang tersebut digolongkan kepada fasik.
Apabila si perawi mempunyai I’tiqad yang menjurus kepada bid’ah maka wajib
dilakukan pen-tajrih-an atasnya.
2. Mukhalafah : Apabila terdapat sifat ta’arudh
(berlawanan) tentang sifat rawi dari segi dhabithnya dengan rawi yang lain yang
lebih kuat dan tidak dapat dijama’kan atau disatukan, maka berlakulah disana
tajrih.
3. Ghalath (cacat karena kesalahan atau
kekeliruan), seperti lemahnya hafalan, atau salah sangka baik sedikit maupun
banyak yang dilakukan.
4. Jahalah
al-hal (tidak
diketahui identitasnya).
5. Da’wa al
Inqitha’ yaitu mendakwa
terputus sanadnya.
Adapun cara untuk mengetahui keadilan
seorang rawi dapat diketahui melalui salah satu dari dua ketetapan :
1) Dengan
kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai seorang yang
adil. Seperti terkenalnya sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu
bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal
sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu lagi
diperbincangkan lagi tentang keadilannya.
2) Dengan pujian
dari seseorang yang adil (tazkiyah), yaitu ditetapkan sebagai rawi yang
adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan itu belum
terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat
dilakukan oleh :
a. Seorang rawi
yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan
sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadits.
b. Setiap orang
yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang
yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Penerapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua
jalan, yaitu:
a. Berdasarkan
berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seseorang rawi yang sudah
terkenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak
perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk
menetapkan kecacatannya.
b. Berdasarkan pen-tajrih-an
dari seseorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat.
D. Kaidah al-jarh
wa al-Ta’dil
1. Pertentangan
antara Al-Jarh wa At-Ta’dil
Terkadang,
pernyataan-pernyataan ulama tentang tajrih dan ta’dil terhadap
orang yang sama bisa saling bertentangan.
Sebagian men-tajrih-kannya, sebagian lain men-ta’dil-kan.
Bila keadaannya seperti itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang keadaan
sebenarnya.
Dalam
masalah ini, para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut :
a. Al-jarh harus lebih didahulukan secara
mutlak, walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak dari pada jarh-nya.
Sebab, jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil,
dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang
diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan
batiniah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang
dipegang oleh mayoritas ulama.[13]
b. Ta’dil didahulukan dari pada jarh,
bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil
bisa mengukuhkan keadaan rawi rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib,
pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang men-ta’dil, meskipun lebih
banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pertanyaan yang men-tajrih.[14]
c. Bila jarh dan
ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan, kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan
sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat diantara keduanya.[15]
d. Tetap dalam ta’arudh
bila tidak ditemukan yang men-tajrih-kan.
Melihat
perbedaan tersebut, sekarang kita bisa mengetahui bahwa konsep الجرح مقدم على التعديل (mendahulukan jarh dari pada ta’dil)
bukan merupakan konsep yang mutlak, tetapi merupakan konsep dari mayoritas
ulama.
2. Tata Tertib Jarh
wa Ta’dil
Ada
beberapa tata tertib yang perlu diperhatikan oleh pana’dil dan penjarah yaitu:
a. Bersifat
objektif dalam Tazkiyah sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari
martabat yang sebenarnya, atau merendahkannya sebagai mana banyak terjadi
dimasa kini.
b. Tidak boleh jarh
melebihi kebutuhan, karena jarh itu sendiri disyari’atkan lantaran
darurat semantara darurat itu ada batasnya.
c. Tidak boleh
hanya mengutip jarh, sehubungan dengan orang yang dinilai jarh
oleh kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap demikian
berarti telah mencampakkan hak rawi yang bersangkutan dan para muhaddisin mencela
sikap yang demikian.
d. Tidak boleh jarh
terhadap rawi yang tidak perlu di jarh, karena beranggapan bahwa
menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tradisi yang buruk.
