PENDAHULUAN
Dalam perjalanan sejarah manusia,
pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran
merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan
ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang
dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat
sebagai induk dari semua
ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah
pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu,
buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme,
rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme,
strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain
itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat
mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada
permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu.
Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan
moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan pola
pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk
menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring
dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang
hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya
(problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu
kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu
atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan
problem epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenaran dan cara untuk mendapatkannya, muncul
pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran
selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada
tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu
pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau
justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi
bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya tentang “bagaimana”
sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah “ontologi, epistemologi dan aksiologi” yang hingga kini masih menimbulkan
perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut
pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting
pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang penulis bahas dalam makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca terlebih
bagi penulis. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis
mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
PEMBAHASAN
A.
Ontologi
Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, ontos dan
logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos
berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Sedangkan yang
dimaksud ontologi dalam pengertian terminologisnya adalah kajian tentang
hakikat segala sesuatu atau realitas yang ada yang memiliki sifat universal,
untuk memahami adanya eksistensi.[1]
Sementara itu, Mulyadi Kartanegara
menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud,
terkadang disebut sebagai ilmu metafisika.[2]
Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk
menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan,
yakni berkenaan dengan hakikat wujud.[3]
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan
sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan
emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa dunia yang sebenarnya adalah dunia ide.
Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran universal. Aristoteles tidak
menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang
kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala
sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu,
dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh
kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Ontologi
juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan
proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan.
Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat,
substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi,
keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita,
malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.[4]
Ontologi yang berasal dari istilah philosophy,
dimana ontologi diartikan sebagai cabang dari ilmu metafisika yang berhubungan
dengan alam dan relasi-relasi yang dimilikinya. Dalam perkembangan Christian
Wolff membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika
khusus. Metafisiska umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.[5]
Metafisika umum (ontologi)
mempersoalkan esensi yang ada, hakikat adanya dari segala sesuatu wujud yang
ada. Sedangkan metafisika khusus, mempersoalkan theology, kosmologi dan
antropologi.[6]
Untuk
lebih jelasnya dibawah ini akan penulis uraikan apa-apa saja yang dikaji dalam
ontologi sebagai berikut:
1. Metafisika
Secara etimologi metafisika berasal dari
kata “meta” dan “fisika” (Yunani). “meta” berarti sesudah, di belakang atau
melampaui, dan “fisika” berarti alam nyata. Metafisika merupakan cabang dari
filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul di belakang dunia
fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman, objeknya di luar hal yang dapat
ditangkap pancaindra.[7]
Metafisika merupakan tempat berpijak dari
setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran
adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan
gemawan, maka metafisika adalah landasan peluncurannya.[8]
2.
Beberapa Tafsiran Metafisika
Yang pertama
adalah Supernaturalisme yang mengatakan bahwa alam ini adalah terdapat
ujud-ujud yang bersifat gaib, dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau
lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Kepercayaan yang berdasarkan
pemikiran supernaturalisme ini adalah paham Animisme. Dimana manusia percaya
bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat dalam benda-benda
seperti batu, pohon dan air terjun.[9]
Aliran ini sama dengan Idealisme, aliran
ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal
dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan
menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan
rohani.[10]
Yang kedua adalah lawan dari
Supernaturalisme yakninya naturalisme, kepercayaan yang berdasarkan naturalisme
adalah paham Materialisme. Paham ini berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak
disebabkan oleh pengaruh kekuatan bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang
terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dengan demikian dapat
kita ketahui.[11]
Aliran ini menganggap bahwa sumber asal itu adalah materi bukan rohani.[12]
Ada perbedaan antara naturalisme dengan
materialisme. Naturalisme berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya di
luar alam tidak ada. Yang dimaksud alam ini di sini adalah segala-galanya,
meliputi benda dan ruh. Jadi, benda dan ruh sama nilainya dianggap sebagai alam
yang satu. Sebaliknya, materialisme menganggap ruh adalah kejadian dari benda.
Jadi, tidak sama nilai benda dan ruh seperti naturalisme.
Dengan demikian gejala alam dapat didekati
dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak akan menimbulkan masalah selama
diterapkan kepada benda-benda yang mati seperti bebatuan dan besi. Namun
bagaimana dengan makhluk hidup termasuk manusia sendiri?.[13]
Kaitanya dengan filsafat ilmu adalah pada
hakikatnya ilmu tidak bisa terlepas dari metafisika, namun seberapa jauh kaitan
itu semuanya tergantung kita. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan
alam ini sebagaimana adanya. Dengan
demikian kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada di
dalamnya. Semua permasalahan ini telah menjadi bahan kajian dari ahli-ahli
filsafat sejak dahulu.
3. