BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Substansi ajaran Islam pada intinya adalah
menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya,
martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia tersebut mampu
mendekatkan diri kepada Tuhan, karena memang dia berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada Tuhan. Islam merupakan agama fitrah yang mengusung kemaslahatan
bagi umat manusia. Al-Quran yang
merupakan sumber utama dalam Islam tak jarang
berbicara mengenai fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai
transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu sisi memusatkan
perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun
ruhaniah sebagai potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya
melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia semakin bermakna.\
Di sisi
lain, pengembangan kualitas sumber daya manusia tersebut dilaksanakan selaras
dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid
uluhiyah.1 Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan
kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk
pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah
memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama
fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia tetapi juga
dengan, bahkan menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan
eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang sempurna. Makalah ini akan
membahas diskursus tentang fitrah manusia dalam al Qur‟an, baik menyangkut
hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya.
B. Rumusan dan
Batasan Masalah
1. Rumusan
a. Apa Pengertian
Fitrah Manusia Menurut Persepektif Islam?
b. Bagaimana
Hubungan Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam?
c. Seperti Apa
Signifikansi Fitrah dalam Pendidikan Islam?
2. Batasan
a. Mengetahui
Fitrah Manusia dalam perspektif Islam
b. Hubungan Fitrah
Manusia dengan Pendidikan Islam
c. Signifikansi
Fitrah manusia dalam pendidikan Islam
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
Mengetahui Apa Pengertian Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam
2. Untuk
Mengetahui Bagaimana Hubungan Antara Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam
3. Untuk
Mengetahui Signifikansi Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
FITRAH MANUSIA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
A. Pengertian
Fitrah
Secara lughatan (etimologi) berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni
fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari
kata kerja yang berarti menjadikan.[1]
Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata
fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansya’a yang artinya mencipta.
Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur‟an untuk
menunjukkan pengertian mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada
dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan.
Dalam Kamus al Munjid diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al
Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al shifat allati yattashifu biha kullu
maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani
al thabi’iyah. Lain daripada itu ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.[2]
Abu a‟la al-Maududi mengatakan bahwa manusia dilahirkan di bumi ini oleh ibunya
sebagai muslim (berserah diri) yang berbeda-beda ketaatannya kepada Tuhan,
tetapi di lain pihak manusia bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[3]
Sehingga ada hubungannya dalam aspek terminologi fitrah selain memiliki potensi
manusia beragama tauhid, manusia secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau
tidaknya ia pada aturan-aturan lingkungan dalam mengaktualisasikan potensi
tauhid (ketaatan pada Tuhan) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh
lingkungan positif serta negatif yang mempengaruh diri manusia secara
fitrah-nya. Sehingga uraian Al-Maududi
mengenai peletakan pengertian konsep fitrah secara sederhana yakni menunjukkan
kepada kalangan pembaca bahwa meskipun manusia telah diberi kemampuan potensial
untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, namun pada hakikatnya ia
dilahirkan sebagai muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan lakunya cenderung
berserah diri kepada Khaliknya.[4]
Mengenai fitrah kalangan fuqoha telah menetapkan hak fitrah manusia,
sebagaimana dirumuskan oleh mereka, yakni meliputi lima hal: (1) din (agama),
(2) jiwa, (3) akal, (4) harga diri, dan (5) cinta.
Menurut Armai, bila interpretasi lebih luas konsep fitrah dimaksud bisa
berarti bermacam-macam, sebagaimana yang telah diterjemahkan dan didefenisikan
oleh banyak pakar diatas, di antara arti-artinya yang dimaksud adalah : (1)
Fitrah berarti “ thuhr‟ (suci), (2) fitrah berarti “Islam”, (3) fitrah berarti
“Tauhid” (mengakui keesaan Allah), (4) fitrah berarti “Ikhlash” (murni), (5)
fitrah berarti kecenderungan manusia untuk menerima dan berbuat kebenaran, (6)
fitrah berarti “al-Gharizah” (insting), (7) fitrah berarti potensi dasar untuk
mengabdi kepada Allah, (8) fitrah berarti ketetapan atas manusia, baik kebahagiaan
maupun kesengsaraan.6 Kata ini juga dipakaikan kepada anak yang baru dilahirkan
karena belum terkontaminasi dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering
disebut dalam keadaan fitrah (suci). Pengaruh dari pengertian inilah maka semua
kata fitrah sering diidentikkan dengan kesucian sehingga 'id al-fitri sering
pula diartikan dengan kembali kepada kesucian demikian juga zakat al-fitrah.
Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri digunakan juga
terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pengertian keseimbangan sebagaimana
yang tertera dalam al-Qur'an. Katakata yang biasanya digunakan dalam al-Quran
untuk menunjukkan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan-Nya untuk
melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya “menjadikan”, yang
diletakan dalam satu ayat setelah kata khalaqah dan ansy’a. Perwujudan dan
penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada manusia.
Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) dapat dimengerti dalam
uraian arti yang luas, sebagai dasar pengertian itu tertera pada surah al-Rum
ayat 30, maka dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa pada asal kejadian yang
pertama-pertama diciptakan oleh Allah adalah agama (Islam) sebagai pedoman atau
acuan, di mana berdasarkan acuan inilah manusia diciptakan dalam kondisi
terbaik. Oleh karena aneka ragam faktor negatif yang mempengaruhinya, maka
posisi manusia dapat “bergeser” dari kondisi fitrah-nya, untuk itulah selalu
diperlukan petunjuk, peringatan dan bimbingan dari Allah yang disampaikan-Nya
melalui utusannya (Rasul-Nya).[5]
Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah
mengandung potensi pada kemampuan berpikir manusia di mana rasio atau
intelegensia (kecerdasan) menjadi pusat perkembangannya, dalam memahami agama
Allah secara damai di dunia ini.
Quraish Shihab mengungkapkan dalam
Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “menciptakan sesuatu pertama
kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan pandangan Quraish
Shihab tersebut berarti fitrah sebagai unsur, sistem dan tata kerja yang
diciptakan Allah pada makhluk sejak awal kejadiannya sehingga menjadi
bawaannya, inilah yang disebut oleh beliau dengan arti asal kejadian, atau
bawaan sejak lahir.[6]
Ungkapan senada mengenai pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin yakni
secara keseluruhan dalam pandangan Islam mengatakan bahwa kemampuan
dasar/pembawaan itu disebut dengan fitrah. Ada yang mengemukakan bahwa fitrah
merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang telah ditanamkan Allah
dalam diri setiap insan. Maka manusia sejak lahirnya telah memiliki agama
bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid. Istilah fitrah dapat dipandang dalam
dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan
alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama,
yakni bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu
mengesakan Tuhan. Imam Nawawi mendefinisikan fitrah sebagai kondisi yang belum
pasti (unconfirmed state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan
secara sadar keimanannya. Sementara menurut Abu Haitam fitrah berarti bahwa
manusia yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous
or unprosperous) yang berhubungan dengan jiwa. Bila tidak berlebihan dalam
memahami terminologi Abu Haitam dapat dipahami, pada awalnya setiap makhluk
yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan fitrah (keseimbangan) yang bilamana
keseimbangan ini mampu dijaga dengan baik maka yang bersangkutan akan
senantiasa berada dalam kebaikan. Sebaliknya bila keseimbangan ini sudah tidak
mampu dipertahankan maka menyebabkan seseorang akan terjerumus kepada
ketidakbaikan. Fitrah adalah kata yang selalu digunakan untuk menunjukkan
kesucian sekalipun dalam bentuk abstrak keberadaannya selalu dikaitkan dengan masalah
moral. Keabstrakan ini meskipun selalu dipakai dalam aspek-aspek tertentu namun
pengertiannya hampir sama yaitu keseimbangan.