3. Tingkatan Jarh wa Ta’dil
Tingkatan Ta’dil
a. Tingkatan
tertinggi, menyifati rawi yang menunjukkan bentuk keta’dilannya dan
kedhabithannya tertinggi dengan sifat rawi sbb:
· اْوثق
الناس = Orang
yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hapalannya
· اثبت
الناس حفظا وعدلة
= Orang yang paling mantap hapalan dan keadilannya
· اليه
المنتهى فى الثبت
= Orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya
· = ثقة فوق ثقةOrang yang tsiqat melebihi orang tsiqat
b. Tingkatan kedua,
memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan
itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
· ثبت ثبت = Orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh
dalam pendiriannya
· ثقة ثقة = Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah,
yaitu orang yang sangat dipercaya
· حجة حجة = Orang yang ahli lagi fasih lidahnya
· ثبت ثقة = Orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh
dalam pendiriannya dan kuat hapalannya
· حافظ
حجة = Orang yang hafizh (lagi) fasih lidahnya
· ضابط
متقن = Orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya
c. Tingkatan ketiga
yang Menunjukkan keadilan dengan suatu lafazh yang mengandung arti ‘kuat
ingatan’ misalnya:
· ثبت = Orang yang teguh (hati hati lidahnya)
· متقن = Orang yang meyakinkan ilmunya
· ثقة = Orang yang tsiqah
· حافظ = Orang yang hafizh (kuat hapalannya)
· حجة = Orang yang fasih lidahnya
d. Tingkatan
keempat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-an tetapi dengan lafazh
yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil (tsiqah), misalnya:
· صدوق = Orang yang sangat jujur
· ماْمون = Orang yang dapat memegang amanat
· لا باْس
به = Orang yang tidak cacat
e. Tingkatan kelima
yang menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke- dhabit-an,
misalnya:
· محلة
الصدق = Orang yang berstatus jujur
· جيد الحديث = Orang yang baik haditsnya
· حسن
الحديث = Orang yang bagus haditsnya
· مقارب
الحديث = Orang yang haditsnya berdekatan dengan
hadis lain yang tsiqah
f. Tingkatan keenam
ini menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di-tashir-kan
(pengecilan arti), atau lafazh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan,
misalnya:
· صدوق ان
شاءالله = Orang yang jujur, insya Allah
· فلان
اْرجو باْن لاباْس به = Orang yang diharapkan tsiqah
· فلان
صويلح = Orang yang sedikit kesalehannya
· فلان
مقبول حديث = Orang yang diterima hadis-hadisnya
Para
ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan
menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah.
Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya
dapat ditulis, dan baru dapat diipergunakan bila dikuatkan oleh hadits
periwayat lain.[16]
Kemudian,
tingkatan dan lafazh-lafazh untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu:
a. Tingkatan
pertama, menunjukkan pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafazh-lafazh yang berbentuk af’alu al-tafdil atau ungkapan
lain yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
· اْوضع
الناس = Orang yang paling dusta
·
اْكذب الناس = Orang yang paling
bohong
·
اليه المنتهى فى الوضع = Orang yang paling
menonjol kebohongannya
b. Tingkatan kedua,
menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafazh-lafazh berbentuk shigat
muballagah, misalnya:
·
كذاب = Orang yang pembohong
·
وضاع = Orang yang pendusta
·
دجال = Orang yang penipu
c. Tingkatan
ketiga, menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, misalnya:
·
فلان متهم بالكذب = Orang yang dituduh
bohong
·
أومتهم بالوضع = Orang yang dituduh
dusta
·
فلان فيه النظر = Orang yang perlu
diteliti
·
فلان ساقط = Orang yang gugur
·
فلان ذاهب الحديث = Orang yang haditsnya
telah hilang
·
فلان متروك الحديث = Orang yang
ditinggalkan haditsnya
d. Tingkatan
keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
·
مطروح الحديث = Orang yang dilempar
haditsnya
·
فلان ضعيف = Orang yang lemah
·
فلان مردود الحديث = Orang yang ditolak
haditsnya
e. Tingkatan
kelima, menunjukkan kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hapalannya,
misalnya:
· فلان
لايحتج به = Orang yang tidak dapat dibuat hujjah
haditsnya
· فلان
مجهول = Orang yang tidak dikenal identitasnya
· فلان
منكر الحديث = Orang yang munkar haditsnya
· فلان
مضطرب الحديث = Orang yang kacau haditsnya
· فلان
واه = Orang yang banyak duga-duga
f. Tingkatan
keenam, menyifati rawi dengan sifat sifat yang menunjukan kelemahannya, tetapi
sifat-sifat itu berdekatan dengan ‘adil, misalnya:
· ضعف
حديث = Orang yang di-dha’if-kan hadisnya
· فلان
مقال فيه = Orang yang diperbincangkan
· فلان
فيه خلف = Orang yang disingkiri
· فلان
لين = Orang yang lunak
· فلان
ليس با لحجة = Orang yang tidak dapat digunakan hujjah
haditsnya
· فلان
ليس با لقوي = Orang yang tidak kuat
Orang yang di-tajrih-menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat
keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun
orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan keenam,
haditsnya masih dapat dipakai sebagai I’tibar (tempat pembanding).[17]
4. Kitab-kitab ilmu Al-jarh wa
at-ta’dil.
