BAB
I
PENDAHULUAN
Pembicaraan
mengenai rasional, tradisional, dan campuran antara rasional dan tradisional
sudah sering kita dengar dalam pemikiran Islam pada umumnya. Istilah-istilah
tersebut tidak hanya digunakan dalam ilmu kalam, tapi juga digunakan dalam ilmu
lainnya, seperti ilmu fiqh, dan sosiologi. Sebagai contoh dalam ilmu fiqh
terdapat madzhab Imam Abu Hanifah yang sering dikategorikan sebagai madzhab
yang bersifat rasional karena dalam pemikiran hukum yang dikembangkannya banyak
memakai penalaran atau pendapat. Dan madzhab Imam Malik dikenal sebaliknya
sebagai aliran tradisional karena dalam menyelasaikan suatu masalah madzhab ini
lebih banyak berpegang kepada sunnah.
Jika dilihat dengan kaca mata
positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa
umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam
adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah
mau berfikir. Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam
itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa
kontroversi, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas
masalah teologi.
Agar tidak terjebak dalam
kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk
mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian
mendalam di setiap sisinya. Oleh karena itu, penulis akan mencoba menguraikan beberapa hal yang
berkaitan tentang aliran rasional, tradisional dan diantara rasional dan
tradisional dalam makalah ini, antara lain adalah latar
belakang sosial politik keagamaannya, ajaran-ajarannya dalam bentuk
perbandingan antara ketiganya dan perkembangan dan pengaruhnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Sosial Politik Keagamaannya
1.
Teologi Bercorak Rasional
Rasional
dalam teologi berarti aliran teologi yang banyak mengandalkan kepada
kekuatan akal atau rasio, akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan
interprestasi secara rasional terhadap teks ayat al-Qur’an dan hadis. Penganut
teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas disebut
dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yaitu suatu ayat yang tidak dapat
diinterprestasikan lagi, yang menurut Harun disebut ayat yang qath’i
al-dalalah.[1]
Corak
teologi rasional yang seperti ini merupakan aliran yang dianut oleh kaum
Mu’tazilah. Yaitu aliran yang lebih dominan memakai rasio, namun tetap bertahan
kepada wahyu sebagai kebenaran mutlak.[2]
Secara
bahasa istilah Mu’tazilah berasal dari akar kata I’tazala, yang berarti memisahkan diri. Namun dalam asal-usul
penamaan Mu’tazilah dalam pemikiran kalam, ada beberapa teori yang berbeda.
Teori
yang dikemukakan oleh al-Syahrastani yaitu berasal dari peristiwa yang terjadi
di lingkungan pengajian Hasan al-Basri. Dalam sejarah, Mu’tazilah timbul
berkaitan dengan kasus Washil Ibn ‘Atha yang lahir di Madinah pada tahun 700 M
dengan Al-Hasan Al-Basri[3].
Washil sering mendengar kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di
Bashrah. Suatu ketika Washil menyatakan pendapat bahwa ia tidak setuju dengan
paham kaum Khawarij yang menyatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar
menjadi kafir, dan paham kaum Murji’ah yang menyatakan bahwa orang mukmin yang
berdosa besar masih tetap mukmin. Menurut Washil bahwa orang Islam yang
melakukan dosa besar itu bukan kafir dan bukan pula mukmin, tetapi mengambil
posisi di antara posisi kafir dan mukmin, dan kalau orang yang demikian
bertobat sebelum meninggal, ia akan masuk surga.
Tetapi
kalau tidak sempat bertobat, ia akan masuk neraka untuk selama-lamanya. Dengan
kata lain jika orang Islam berdosa besar, kemudian mati dengan tidak sempat
bertobat maka nasibnya di akhirat akan sama dengan orang kafir, yaitu masuk
neraka selama-lamanya. Washil dengan
pendapatnya yang berbeda dengan pendapat al-Hasan al-Basri kemudian membentuk
aliran teologi yang kemudian dikenal dengan nama mu’tazilah. Dan Harun Nasuiton
sependapat dengan teori ini, dengan mengatakan bahwa teori inilah yang lazim
disebutkan dalam buku ilmu kalam[4].
Sedangkan
menurut Abuddin Nata, mengatakan bahwa aliran Mu’tazilah muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat
adanya peristiwa Tahkim[5].
Sependapat dengan Abuddin Nata, Imam Muhammad Abu Zahrah juga mengatakan bahwa
aliran Mu’tazilah sudah muncul jauh sebelum terjadinya peristiwa antara Washil
dan Hasan tersebut[6].
Dapat
disimpulkan dari perbedaan pendapat para ahli di atas, bahwa nama Mu’tazilah
ini telah muncul pada peristiwa Tahkim, ada
juga yang mengatakan bahwa aliran ini muncul ketika terjadinya perdebatan kaum
muslimin pada saat dibunuhnya Usman bin Affan, dan berikutnya muncul dari
peristiwa yang terjadi di antara Washil dan Hasan al-Basri.
2.
Teologi Bercorak Tradisional
Tradisional
dalam teologi berarti mengambil sikap terikat tidak hanya pada dogma yang jelas
dan tegas di dalam al-Qur’an dan sunnah (qath’i), tetapi juga pada ayat
yang mempunyai arti zhanni, yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti harfiah
dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan hadis serta kurang menggunakan logika.[7]
Adapun
corak tradisional dalam pemikiran kalam mempunyai perbedaan dengan corak
rasional sebagaimana diuraikan diatas. Penganut teologi tradisional mengambil
sikap terikat tidak hanya pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat yang
mempunyai arti zanni, yaitu ayat-ayat yang boleh mengandung arti yang lain dari
arti leterlek yang terkandung didalamnya. Ayat-ayat itu mereka artikan secara
leterlek. Dengan demikian para penganut teologi ini sukar dapat mengikuti
perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modren. Mereka
berpegang teguh pada arti harfiah dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan hadis,
ditambah dengan menggunakan logika, dan kurang sejalan dengan jiwa dan
pemikiran kaum terpelajar.[8]
Selain
itu teologi ini juga banyak berpegang kepada wahyu didalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Dalam memecahkan masalah, mereka terlebih dahulu
berpegang kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional untuk
teks wahyu tersebut. Adapun yang tergolong penganut teologi tradisional ini
adalah kaum Asy’ariyah.
Nama Al-Asy’ariyah diambil dari nama
Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari yang dilahirkan dikota Bashrah (Irak)
pada tahun 206 H/873 M. Pada awalnya Al-Asy’ari ini berguru kepada tokoh
Mu’tazilah waktu itu, yang bernama Abu Ali Al-Jubai. Dalam beberapa waktu
lamanya ia merenungkan dan mempertimbangkan antara ajaran-ajaran Mu’tazillah
dengan paham ahli-ahli fiqih dan hadist.
Ayah
al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah
dan ahli hadist, dan wafat ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat,
beliau berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya agar mendidik al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari
sepeninggal suaminya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama
Abu Ali al-Jubba’i. Berkat didikan ayah tirinya kemudian al-Asy’ari kemudian
menjadi tokoh Mu’tazilah. Baliau sering menggantikan al-Jubba’i dalam
perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah.
Al-Asy’ari
menganut faham Mu’tazilah hanya sampai beliau berusia 40 tahun, setela itu
tiba-tiba beliau mengumumkan kepada jamaah di masjid Bashrah bahwa beliau telah
meninggalkan faham Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan faham
tersebut. Dan juga diceritakan bahwa latar belakang beliau meninggalkan aliran
ini adalah pengakuan beliau bahwa belaiu bertemu dengan Rasulullah saw. di
dalam mimpinya sebanyak tiga kali, yaitu malam ke-10, 20, dan 30 bulan Ramadhan
dan Rasul memperingatkannya agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela
faham yang diriwayatkan sendiri oleh beliau[9].
Terlepas
dari sebab-sebab itu, ajaran al-Asy’ari muncul sebagai alternative yang
menggantikan kedudukan ajaran Mu’tazilah yang sudah mulai ditinggalkan orang
sejak zaman al-Mutawakkil. Diketahui bahwa setelah al-Mutawakkil membatalkan
putusan al-Makmun yang menetapkan aliran Mu’tazilah sebagai madzhab negara,
kedudukan aliran ini mulai menurun. Apalagi setelah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan
penghormatan terhadap Ibn Hambal sebagai lawan utama dari Mu’tazilah[10].
Dalam suasana demikianlah al-Asy’ari keluar dan menyusun teologi islam baru
yang sesuai dengan paham masyarakat yang berpegang kuat pada hadis.
3.
Teologi yang Bercorak Antara Rasional dan Tradisional
Teologi
yang bercorak antara rasional dan tradisonal di sini maksudnya bukanlah
menggabungkan dua corak, rasional dan tradisonal, tetapi sebuah aliran yang
pengikut alirannya terbagi dua, kelompok pertama mengikuti corak rasional dan
yang lain mengikuti corak tradisional. Aliran yang bercorak antra rasional dan
tradisional ini adalah aliran al-Maturidiyah.
Al-Maturidiyah
merupakan salah satu sekte Ahl al-Sunnah
wal Jama’ah, yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Al-Maturidiyah dan
Asy’ariyah dilahirkan oleh kondisi sosial dan pemikirna yang sama. Kedua aliran
ini datang duntuk memenuhi kebutuhan mendesak yang meyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstriminitas kaum rasionalis dimana yang berada di
barisan paling depan adalah Mu’tazilah[11]. Hanya saja tempat berkembangnya
berbeda, aliran al-Asy’ariyah berkembang
di Basrah sedangkan aliran al-Maturidiyah berkembang di Samarkand.
Aliran
Maturidiyah berdiri atas prakarsa al-Maturidi dengan nama lengkap Abu Mansur
ibn Muhammad ibn Mahmud al-Maturidi. Beliau dilahirkan di Maturidi, sebuah
daerah di Samarkand. Lahir kira-kira pada tahun 852 M dan wafat pada tahun 944
M. Beliau dikenal sebagai pengikut Abu
Hanifah, seorang mujtahid yang bercorak rasional.
Sebagai
pengikut Abu Hanifah, maka pemikiran al-Maturidi juga terkadang cenderung agak
rasional. Dengan demikian meskipun al-Maturidi sendiri seperti al-‘Asyari
muncul sebagai reaksi terhadap paham Mu’tazilah, namun dalam beberapa masalah, al-Maturidi
sendiri cenderung sependapat dengan Mu’tazilah, dan dalam beberapa hal lain:
dengan sebutan Maturidi Samarkand.
Paham
tradisional selanjutnya dianut oleh Maturidiah Bukhara. Maturidiah Bukhara
adalah pengikut Al-Bazdawi. Beliau bernama lengkap Abu Yusr Muhammad
al-Bazdawi, salah seorang pengikut penting al-Maturidi. Hubungan guru dengan
murid ini bukanlah hubungan dalam bentuk langsung melainkan al-Bazdawi
mendapatkan ilmu dari orang tua dan neneknya yang merupakan murid dari
al-Maturidi.
Ia
menerima ajaran-ajaran Maturidi dari orang tuanya. Ia selanjutnya mempunyai
murid-murid, yang salah seorang di antaranya adalah Najm al-Din Muhammad
al-Nasafi (460-537 M), pengarang kitab al-Aqaid al-Nasafiah. Dalam paham
teologinya, al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara
Maturidi Samarkand dan Maturidi Bukhara terdapat perbedaan yang berkisar pada
persoalan kewajiban mengetahui Tuhan. Jika Maturidi Samarkand mewajibkan
mengetahui Tuhan dengan akal, sedangkan Maturidi Bukhara tidak demikian halnya
karena menurutnya kewajiban mengetahui Tuhan dapat dicapai dengan wahyu.
Selanjutnya,
sebagaimana dalam paham Asy’ariah, Maturidi Bukhara pun mempunyai paham bahwa
Tuhan mempunyai sifat, dan menganut paham jabariah, yakni bahwa yang menentukan
perbuatan manusia adalah Tuhan. Dengan memperhatikan uraian tersebut menjadi
jelaslah bahwa Maturid Bukhara dapat digolongkan ke dalam paham teologi yang
bercorak tradisional.
B.
Ajaran-ajarannya Dalam Bentuk Perbandingan Diantara
Ketiganya
Ada
beberapa permasalahan yang menjadi perselisihan pendapat antara pengikut aliran
yang bercorak rasional dan tradisional seperti yang telah disebutkan di atas,
dan dalam setiap permasalahan yang diangkat ada aliran yang tidak konsisten
dalam mengikuti satu corak pemikiran saja, aliran ini dalam satu waktu
menigkuti corak rasional dan terkadang mengikuti corak tradisional, seperti
aliran Maturidiyah.
Adapun
perbandingan ajaran-ajaran dari ketiga aliran itu dalam beberapa permasalahan
adalah sebagai berikut:
1.
Pelaku Dosa Besar
a. Aliran Mu’tazilah
Bila
Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku
dosa besar, maka Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat pelaku dosa
besar, apakah dia masih beriman atau sudah kafir. Ketentuan ini dikenal dengan
sebutan manzilah baina manzilataini.
Setiap pelaku dosa besar bagi aliran ini berada di tengah posisi beriman dan
kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan
dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya, walaupun demikian siksaan yang
diterimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir, dan disebut dengan orang
fasik oleh Washil bin Atha’.
b. Aliran Asy’ariyah
Al-Asy’ari
sebagai wakil dari Ahl al- Sunnah,
tidak mengkafirkan orang-orang yang bresujud ke Baitullah (beriman) walaupun mereka melakukan dosa beasar, seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, sekalipun mereka berbuat dosa besar. Tetapi jika dosa itu mereka
lakukan dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak menyakini
keharamnnya, maka ia dipandang kafir.
Adapun
balasan akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila meninggal dan tidak
bertaubat, maka menurut aliran ini tergantung kepada kebijakan Tuhan. Tuhan
bisa saja mengampuninya dan mendapat syafaat dari Nabi Muhammad saw. sehingga
terbebas dari siksaan api neraka, begitu juga sebaliknya.
c. Aliran Maturidiyah
Aliran
ini, baik Samarkand dan Bukhara sepakat mengatakan bahwa pelaku dosa besar
masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun
balasannya tergantung kepada yang dilakukannya di dunia. Jika dia meninggal
sebelum bertaubat, keputusannya diserahkan kepada Allah.
2.
Iman dan Kufur
a. Aliran Mu’tazilah
Menyangkut
permasalahan ini, aliran Mu’tazilah memiliki pendapat yang sama dengan
penjelasan status dosa besar bagi para pelakunya.
Seluruh
pemikir Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa amal perbuatan merupakan salah satu
unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikkannya dengan
iman. Aspek penting dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka
identifikasikan sebagai ma’rifah
(pengetahuan dan akal). Ini menjadi unsur yang penting karena mereka bercorak
rasional, mereka menekankan pentignya pemikiran logika atau pemikiran akal bagi
keimanan.
b. Aliran Asy’ariyah
Untuk
memahami makna iman, Abu Hasan al-Asy’ari mendefenisikan iman dengan secara
berbeda. Beliau mendefenisikan iman dalam satu karyanya dengan qaul dan amal yang dapat bertambah dan berkurang. Dalam karya lain beliau
mendefinisikan tashdiq bi Allah. Dan dalam karya yang lain iman secara esensial
adalah tashdiq bi al-janan
(membenarkan dengan hati), mengatakan qaul
berarti lisan, dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal). Dan keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali jika ia
mengingkari salah satu dari hal yang disebutkan di atas.
c. Aliran Maturidiyah
Aliran
Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiqul bil qalbi, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Aliran ini tidak berhenti sampai di situ, tashdiq seperti yang dipahami itu, harus
diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq merupakan hasil dari ma’rifah didapatkan melalui penalaran
akal.
Sedangkan
menurut Maturidiyah Bukhara yang dijelaskan oleh al-Bazdawi adalah tashdiqu bi al-qalbi dan tashdiq bi al-lisan. Tashdiqu bi al-qalbi adalah meyakini dan
membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya
beserta risalah yang dibawanya. Sedangkan tashdiq
bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara
verbal. Al-Bazdawi menambahkan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa
bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.
3.
Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia
a. Aliran Mu’tazilah
Sebagai
aliran yang bercorak rasional, aliran ini berpendapat bahwa perbuatan Tuhan
hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun hal ini bukan berati
Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk, Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena Ia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Dan Tuhan
tidaklah berbuat zhalim sebagaimana
yang dijelaskan dalam al-Qur’an.
Faham
kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengkonsekuensikan aliran ini memunculkan
faham kewajiban Allah sebagai berikut:
1) Kewajiban tidak memberikan beban di luar
kemampuan manusia.
2) Kewajiban mengirim rasul
3) Kewajiban menepati janji (al-wa’du) dan ancaman (Al-Wa’id).
Untuk
perbuatan manusia menurut aliran ini bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia,
tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Dan Mu’tazilah juga
dengan tegas mengatakan bahwa daya juga berasal dari manusia, dan daya yang ada
pada diri manusia merupakan tempat terjadinya perbuatan. Jadi Tuhan tidak
dilibatkan dalam perbuatan manusia. Dengan faham seperti ini, aliran Mu’tazilah
mengaku bahwa Tuhan sebagai pencipta awal dan manusia berperan sebagai pihak
yang berkreasi untuk mengubah bentuk perilakunya.
b. Aliran Asy’ariyah
Menurut
aliran ini, pemikiran yang disampaikan oleh Mu’tazilah tidak bisa diterima
karena bertentangan dengan faham keuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan
demikian aliran ini tidak meneriman faham Tuhan memiliki kewajiban untuk
berbuat baik kepada manusia dan Tuhan tidak memiliki kewajiban. Tuhan dapat
bertindak sesuka hati-Nya terhadap makhluk.
Karena
percaya pada keuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban apa-apa, aliran ini berpendapat bahwa Tuhan bisa saja memberikan
beban di luar kemampuan manusia. Walaupun mengutus rasul itu memiliki arti
penting bagi manusia, tetapi itu bukanlah kewajiban Tuhan karena Tuhan tidak
memiliki kewajiban apa-apa terhadap manusia. Begitu juga halnya dengan menepati
janji, Tuhan tidak memiliki kewajiban untuk menepati janji kepada manusia.
Dalam
hal perbuatan manusia, pada prinsipnya aliran ini berpendapat bahwa perbuatan
manusia diciptakan oleh Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek
untuk mewujudkannya. Tuhan menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan
pula kepada manusia daya untuk melakukan perbuatan.
c. Aliran Maturidiyah
Terdapat
perbedaan pendapat antara pengikut aliran Maturidyah dalam permsalahan ini.
Maturidiyah Samarkand memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak Tuhan,
perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut kepada hal yang baik-baik saja. Dengan
demikian Tuhan memiliki kewajiban untuk melakukan hal yang baik bagi manusia.
Adapun
Matrudiyah Bukhara memiliki padangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham
bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Bazdawi Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang
yang berbuat baik, walaupun Tuhan bisa saja membatalkan ancaman bagi orang yang
berbuat dosa besar.
Ada
perbedaan antra Maturidiyah Samarkand dan Bukhara mengenai perbuatan manusia.
Matudiyah Samarkand lebih dekat dengan Mu’tazilah, sedangkan Bukhara lebih
dekat dengan Asy’ariyah. Perbedaan Matudiyah Samarkand dengan Mu’tazilah
hanyalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelum berbuat, tetapi diciptakan
sama dengan perbuatannya.
4.
Sifat-sifat Tuhan
a. Aliran Mu’tazilah
Aliran
ini berpendapat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat, defisini mereka tentang Tuhan
bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, keuasaan, hajat, dan
sebagainya, namun ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak mengetahui, tidak
berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, hidup
dan sebagainya, tetapi dengan makna yang sebenarnya, bukan sifat-Nya. Berarti
Tuhan mengetahui dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.
Aliran
ini membagi sifat Tuhan ke dalam dua pembagian, yaitu:
1) Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan
itu sendiri, seperti wujud, qidam, baqa,
dll.
2) Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan
dan berkaitan dengan makhluk-Nya,
seperti iradah, kalam, ‘adl, dsb[12].
Pemuka-pemuka
Mu’tazilah sepakat mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Aliran ini memberikan daya yang besar kepada
akal berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikakatakan mempunyai sifat-sifat
jasmani.
b. Aliran Asy’ariyah
Di
kalangan Asy’ariyah daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan
dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini tidaklah sama dengan esensi
Tuhan, berbeda dengan esensi Tuhan tapi berwujud dalam esensi Tuhan. Jadi
mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, dan tidak pula lain
dari Tuhan.
Asy’ariyah
sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada akal
juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat jasmani jika dipandang sama dengan
jasmani manusia. Asy’ari berpendapat bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang wujud, karena Tuhan
mempunyai wujud maka Ia dapat dilihat.
c. Aliran Maturidiyah
Maturidiyah
Bukhara, mempertahankan kekuasaan Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat. Dan sifat-sifat Tuhan itu kekal melalui kekekalan yang terdapat
dalam diri-Nya bukan kekelan sifat itu sendiri. Sedangkan Maturidiyah Samarkand
tidak sepaham dengan itu karena mereka beranggapan bahwa sifat bukanlah Tuhan,
tetapi tidak pula datang dari selain Tuhan.
5.
Kehendak Muthlak dan Keadilan Tuhan
a. Aliran Mu’tazilah
Aliran
ini berprinsip bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zhalim dengan memaksakan kehendak kepada
hamba-Nya, kemudian mengharuskan hamba-Nya itu untuk menanggung akibat
perbuatannya. Dengan demikian, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan perbuatannya
tanpa ada paksaan apapun dari Tuhan. Dengan kebebasan itulah, manusia dapat
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Tidaklah adil jika Tuhan memberikan
pahala atau siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan memberikan
kebebasan terlebih dahulu.
Secara
lebih jelas, aliran ini mengatakan bahwa kekuasaan sebenarnya tidak mutlak.
Ketidakmutlakan itu disebabkan oleh kebebasan yang diberikan kepada manusia
serta adanya hukum alam (sunnatullah).
Keadilan
Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan memilih yang buruk, tidak
melalaikan kewajiban-Nya kepada manusia dan segala perbuatan-Nya adalah baik.
Keadilan Tuhan terletak pada keharusan adanya tujuan dalam
perbuatan-perbuatan-Nya, yaitu kewajiban untuk berbuat baik dan terbaik bagi
manusia dan memberikan kebebasan kepada manusia, dan kehendak mutlaknya
dibatasi oleh keadilan itu sendiri.
b. Aliran Asy’ariyah
Karena
lairan ini percaya pada kemutlakan kekuasaan Tuhan, mereka berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan. Yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu semata-mata adalah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian, keadilan Tuhan
mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan
dapat berbuat sekehendak hati-Nya, dan itulah keadilan Tuhan, Tuhan akan tidak
adil jika tidak dapat berbuat sekehendak hati-Nya kepada manusia, karena Dia
memiliki kekuasaan mutlak. Seandainya Tuhan ingin memasukkan semua manusia ke
dalam surga atau neraka, maka itulah keadilan Tuhan karena Tuhan berbuat dan
membuat menurut kehendak-Nya. Jadi menurut aliran ini, keadilan Tuhan itu
terletak pada kehendak mutlak-Nya.
c. Aliran Maturidiyah
Kehendak
mutlak Tuhan menurut Matudiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan
adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu
untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-Nya terhadap manusia.
