1. PENDAHULUAN
Sebelum datang agama islam adalah manusia berada dalam keadaan yang
sangat memprihatinkan dari segi berfikir dan bertindak. Mereka hanyut dalam
kegelapan dan tidak mengenal peradaban sebagaimana hidupnya kabilah-kabilah
yang saling berdampingan namun tidak punya rasa tenggangrasa antar sesama.
Seperti hidupnya para kabilah-kabilah di kawasan Najd, Iraq, Syam, Hijaz,
Bahrain, ‘Amman, Yaman dan penduduk yang tinggal di padang pasir (البداوى).[1]
Dengan
hadirnya agama Islam melalui ilmu yang selalu menjadi landasan
dalam berfikir
dan bertindak, umat islam menjadi umat yang maju bahkan mengalahkan cara
berfikir dan bertindaknya bangsa eropa, bahkan umat islam bisa membuat bangsa
eropa terbelalak melihat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat islam
terhadap nilai-nilai akhlak dan keilmuan yan sangat tinggi, sehingga menghasilkan
para ilmuan yang pakar-pakar dalam berbagai bidang termasuk bidang filsafat.
Sebagai contoh Andalus, yang merupakan pusat kebudayaan islam di eropa
yang telah menghasilkan ilmuan kelas dunia sehingga didatangi banyak pelajar
dari bangsa eropa seperti Ibnu Rusdy, Imam Thobary, dsb. untuk membangkitkan
semangat dalam mempelajari ilmu filsafat, ia berusaha memberikan pengertian
bahwa ilmu filsafat itu tidak bertentangan dengan wahyu Allah Swt. Melalui
karya-karyanya dia berusaha mewujudkan itu, diantaranya adalah kisah roman yang
berjudul Hayy Ibn Yaqzhan. Dengan roman ini, dia mencoba menerangkan
antara filsafat dan agama. Bagaimanakah Ibnu Tufail menuangkan hasil karyanya
dalam roman ini?, Insyaalah penulis akan memberikan keterangannya dalam makalah
ini dari berbagai sumber yang penulis dapatkan, diantaranya dalam buku كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها karangan
Yusuf Farhat.
2. Biografi
Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abdul Malik, dengan gelar Abu Bakar
dan dinisbahkan kepada bani Qois. Dia dilahirkan di desa وادى أش cadix Granada Andalus, adapaun
tanggal kepastian dari kelahirannya tidak begitu diketahui secara pasti, namun
para ahli penghubung sejarah memberitakan kelahiran Ibnu Tufail pada abad ke-6
H[2],
dan dalam buku Filsafat Islam, Prof. Dr. Sirajuddin Zar menulis bahwa
kelahiran Ibnu Tufail pada tahun 506/1110 M.[3]
Disisi lain latar belakang sejarah dari Ibnu
Tufail hampir sulit dijumpai, demikian juga dengan para guru-gurunya dan
perjalanan dalam mencari ilmu pengetahuan, dugaan kuat dia pernah belajar di
Secville karena kota tersebut merupakan pusat kegiatan keilmuan terbesar di
Andalus pada sat itu. Ada yang mengatakan Ibnu Tufail mempelajari ilmu
kedokteran di Granada dan ada pula yang mengatakan dia murid dari Ibnu Majjah,
tapi dia sendiri mengaku tidak pernah bertemu dengan filosof itu.[4]
Jadi selain menjadi filosof, Ibnu Tufail juga terkenal dengan bidang
kedokteran, matematika dan penyair, dimana lewat karir dokternya dia menaiki
tangga kesekretariatan Gubernur Ceuta dan Tangier putra Abdul Mu’min, penguasa Daulah
Muwahhidun Spayol pertama yang merebut Marocco pada tahun 542 H yang
kemudian menjabat sebagai dokter tinggi dan menjadi Qodhi di pengadilan
khalifah Abu Ya’qub Yusuf (558-580 H). Pada tahun 578 H Ibnu Tufail
mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa sudah tua dan lemah dan
berdasarkan sarannya juga, jabatan dokter istana diserahkan oleh penguasa Daulah
Muwahidun kepada Ibnu Rusdy. Tiga
tahun setelah itu, Ibnu Tufail wafat dan pemakamannya dihadiri oleh penguasa
dan pembesar Daulah Muwahhidun.[5]
Berpijak pada jabatan terakhir inilah Ibnu
Tufail mendapat kesempatan Penuh untuk mengembangkan filsafatnya, tapi sayang
hanya sedikit sekali karya-karyanya yang sampai ke kita selain Hayy Ibn
Yaqzhan. karya ini merupakan suatu roman filsafat pendek, namun memberikan
pengaruh yang begitu besar sehingga karya tersebut dianggap sebagai salah satu
buku yang paling mengagumkan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku ini yang
diterjemahkan kedalam bahasa Ibrani, Latin, Inggris, Belanda, Prancis, Spayol,
Jerman, Rusia, hingga pada zaman modern pun minat terhadap karya ini masih
tetap ada. Ahmad Amin menerbitkan dalam edisi bahasa arab, yang diikuti
terjemahaannya pada bahasa Persi dan Urdu.[6]
3.