Kitab-kitab yang membahas ilmu al-jarh
wa at-ta’dil, bibit-bibitnya mulai muncul pada abad ke-2 H, yakni ketika
kodifikasi ilmu mulai marak di segenap penjuru wilayah Islam.
Karya-karya
tersebut adalah karya karya Imam Yahya Ibn Ma’in (158-233), Ali ibn Al-Madiny
(161-234 H), dan Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H). Kemudian, muncul secara
berturut-turut karya berikutnya yang lebih luas uraiannya, mencakup berbagai
bidang, berbagai pendapat para tokoh al-jarh wa at-ta’dil tentang
rawi-rawi yang lebih banyak jumlahnya. Karya itu mencakup sekitar 40 karya,
baik yang dicetak maupun yang masih berbentuk manuskrip, sampai abad VII H.
Karya karya tersebut memiliki ukuran
yang berbeda beda, mulai yang paling kecil yang terdiri dari satu jilid dan
memuat ratusan rawi, sampai yang terbesar yang terdiri dari puluhan jilid dan
memuat puluhan ribu rawi.
Metode yang digunakannya pun
berbeda-beda. Mulai dari yang membatasi karyanya dengan menyebutkan rawi rawi
yang dhaif dan kadzab saja, sampai ada juga yang membatasi pada
rawi rawi yang tsiqat saja. Namun, ada juga yang memadukan antara rawi
rawi tsiqat dengan rawi rawi dhaif. Karya-karya ini sebagian
besar disusun secara alphabet.[18]
‘Adalat al-Shahabah
1. Pengertian
Secara etimologi shahabah adalah berasal dari kata shahaba
yang berarti bersahabat, berteman, berkawan.[19]
Sedangkan menurut Al-hafizh Ibn Hajar Al-‘asqalani,
mendefenisikan shahabah dengan :
من لقى النبى صلى الله عليه وسلم مؤمنا به ومات على الاسلام
Artinya :
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi SAW dalam keadaan beriman kepadanya dan mati juga dalam keadaan Islam.[20]
Kata “Man laqiya” menunjukkan bahwa sahabat orang yang
lama maupun sebentar hidupnya dengan Nabi SAW, meriwayatkan hadits dari beliau
atau tidak, pernah ikut perang bersamanya maupun belum pernah ikut.
Pada kata “Mu’minan bih” mengecualikan orang yang
pernah bertemu dengannya dalam keadaan kafir lalu masuk Islam dan tidak pernah
lagi berjumpa dengan Nabi setelah keIslamannya.
Al-Hafizh ibnu Katsir mendefenisikan sahabah dengan siapa
saja yang pernah melihat Nabi itu sudah cukup dikatakan sebagai seorang
sahabah.
Menurut Ulama Ushul Fiqh Sahabah adalah: Orang yang lama
bersahabat dengan Nabi SAW. Dan banyak duduk bersamanya dengan cara mengikuti
dan mengambil hadist darinya.[21]
Berdasarkan berbagai pendapat tentang defenisi dari sahabat
maka penulis berkesimpulan bahwa shahabat adalah orang Islam yang hidup dimasa
Rasulullah dan wafat dalam keadaan Islam baik telah berkumpul dengan Rasul dalam
waktu lama atau sebentar, pernah melihat Rasulullah dan bergaul dengan beliau.