Oleh karena itu Tuhan tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada
manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman karena Tuhan tidak
dapat berbuat zhalim.
Sedangkan
Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan
dapat berbuat apa saja sekehendak hati-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak
yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Jadi
keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tidak ada satupun dzat yang
lebih berkuasa daripada-Nya.
Untuk
lebih mempermudah pemahaman, akan disajikan perbedaan pendapat masing-masing
aliran tersebut ke dalam tabel yang dilampirkan di akhir makalah ini.
C.
Perkembangan dan Pengaruhnya
1.
Aliran Mu’tazilah
Kemunculan
aliran Mu’tazilah untuk pertama kalinya, pada masa dinasti Umayyah yang berada
pada ambang kehancuran, yakni pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik bin Marwan
dan Hisyam bin ‘Abd al-Malik. Dan ketika pemerintahan jatuh pada Dinasti
Abbasiyah, golongan Mu’tazilah mendapatkan tempat yang amat baik di dalam
pemerintahan[13].
Dalam
mempelajari perkembangan Mu’tazilah selanjutanya kita akan menemukan tiga masa
dimana aliran ini lahir, Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid sebagai tokohnya pada
masa pertama. Masa kedua adalah masa perkembangan dan kejayaan Mu’tazilah,
yaitu pada masa awal Daulah Abbasiyah, Abu Hudzail dan an-Nazzham sebagai
tokohnya. Dan masa ketiga yaitu masa kemunduran bahkan kehancuran Mu’tazilah
hingga beberapa saat lamanya, al-Jubbai dan putarnya Abu Hasyim sebagai
tokohnya.
a.
Periode
Pertama.
Pada masa
ini Washil dan Amr cenderung berargumentasi dengan al-Qur’an dan Hadist sebagai
landasan pertama yang dilanjutkan dengan rasio tentunya. Pada masa ini,
filsafat masih sangat minim di kalangan mereka bahkan belum dikenal. Pada masa
ini kaum muslimin telah mulai mempelajari al-Qur’an dan Hadist dari berbagai
aspeknya. Mereka juga telah mulai menerjemahkan berbagai buku ke dalam bahasa
Arab. Tapi itu hanya untuk faedah praktis saja, belum ke teori atau untuk
keperluan argumentasi.
b.
Periode
Kedua
Masa ini
adalah awal pemerintahan Bani Abbasyiah, pada masa ini Islam mencapai puncak
kejayaanya termasuk dari segi keilmuwan. Pada masa ini kaum muslimin telah
mulai menerjemahkan buku-buku yang beragam termasuk filsafat. Para bangsa non
Arab mulai berdatangan untuk menuntut ilmu, percampuran bangsa, kultur, bahasa
dan pengetahuan terjadi pada masa ini. Pengaruhnya adalah kaum muslimin menjadi
lebih tolerir. Contohnya adalah bangsa Sarayan diperbolehkan mendirikan sekolah
yang mengajarkan filsafat
Tapi
filsafat yang berkembang atau yang diajarkan di sekolah tidaklah murni dari
filsafat Yunani kuno tapi telah bercampur dengan pemikiran-pemikiran Plato.
Pada masa ini Mu’tazilah telah memakai filsafat meskipun belum sempurna,
seperti Abu Hudzail al-Allaf yang mengambangkan pemikiran-pemikiran Mu’tazilah
yang kemudian diramu dengan informasi-informasi baru. Juga dengan an-Nazzham
yang dianggap sebagai filosofis pertama Mu’tazilah yang paling mendalam
pemikirannya.
Pada masa
ini juga Mu’tazilah mencapai puncak kejayaannya, yaitu pada masa al-Ma’mun (198
H). Khalifah ini menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi kerajaan.
c.
Periode
Ketiga (masa kemunduran)
Pada priode
ke dua, tokoh-tokoh Mu’tazilah telah mengenal filsafat meskipun belum sempurna,
karena pada masa itu adalah awal penerjemahan. Maka pada priode selanjutnya
yaitu pada masa Abu Ali al-Jubbai (w 235 H) penrjemahan ini bisa dikatakan
sempurna. Mereka telah menggunakan istilah-istilah filsafat secara menyeluruh
seperti al-jauhar, aradh, hulul, dan
sebagainya. Pemikiran dan argumentasi merekapun telah berdasarkan filsafat.
Pada masa
ini Mu’tazilah mulai menurun dan akhirnya kalah pada masa Abu Hasyim oleh Abu
Hasan al-Asy’ari, murid Al-Jubba’i sendiri. Abu Hasan adalah penganut Mu’tazilah
selama lebih dari 40 tahun, pada suatu ketika ia tidak puas dengan jawaban
gurunya tentang tentang pertanyannya soal anak kecil, kafir dan mu’min yang
meninggal. Iapun meninggalkan Mu’tazilah dan mengenalkan ajaran baru.