Filsafat Hayy
Ibn Yaqzhan
Dikarenakan karya beliau yang tinggal adalah kisah
Hayy Ibn Yaqhzan, maka untuk mengetahui filsafat Ibn Tufail tentu dengan
cara mentelaah kisah in, sebab ia mengekpresikan filsafatnya dalam bentuk
narasi. Ada yang mengatakan bahwa kisah ini ditulis oleh Ibn Tufail sendiri
sebagai jawaban atas permintaan seorang sahabatnya yang ingin mengetahui hikmah
ketimuran. Ada juga yang mengatakan tulisan ini erat kaitannya dengan serangan Al-Ghazali
terhadap dunia filsafat. Dikala itu, orang-orang takut berfilsafat dan
usaha-usaha filosof muslim yang telah mendamaikan antara filsafat dengan agama
telah sirna sama sekali. Juga buku-buku filsafata selama ini hanya untuk
kalangan tertentu, sekarang telah dapat pula dipahami oleh orang awam. Karena
itu amat logis buku Ibnu Tufail ini ingin menetralisir keadaan dan ingin
mengembalikan filsafat ke tempatnya yang semula[7].
Dari keringkasan isi cerita tersebut,
sebenarnya Ibn Tufail hendak mengemukakan kebenaran berikut ini, seperti yang
yang ringkas oleh Nadhim al-Jist dalam buku Qissat al-iman sebagaimana yang
berikut :
a.
Urutan-urutan
tangga ma’rifat yang ditempuh oleh akal, dimulai dari obyek-obyek indrawi yang
khusus sampai kepada pikiran-pikiran universal.
b.
Tanpa
pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud tuhan, yaitu dengan
melalui tanda-tandanyapada makhluknya dan menegakkan dalil-dalil atas wujudnya.
c.
Akal
manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan ketidak mampuan dalam
mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika hendak menggambarkan keazalian
mutlak, ketidak akhiran, zaman Qodim, hudust (baru) dan hal-hal
lain yang sejenis dengan itu.
d.
Baik
akal menguatkan qodimnya alam dan kebaharuannya, namum kelanjutan dari
kepercayaan tersebut adalah satu juga yaitu adanya tuhan.
e.
Manusia
dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan dan dasar-dasar akhlak
yang bersifat amali dan kemasyarakatan, serta berhiaskan diri dengan
dasar-dasar akhlak tersebut, disamping menundukkan keinginan-keinginan badan
pada hukum pikiran, tanpa melalaikan badan, atau meninggalkan sama sekali.
f.
Apa
yang diperintahkan oleh syariat islam dan apa yang diketahui oleh akal yang
sehat dengan sendirinya, berupa kebanaran, kebaikan dan keindahan dapat bertemu
kedua-duanya dalam satu titik, tanpa diperselisihkan lagi.
g.
Pokok
dari semua hikmah adalah apa yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu mengarahkan
pembicaraan kepada orang lain menurut kesanggupan akalnya dan membuka kebenaran
dan rahasia-rahasia filsafat kepada mereka, juga pokok pangkal segala kebaikan
adalah menetapi batas-batas syara’ dan meninggalkan pendalaman sesuatu.[8]
Sebagai bentuk corak filsafat Ibn Tufail, pada
makalah ini kisah tentang Hayy Ibn Yaqzhan akan dicantumkan secara
ringkas, bahwa salafus shalih kita terdahulu mengisahkan disuatu pulau
dari berbagai banyak kepulauan di India, yang terletak dibawah garis khatulistiwa,
lahirkan seorang manusia tanpa ayah dan ibu, yang manusia tersebut dibesarkan
oleh alam[9],
karena kepulauan tersebut memiliki iklim dan keadaan tanah yang stabil serta
dibentangi oleh cahaya dari ufuk timur yang sempurna. Dipulau yang indah, luas,
dan mukayafah (cocok dengan habitat/keadaan) tersebut memiliki banyak
sekali faedah-faedah dan nilai-nilai kemakmuran bagi manusia, yang konon kabar
dimiliki oleh seorang laki-laki yang mempunyai keinginan yang kuat tinggal
disana serta mempunyai saudara perempuan yang cantik jelita[10].
Dan didalam buku Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran
dan Peradaban karangan Taufik Abdullah pun
digambarkan tentang kisah yang sama, dengan mengisahkan seorang bayi laki-laki
yang berada disebuah pulau, bayi itu boleh jadi muncul karena terbentuknya
percampuran tanah dan air sedemikian rupa sehingga cocok untuk dimasuki oleh jiwa
manusia, dan lahirlah bayi tersebut dengan nama Hayy Ibn Yaqzhan. Bayi
yang dibesarkan dan diasuh oleh alam ini dapat terus hidup dengan
lingkungannya, dan dapat berkembang baik menjadi manusia dewasa yang berada
dilingkungan alam binatang seperti seekor rusa sebagaimana yang ada dalam buku
tersebut. Akal sehatnya berkembang sedemikian rupa menurut sunnahtullah sehingga
dia bukan saja mampu berfikir tentang dunia fenomena, namun juga dapat
menangkap hal-hal yang absrak dan mengetahui adanya tuhan, pencipta sekalian
alam. Dia bahkan dengan mata batinnya dapat melihat tuhan, dan merasa dekat
denganNya serta merasa bahagia.
Tidak jauh dari pulau itu terdapat pula pulau
lain yang dihuni oleh satu masyarakat manusia. Absal dan salaman yang termasuk
pemuka dalam masyarakat itu adalah penganut agama wahyu, namun memiliki
kecendrungan yang berbeda. Absal banyak tertarik pada pengertian metaforis dan
teks-teks agama, sedangkan salaman lebih cendrung kepada arti-arti lahiriyah,
sejalan dengan sikap masyarakat umumnya pada pulau tersebut. Absal kemudian
mengasingkan diri dari masyarakat, dan pada suatu hari Absal menyeberang ke
pulau yang dihuni Hayy Ibn Yaqzhan, dan keduanya berjumpa dan setelah Hayy
Ibn Yaqzhan diajari pandai berbicara, keduanya saling berdialog dan
berkisah. Hayy dengan mudah dapat memahami dan menyetujui keterangan-keterangan
yang disampaikan oleh Absal tentang tuhan, syurga, neraka, hari berbangkit,
timbangan, jalan lurus dsb, sebagaimana yang diajarkan oleh wahyu. Disisi lain
Absal pun dengan mudah memahami apa yang diterangkan oleh Hayy tentang hasil
renungannya dengan alam dan pengalaman rohaniahnya dengan tuhan, dan akhirnya
kedua insan tersebut saling membenarkan satu dengan yang lain. Serta keduanya
bersepakat untuk menyeberang kepulau yang dihuni oleh salaman, dengan maksud
mengajak salaman dan masyarakat sepaya beragama dengan pemahaman-pemahaman yang
ada pada kedua insan tersebut. Dan ternyata salaman dan masyarakatnya tidak
tertarik dengan ajakan dari Hayy dan Absal, hingga akhirnya keduanya sadar
bahwa dengan pemahaman seperti yang berkembang pada masyarakat itu tidak perlu
diajak memahami agama seperti yang dipahami oleh Hayy dan Absal, dan akhirnya
keduanya kembali kepulau yang tidak berpenghuni tadi dan melanjutkan ibadah
serta tafakurnya depada Tuhan seperti sebelumnya.[11]
Dari kisah Hayy Ibn Yaqzhan ini, Ibnu Tufail
membuktikan bahwa manusia yang masih bersih dan suci dan belum terpengaruh oleh
fikiran dan pemahaman lain akan mampu mengenal Allah sebagai sang khalid, dia juga
bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk serta dia akan mengetahui bahwa
hidup ini akan berakhir dan akan ada balasannya. Inilah fitrah manusia, suci
dan bersih yang telah dianugrahkan oleh Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasullah
Saw
عن أبى هريرة رضى الله عنه, عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال : كل ولد يولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه او ينصرانه او
يمجسانه (رواه مسلم)[12]
“setiap anak yang dilahirkan itu berada dalam keadaan fitrah (suci), maka
kedua Ibu Bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majudi (HR.
Muslim).
Dari hadits yang mulia ini dapat kita petik sebuah hikmah, jika
seandainya manusia itu dibiarkan dengan fitrahnya, maka dia akan berjalan
dengan baik dan bisa mengenal Allah seperti yang digambarkan oleh kisah diatas
tadi. Seperti filosof lain, Ibnu Tufail pun membahas beberapa permasalahan
pokok dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, seperti ketuhanan, fisika, jiwa,
epistemologi, rekonsiliasi antara filsafat dengan agama.
A. Ketuhanan
Konsep ketuhanan, dengan arti seorang makhluk bisa meyakini adanya
pencipta alam semesta. Didalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan, dengan kekuatan
nalar dan renungan terhadap alam sekitarnya, dia meyakini adanya pencipta, dia
juga meyakini bahwa alam yang indah dan tersusun rapi ini tidak mungkin ada
dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur dan menciptakannya. Ada 3 argumen
yang dimukakan oleh Ibn Tufail untuk membuntikan adanya Allah, yaitu:
1. Argumen Gerak (al-harakah)
Bagi orang yang meyakini adana qodim, penggerak ini berfungsi mengubah
materi di alam dari potensial ke aktual, arti kata mengubah satu bentuk ada
kepada bentuk ada yang lain. Sementara itu, bagi orang yang meyakini alam baru,
penggerak ini berfungsi mengubah alam dari tidak ada menjadi ada. Argemen gerak
ini sebagai bukti alam qodim dan barunya belum pernah dikemukakan oleh filosof
muslim manapun sebelumnya, dan dengan argemen ini Ibnu Tufail memperkuat
argumentasi bahwa tanpa wahyu akal dapat mengetahui adanya Allah.[13]
B. Argumen Materi (al-madat) dan bentuk (al-shurat)
Argumen ini didasarkan pada ilmu
fisika dan masih ada korelasinya dengan dalil yang pertama (al-harakat).
Hal ini dikemukakan oleh Ibn Tufail dalam kumpulan pokok pikiran yang terkait
satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut :
*. Segala yang ada ini tersusun dari materi dan bentuk
*. Setiap materi membutuhkan bentuk
*. Bentuk tidak mungkin bereksistensi
penggerak
*. Segala yang ada untuk bereksistensi
membutuhkan pencipta
Dengan
argumen ini dapat dibuktikan adanya Allah sebagai pencipta alam ini, dia
mahakuasa dan bebas memilih serta tidak berawal dan berakhir.