B. Hubungan Fitrah
dengan Pendidikan Islam dalam al-Quran.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah
Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang
multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai
kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan
mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang
lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang
diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus
dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan
hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[7]
Potensi akal secara fitrah mendorong manusia
memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan
maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan
salah.[8]Di
samping itu menurut Jalaluddin, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan
berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan
kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah
serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman
dan nyaman.[9]
Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang
hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita
telusuri terlebih dahulu tujuan dari pendidikan Islam secara umum. Secara
general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mengetahui hakikat
kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal yang diyakini serta dapat
mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan keterangan
tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni tujuan tertinggi/akhir,
tujuan umum, tujuan khusus.15 Tujuan tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak
mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran
mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/akhir ini pada dasarnya sesuai dengan
tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku
itu identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai
prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah
sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah
tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama yang cenderung
mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empiris
dan realistik.
Ahmad tafsir mengemukakan tujuan umum bersifat
tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi
sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan
sikap, perilaku dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan
dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri
(self realization).[10]
Sementara tujuan khusus merupakan pengkhususan
atau operasionalisasi tujuan tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam.
Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan
dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada
kerangka tujuan tertinggi/akhir dan umum itu Pengkhususan tujuan pendidikan
Islam tersebut menurut Achmadi didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu
bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan
subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu. Konsep
fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama
dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah
seseorang mengalami proses pendidikan.
Menjadi
masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman
dan bertaqwa. Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini,
bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi
adanya penyesuaian akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama,
konsep fitrah mempercayai bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah),
baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual).
Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia adalah qalbu.
Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, akal, manusia
memiliki qalbu.
Dengan qalbu tersebut manusia dapat mengetahui
sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah
(termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan
mempengaruhi benda dan peristiwa. Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah
dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep
pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari
hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur‟an maupun hadis baik dari segi
sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar
bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. inilah yang disebut secara implikasi
konsep fitrah kecenderungan peserta didik pada yang benar dalam memiliki secara
pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa.
Sedang pendidikan bila diberikan pengertian
dari al-Qur‟an maka kalangan pemikir pendidikan Islam meletakkan pada tiga
karakteristik di antaranya rabb, ta‟lim, , ta‟dib dimaksud dalam
al-Qur‟an. Dari ketiga kata tersebut,
Muhammad Fuad „Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu‟jam al Mufahras li Alfadz
al-Qur‟an al-Karim telah menginformasikan bahwa di dalam al-Qur‟an kata
Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak lebih dari
872 kali.19 Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dikutip
oleh Abuddin Nata dari al-Raghib alAshfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah
yaitu insy’ al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya mengembangkan
atau menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang sempurna.
C. Signifikansi
Fitrah dalam Pendidikan Islam
Konsep fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa
arah pergerakan hidup manusia (peserta didik) secara garis besar dibagi menjadi
dua, yaitu taqwa dan fujur. Peserta didik pada dasarnya diciptakan dalam
keadaan memiliki potensi positif dan ia dapat bergerak ke arah taqwa. Bila
manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka ia akan menjadi taqwa
(sehat, selamat). Bila tidak selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan
berjalan ke pilihan yang sesat (fujur). Secara fitrah manusia diciptakan dengan
penuh cinta, memiliki cinta, namun ia dapat berkembang ke arah agresi. Akan
tetapi implikasi dimaksud dalam penelitian ini mendapatkan bentuk konsep fitrah
sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep fitrah
sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara epistemologi pendidikan,
mewujudkan peserta didik yang memiliki potensi kepribadian muslim yang
berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia.
Jakfar
Siddik mengungkapkan bahwa yang menjadi inti kemanusiaan itu adalah fitrah
(agama) itu sendiri. Fitrah-lah yang membuat manusia (peserta didik) memiliki
keluhuran jiwa secara alamiah berkeinginan suci dan berpihak pada kebaikan dan
kebenaran Allah SWT. Menurut penulis membuat suatu tatanan proses perkembangan
peserta didik terhadap lingkungan pendidikan sebagai lahan mengembangkan
potensi kesucian peserta didik (konsep fitrah) dapat terpenuhi maka kebutuhan
kepribadian peserta didik akan lebih sempurna.