Pengaruh
politk juga sangat penting dalam kemunduran Mu’tazilah. Pada saat al-Mutawakkil
berkuasa (232 H) kemunduran ini semakin terlihat. Ini adalah akibat dari
perbuatan mereka sendiri, yaitu ketika al-Ma’mun berkuasa, para Mu’tazilah ini
memaksakan faham mereka kepada orang lain dan orang yang menolak diturunkan
dari jabatan politiknya. Kehadian ini tekenal dengan sebutan peristiwa al-Qur’an.
Maka ketika
al-Mutawakkil berkuasa orang-orang yang diturunkan secara paksa pada masa al-Ma’mun
diberikan jabatannya kembali, tentu orang-orang ini balik menyerang Mu’tazilah.
Puncak kemunduran Mu’tazilah terjadi pada masa Mahmud Ghaznawi seorang Sunni
bermadzhab Syafi’i berkuasa (361-421). Buku-buku Mu’tazilah dibakar. Meskipun
secara umum Mu’tazilah sudah tidak berjaya lagi tapi ajaran-ajarannya tetap
hidup dan melahirkan tokoh-tokoh besar dalam yang banyak berkarya dalam
tulisan. Tokoh pertama Mu’tazilah pada abad keempat adalah Abdul Jabbar. Pada
mulanya ia belajar fiqh dan hadist kepada imam Syafi’i, tapi kemudian ia lebih
suka belajar tentang Mu’tazilah. Ia menulis sistematika pemikiran Mu’tazilah
dalam karyanya al-Mughni.
2.
Aliran Asy’ariyah
Asy’ariyah
adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Beliau lahir di Bashrah tahun 260 H. Bertepatan dengan tahun 935 M. Beliau
wafat di Bashrah pada tahun 324 H di usia lebih dari 40 tahun. Al Asy’ari
menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba
mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan
faham Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya.
Setelah
ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali al-Jubba’i, salah seorang
pembesar Mu’tazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari
yang semula berpaham Mu’tazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab
yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami
kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan
Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber
lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat
Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi
beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang
kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang
ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah,
Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia
mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H[14].
Setelah
itu, Abdul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf
dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan
pada pendirian barunya. Dalam kitab al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia
berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Tahun 912 M
al-Asyari memutuskan keluar dari Muktazilah, setelah bergumul dalam kelompok
itu selama kurang lebih empat puluh tahun. Kemudian ia merumuskan pandangan
teologi (kalam) Islam yang berseberangan dengan pandangan Mu’tazilah. Kelompok
al-Asyari ini dikenal dengan Asyariyah.
Pada tahun 935 M al-Asyari
wafat. Perjuangannya memperkuat paham Ahlus Sunnah wa al-Jamaah dilanjutkan
oleh murid-muridnya. Di antarannya adalah al-Juwaini, al-Ghazali, dan
al-Sanusi. Tahun 1028 M lahir seorang tokoh Asyariyah bernama Abdul Malik bin
AbduHah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayyuwiyah al-Juwaini
al-Nisaburi, atau yang dikenal dengan Al-Juwaini. Ia menjadi pengajar di
Madrasah Nizamiyah Nisyapur selama 23 tahun. Madrasah ini menjadikan teologi
Islam aliran Asyariyah sebagai kurikulum resmi. Salah satu murid Al-Juwaini
yang terkenal adalah Al-Ghazali.
Tahun 1058
M, Lahir Abu Hamid al-Ghazali, yang kemudian menjadi pembela aliran Asyariyah
paling berpengaruh sepanjang sejarah pemikiran Islam. Al-Ghazali juga pernah
menjadi guru di Madrasah Nizamiyah. Sejak saat itu aliran Asyariyah menyebar ke
seluruh pelosok dunia Islam, dari Andalusia hingga Indonesia.
Tahun 1427
M. lahir tokoh Asyariyah yang lain, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Yusuf
as-Sanusi. Imam yang satu ini, punya pengaruh yang besar di Indonesia, terutama
konsepnya tentang sifat Allah dan Rasul-Nya.
Akidah
ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti Bani Saljuq dan
seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi
pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di
kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar
di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat
dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga
didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab asy-Syafi'i dan
mazhab al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan
bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di
seluruh dunia[15].
3.
Aliran Maturidiyah
Golongan
Maturidiyah berasal dari Abu al-Mansur al-Maturidi. Latar belakang lahirnya
aliran ini hampir sama dengan aliran Asy’ariyah, yaitu sebagai reaksi penolakan
terhadap ajaran Mu’tazilah, walaupun sebenarnya pandangan keagamaan yang
dianutnya hampir sama dengan pandangan Mu’tazilah yaitu lebih menonjolkan akal
dalam system teologinya.
Abu
Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada
pertengahan ke dua aasehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui
mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham
teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah.
Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi
ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah[16].
Abu
Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke tiga hijirah,
di mana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya
adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Negeri Samarkand pada saat itu
merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh. Diskusi di bidang fiqh
berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.
Selain
itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah.
Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk
menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di
barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di
mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut
Imam Ibnu Hambal).
Pada
awalnya antara kedua aliran ini (Maturidiyah dan Asy’ariyah) dipisahkan oleh
jarak, aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir,
sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang
sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks
dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai
masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba
dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi)
membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam
al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah[17].
Memang
aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah.
Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim
keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi
yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah
(aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal
manusia. Maka dari itu, al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu
dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah
antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah
sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
Salah
satu pengikut penting dari al-Maturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi
(421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi
mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-bazdawi sendiri
mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad
al-Nasafi (460-537 H).
Walaupun
konsep pemikiran al-Bazdawi bersumber dari pemikiran al-Maturudi, tapi terdapat
pemikiran-pemikiran al-Bazdawi yang tidak sefaham dengan al-Maturudi. Antara ke
dua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan faham sehingga boleh
dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan
Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.
Pada
mulanya, aliran ini masih teguh pada satu kiblat yakni pemikiran-pemikiran dari
pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu
dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang
bertentangan dengan pemikiran-pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal-hal
yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan
pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Maka dengan adanya perbedaan-perbedaan
tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut
setia al-Maturidi yang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand[18].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aliran-aliran
yang bercorak teologi rasional di anut oleh kaum Mu’tazilah dan Maturidiah
Samarkand. Secara bahasa istilah
Mu’tazilah berasal dari akar kata I’tazala,
yang berarti memisahkan diri. Namun dalam asal-usul penamaan Mu’tazilah dalam
pemikiran kalam, ada beberapa teori yang berbeda.
Aliran
bercorak teologi tradisional dianut oleh kaum Asy’ariyah dan Maturidiah
Bukhara. Teologi Asy’ariyah dibangun oleh Abu Hasan
Ali ibn Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma;il bin Abdillah bin Musa bin Bilal
bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari yang lahir di Bashrah pada tahun 875 M
dan wafat di Baghdad pada tahun 935 M. Pada mulanya beliau adalah murid
al-Jubbai dan termasuk salah seorang yang terkemuka dalam golongan Mu’tazilah.
Teologi
yang bercorak antara rasional dan tradisonal di sini maksudnya bukanlah
menggabungkan dua corak, rasional dan tradisonal, tetapi sebuah aliran yang
pengikut alirannya terbagi dua, kelompok pertama mengikuti corak rasional dan
yang lain mengikuti corak tradisional. Aliran yang bercorak antra rasional dan
tradisional ini adalah aliran al-Maturidiyah.
B. Saran
Disadari
bahwa cakupan pembahasan Ilmu kalam dalam makalah ini spenuhnya belumlah memuat
dan menguraikan hal-hal yang menjadi sub topik pembahasan yang telah ditetapkan
dalam silabus mata kuliah Studi Pemikiran Islam. Akan tetapi kiranya pembahasan
ini dapat menjadi batu loncatan dan bahan pembuka wacana, saran dan argumentasi
yang logis-konstruktif dari para pembaca, sehingga apa yang menjadi sasaran
dari penulisan makalah ini untuk dapat menjadi karya ilmiah yang memiliki
kualitas keilmuan yang baik dapat dicapai dengan baik. Amin
[2] Ibid., h. 51
[3] Alkhendra, Pemikiran Kalam, (Bandung: Alfabeta,
2000), h. 48
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Alira-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), h. 38
[5] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf (Dirasah
Islamiyah IV), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 75
[6] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah, (Jakarta:
Logos, 1996), h. 150
[7] Ermagusti, Op. Cit., h.47
[8] Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ,(Jakarta: UI-Preaa, 1979), Jilid II, h. 43
[9] Abdul Rozak dan Rosihon
Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2003), h. 120
[10] Abuddin Nata, Op. Cit., h. 72
[11] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 80-81
[12] Harun Nasuiton, Op. Cit., h. 53
[13] Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini Peletak Dasar Teologi Rasional
dalam Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 9
[14] Ibrahim Madkour, Op. Cit., h. 66-67
[15]file:///C:/Users/Acer/Documents/Makalah%20Sejarah%20Pemikiran%20Islam%20_%20Ambi%20Ricko%20-%20Academia.edu.htm
[16] Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 207
[17] Ibrahim Madkour, Op. Cit., h. 80-81