C. Argumen al-Ghaiyyat dan al-‘inayat al-ilahiyyat
Maksudnya segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai tujuan tertentu,
dan ini merupakan inayah dari Allah. Ibnu Tufail juga filosof lain yang
berpegang pada argumen ini sesuai dengan Qur’ani, dan menolak bahwa alam
diciptakan oleh Allah secara kebetulan.[14]
Menurut Ibn Tufail alam ini tersusun sangat rapi dan sangat teratur,
semua planet seperti matahri, bulan, bintang dan lain-lainnya teredar secara
teratur. Begitu jug ajenis hewan, semuanya dilengkapi dengan anggota tubuh yang
begitu rupa. Semua anggota tubuh tersebut mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
sangat efektif kemanfaatannya bagi hewan yang bersangkutan, tampaknya tidak
satupun ciptaan Allah ini yang tidak percuma.[15]
Ketiga argumen yang dikemukakan oleh Ibn Tufail ini membuktikan adanya Allah
sebagai sang pencipta.
2. Fisika
Menurut Ibn Tufail alam ini qodim dan juga baru, alam qodim karena Allah
menciptakan sejal azali, tanpa didahului oleh zaman. Dilihat dari esensinya,
alam adalah baru karena wujudnya alam tergantung pada zat Allah.[16]
Sebagaimana
ketika anda menggegamkan suatu benda, kemudian anda menggerakkan tangan anda,
maka benda mesti bergerak mengikuti gerak tangan anda dan gerakan benda
tersebut tidak terlambat dari segi zaman dan hanya keterlambatan dari segi zat,
demikianlah alam ini, semuanya merupakan akibat dan diciptakan oleh Allah tanpa
zaman. Firman Allah
إنما أمره إذا اراد شيئا ان يقول له كن
فيكون (82)
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila menghendaki sesuatu hanyalah berkata ;
Jadilah ! maka terjadilah ia”
(QS. Yasin : 82)[17]
3.
Jiwa
Jiwa manusia menurut Ibn Tufail adalah makhluk yang tertinggi
martabatnya. Manusia terdiri dari dua unsur yaitu jazad dan ruh, badan tersusun
dari unsur-unsur sedangkan jiwa tidak demikian. Jiwa bukan jisim dan bukan juga
sesuatu daya yang ada didalam jisim. Setelah badan hancur atau mengalami
kematian, jiwa akan lepas dari badan dan selanjutnya jiwa yang pernah mengenal
Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.[18]
Ibn Tufail mengelompokan jiwa kepada tiga kelompok :
*. Jiwa
yang sebelum mengalami kematian jasad telah mengenal Allah, mengagumi kebesaran
dan keagungannya dan sellu ingat kepada-Nya, maka jiwa seperti ini akan kekal
dalam kebahagiaan.
*. Jiwa
yang telah mengenal Allah, tetapi melakukan maksiat dan melupakan Allah, maka
jiwa seperti ini akan abadi dalam kesengsaraan.
*. Jiwa
yang tidak pernah mengenal Allah selama hidup, maka jiwa seperti ini akan
berakhir seperti hewan.
4.
Epistemologi
Dalam epistemologi, Ibnu Tufail menjelaskan bahwa ma’rifat itu
dimulai dari pancaindra, dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh
pengetahuan indrawi, hal-hal yang bersifat metafisis dapat diketahui dengan
akal intuisi. Ma’rifat dilakuakan dengan dua cara yaitu dengan renungan
atau pemikiran, seperti yang dilakukan oleh filosof muslim dan tasawuf seperti
yang dilakukan oleh kaum sufi, kesesuaian antara nalar dan intuisi membentuk
esensi epistemologi Ibn Tufail, hal ini dapat diraih oleh seseorang tergantung
kepada latihan rohani, tingkat pemikiran dan renungan akal.[19]
5. Rekonsiliasi antara Filsafat dan Agama
Melalui roman filsafat Hayy Ibn Yaqzhan, Ibn Tufail menekankan
bahwa antara filsafat dan agama tidak bertentangan, dengan kata lain akal tidak
bertentangan dengan wahyu.[20]
Dari kisah yang digambarkan oleh Ibn Tufail, dimana tokoh Hayy dengan
renungan, pemikiran dan pengalaman sendiri, dia dapat mengetahui kebenaran, dan
tatkala ia bertemu dengan absal yang membawa kebenaran berdasarkan wahyu, ia
langsung membenarkan dan mengimaninya, ini menunjukan bahwa akal murni dan
pemikiran yang tidak benar bertentangan dengan wahyu, maka apa saja yang
disampaikan oleh wahyu langsung diimani oleh akalm karena akal meyakini
kebenaran yang dibawa oleh wahyu disebabkan
wahyu langsung datang dari Allah yang tidak dikeragui lagi kebenarannya,
seperti halnya pembenaran Hayy terhadap apa yang dibawa oleh Absal.