Potensi kalangan peserta didik sebagai anak
manusia pengemban amanat Allah swt dan juga sebagai khalifah di muka bumi ini,
ia dilahirkan adanya nilai bertauhid Menurut Nurcholis Madjid merupakan sebuah
peristiwa dengan adanya perjanjian mahkluk (manusia) dengan Tuhan Allah swt,
maka dapat dikatakan bahwa manusia (peserta didik) tersebut terikat dengan
perjanjian itu (pemaknaan bersifat religius). Demikian juga halnya dengan agama
pun sebenarnya memang adalah perjanjian, yang dalam bahasa Arabnya disebut
dengan mitsaq atau „ahdun, perjanjian dengan Allah swt. Seluruh hidup merupakan
realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjanjian manusia dengan Allah.
Intinya ialah ibadah, artinya memperhambakan diri kepada Allah. Karena Allah
swt sendiri telah diakui sebagai Rabb. Maka implikasinya, akibat dari beribadah
kepada Allah itu adalah, bahwa manusia yakni kalangan peserta didik yang haus
akan kebutuhan pengembanagan kepribadian nilai fitrah-nya diharuskan menempuh
jalan hidup yang benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hakikat Konsep fitrah bila dikaitkan dengan
pendidikan Islam sebenarnya sangat bersifat religius yang lebih menekankan pada
pendekatan keimanan, sebab, setiap manusia yang dilahirkan dia membawa potensi
yang disebut dengan potensi keimanan terhadap Allah atau dalam bahasa agamanya
adalah tauhid. Pengertian fitrah di dalam al Qur‟an adalah gambaran bahwa
sebenarnya manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu
agama tauhid. Manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan
aktualisasi hubungan dengan Allah swt, sesama manusia, dan alam secara positif
konstruktif, inilah yang disebut transendent humanisme teosentris. Sehingga
adanya pendidikan Islam berdasarkan konsep fitrah, hendaknya kalangan peserta
didik pantas menjadi hamba pilihan sesuai uraian Allah swt dalam al-Qur‟an.
Islam
sebagai agama fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia
tetapi juga menunjang pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya, sehingga akan
membawa kepada keutuhan dan kesempurnaan pribadinya. Di sisi lain, Islam
sebagai way of life (pandangan hidup) yang berdasarkan nilai-nilai
ilahiyah, baik yang termuat dalam al Qur,an maupun al hadist diyakini
mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal
(abadi), sehingga secara akidah diyakini oleh pemeluknya akan sesalu sesuai
dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan di mana
saja (likulli zamanin wa makanin).
B. Saran
Dengan memahami konsep fitrah dalam perspektif
islam diharapka kita semua mengetahui bagaimana fitrah manusia yang sebenarnya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arifin, M.,. 1989. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta
Achmad. 2005. Ideologi Pendidikan
Islam Paradigma Humanisme Teosentris. Pustaka Pelajar:Yogyakarta
Mujib, Abdul. 1999. Fitrah &
Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis. Darul Falah, Jakarta
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi
Psikologi Islami. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Raharjo, Dawam. 1999. Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia
Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an. LPPI: Yogyakarta
Salim, Muin. 1994. Konsepsi Politik dalam
al-Qur’an. LSIK & Rajawali: Jakarta
Tafsir, Ahmad.2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Remaja
Rosdakarya, Bandung
[1] Abdul Mujib, Fitrah & Kepribadian
Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis, 1999, (Darul Falah, Jakarta,), h.
47 .
[2] Ibid. h. 48
[3] Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan
Perspektif al-Qur’an, 1999, (LPPI:
Yogyakarta, 1999), h. 35.
[4] Ibid..h.
38
[5]Rif‟at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi
Psikologi Islami, (Ed. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000), 67
[6] Arifin, M.,
Ilmu Pendidikan Islam, 1989 (Bumi Aksara, Jakarta), h. 98
[7] Rif‟at Syauqi, Op. Cit., h. 67
[8] Muin Salim,
Konsepsi Politik dalam al-Qur’an, (LSIK & Rajawali Press, Jakarta, 1994),
h. 25
[9] Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005), h. 123
[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, 2007,(Remaja
Rosdakarya, Bandung, , h. 154