2.
Tingkatan Shahabat (Tabaqat Shahabah)
Al-Hakim Al-Naisaburi meneliti berdasarkan keIslaman dan
keikutsertaan mereka dalam beberapa
peperangan, ada beberapa tabaqat yaitu, diantaranya:
1. Orang yang masuk
Islam di Makkah seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
2.
Sahabat yang hadir di Dar al-Nadwah, ketika Umar masuk
Islam
3.
Sahabat yang ikut hijrah ke Habsyah
4.
Orang yang dibai’at pada ‘aqabah Pertama
5.
Orang yang dibai’at pada ‘aqabah Kedua
6.
Orang yang pertama kali menyusul hijrah ke Madinah,
ketika Nabi di Quba’
7.
Sahabat yang ikut Perang Badar dan lain-lainnya.
3. Kontraversi
Tentang Kaidah al-shahabah kulluhum ‘udul dan laysa kull al-shahabat.
Kalangan ulama berbeda pendapat untuk memberi sifat ‘adil
pada sahabat, diantaranya:
1.
Ahlu Sunnah wal-Jamaah sepakat bahwa seluruh sahabat Nabi
SAW adalah ‘adil. Keadilan mereka telah dijamin Allah dalam Al-Qur’an, dan Nabi
Muhammad SAW dalam sunnah beliau, karna itu tidak perlu dikritik dan dibahas
lagi masalah keadilannya.[22]
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah 143:
وكذلك جعلناامة وسطا لتكونوا شهداء على الناس
Artinya: Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (umat
yang adil), agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.
Firman Allah dalam surat Al-Hasyr 8
للفقراء المهاجرين الذين اْخرج من ديارهم و
اْموالهم يبتغون فضلا من الله ورضوانا وينصرون الله ورسوله اولىْك هم الصادقون
(سورة الحسر:8 )
Artinya:Untuk orang-orang fakir yang berhijrah, yang
terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari
karunia dari Allah dan keridaan-Nya, dan
demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar
(Adil)
Ayat-ayat ini menyatakan keistimewaan para sahabat, yang
menghabiskan hari-hari mereka bersama Rasulullah, mereka mengorbankan harta,
keluarga, bahkan nyawa mereka, itu semua karena kekuatan iman yang ada di dalam
dada mereka, melalui tarbiyah lansung dari Nabi Muhammad SAW.[23]
Rasulullah juga meredhai para sahabat
setelah beliau wafat, tentang urusan melanjutkan amanah ilahiyah yang
diletakkan dipundak beliau. Beliau melarang siapapun untuk mencela, mencaci
para sahabat disaat mereka melakukan sebuah kesalahan dalam urusan agama,
karena barangkali urusan itu hanya berbentuk ijtihadi, masih diberi pahala satu
disaat mereka salah, dan diberi pahala dua disaat hasil ijtihad mereka itu
benar.
Dalil hadits
tentang keadilan sahabah di antaranya adalah: Pertama diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud r.a dari Nabi SAW bersabda:
خير القرون قرني ثم الذين يلونهم
Artinya: “Sebaik baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang
yang mengikutinya dan lalu generasi orang-orang yang mengikutihya lagi” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Kedua,
diriwayatkan Bukhari dan Muslim, diterima dari Abi Said al-Khudri, diterima
dari Rasulullah SAW bersabda:
لاتسبوا
أصحابى فوالذى نفسى بيده لو انفق احدكم
مثل أحد ذهبا ماادرك مدا احدهم ولانصيفه
Artinya : “Janganlah kamu mencaci sahabatku, maka demi jiwaku pada
kekuasaan-Nya, seandainya diantara kamu menginfaqkan emas sebasar gunung Uhud,
maka ia tak akan mencapai satu gantang dari salah satu di antara mereka
(sahabat) dan tidak pula separohnya.[24]
2.
Mu’tazilah
Mu’tazilah mengatakan setiap orang yang memerangi Ali dengan sadar
adalah orang fasik (penyelewengan) yang periwayatan dan kesaksiannya ditolak
sebab mereka memberontak terhadap imam (pemimpin yang sah).[25]
Mereka tidak mengatakan ‘adil, orang yang memerangi Ali pada peperangan Jamal,
Siffin, karena mereka menjadikan mereka lari dari taufiq dan terperosok pada
hawa nafsu.[26]
3. Sebagian kecil
Ulama, sahabat itu adil dan keadilannya itu mesti diuji, karena sahabat tidak
berbeda dengan manusia lainnya dalam hal ketidak mustahilannya berbuat salah. Keadilannya
bukan secara umum seperti kaedah Ahlu sunnah tetapi secara perorangan.
4.
Penutup
Dari pengertian diatas dapat dikatakan ‘ilmu al-jarh wa
at-ta’dil mesti harus ada, karena tidak semua hadits Rasul itu diriwayatkan
oleh orang yang ‘adil dan dhabith serta membuka peluang bagi
orang yang tidak ‘adil dan dhabith, untuk meriwayatkan hadits
palsu.
Begitu juga
tentang keadilan sahabat, tentu kita semua memilih kepada pendapat yang
mempunyai dasar yang kuat. Allah Swt dan Rasulullah SAW menilai sahabat sebagai
orang yang adil. Mereka harus dinilai adil berdasarkan dengan apa yang mereka
lakukan, yakni membela agama, membantu dan menolong Rasulullah SAW, hijrah
bersama beliau, mengorbankan harta dan jiwa, memiliki komitmen terhadap
persoalan agama, melaksanakan hukum dan aturan aturannya, bersikap ketat dalam
memenuhi perintah Allah dan larangan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahan. Bandung.
PT al-Ma’arif.1993
Al-Khatib, ‘Ajjaj, Ushul Al-Hadits. Terj. H.M
Qodirun dan Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2003
Abi Muhammad Bin, Abdurrahman Bin Abi Hatim. Kitab
al-Jarh wa at-Ta’dil. Kairo. Maktabah Dar-el Kutb Ilmiah.1952
Al-A’zami, M. Diyaud Rahman. Dirasat fi Al-jarh wa
at-ta’dil. Kairo. Maktabah Dar Assalam. 2003
Suryadi
Agus, M. Solahudin Agus. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka setia 2009
Mandzur,
Ibn. Lisanul Al-‘Arab. Pokok kata J-R-H. Juz III. 1302 H.
Itr,
Nuruddin, ulum al-Hadits. Bandung. Remaja Pesda Karya 1995
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia,
Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran 1972
[1]
lihat Ibn Mandzur. Lisanul Al-‘Arab. Pokok kata J-R-H. Juz III. 1302 H.
h. 246.
[2]
‘Ajjaj Al-Khatib,. Ushul Al-Hadits. Terj. H.M Qodirun dan Ahmad
Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2003. h. 233
[3]
Ibn Mandzur. op. cit. pokok kata A-D-L. Juz XIII. h. 456
[4]
Al-Khatib. op.cit. h. 233
[5] M.
Agus Solahudin, Agus Suryadi. Ulumul Hadis. Bandung. Pustaka setia 2009.
h 158.
[6]
Al-Khathib. op. cit. h 233.
[7] Ibid.
[8]M.
Diyaud Rahman Al-A’zami. Dirasat fi Al-jarh wa at-ta’dil. Kairo.
Maktabah Dar Assalam. 2003. h 48.
[9]
H. Mahmud Yunus, al-Qur’an dan terjemahan. Bandung. PT al-Ma’arif.1993.
h 464.
[10]
Nuruddin, ‘ltr, ulum al-Hadits. Bandung. Remaja Pesda Karya 1995. h 61
[11] Ibid.
[13]
Al-Khatib. op.cit. h. 241.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16]
M. Agus Solahudin, Agus Suryadi. op.cit. h 165
[17] Ibid.
[18] Ibid
[19]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Pentafsiran 1972. h 212.
[20]
M. Diyaud Ar-Rahman al-A’zhami. op.cit. h. 165.
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25]
M. Ajaj. op. cit. h. 428
[26] Ibid