Ibn Tufail menyadari, mengetahui dan berhubungan dengan Allah melalui
pemikiran akal murni yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang khusus, dan
orang awam tidak mungkin dapat melakukannya, justru itu bagi orang awam sangat
diperlukan adanya ajaran agama yang dibawa oleh Nabi.[21]
Agama diturunkan untuk semua orang dalam tingkatannya. Filsafat hanya
dapat dijangkau oleh orang yang bernalar tinggi yang jumlahnya sedikit.
Agama melambangkan dunia atas semua
lambang-lambang eksoteris, agama penuh dengan perbandingan, persamaan, dan
persepsi-persepsi antopomorfis sehingga cukup mudah dipahami oleh orang banyak,
dan filsafat merupakan bagian dari kebenaran esoteris yang menafsirkan
lambang-lambang itu agar diperoleh pengertian-pengertian yang hakiki.
Kenyataannya ibn Tufail berusaha dengan penuh kesungguhannya untuk
merekonsiliasikan antara filsafat dan agama, Hayy dalam roman
filsafatnya, ia lambangkan sebagai akal yang dapat berkomunikasi dengan Allah,
sedangkan Absal ia lambang sebagai wahyu dalam bentuk esoteris yang membawa
hakekat, sementara salaman ia lambangkan
sebagai agama yang juga membawa kebenaran dalam bentukk esoteris,
kebenaran yang dibawa filsafat tidak bertetangan dengan kebenaran yang
dikehendaki agama karena sumbernya sama yakni Allah Swt.
4. Kesimpulan
Dari kisah roman yang dikisahkan oleh Ibn
Tufail, kita dapat memetik kesimpulan secara akal dan iman, bahwa sumber inti
dari diri manusia adalah kebenaran yang suci dan tidak ternoda, sehingga jika
ada pengaruh luar yang masuk, pengaruh tersebutlah yang merusak dan menodai
kesucian diri manusia tersebut, sebagaimana gambaran hadist dari Rasulullah Saw
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diatas tadi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Farhat, Yusuf, كتاب
الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها , Ganef:تراد
كسيم-شركة مساهمة سويسرية, 1986,
Cet.1
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam;Filosof
dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004
Yunus, Suraij
Ibn, كتاب القضاء, Beirut: دار البشائر
الإسلامية 1421-2000, cet.1
Ya’cub, A.
Tasman, Filsafat Islam; Profil filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur
Tengah dan Barat, Padang: IAIN Press 1999
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoere
[1] Yusuf Farhat, كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامها ,
(Ganef:تراد كسيم-شركة مساهمة سويسرية, 1986), cet.1, hal.7
[3] Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam;Filosof dan Filsafatnya, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h.205
[4] A. Tasman Ya’cub, Filsafat
Islam; Profil filosof Islam dan Filsafatnya di Dunia Timur Tengah dan Barat,
(Padang: IAIN Press 1999)h.96
[5] Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoere), h.207
[9] Didalam buku كتاب الموسوعة الفلسفة الإسلامية و أعلامه karangan
Yusuf Farhat di istilah dengan kata-kata شجر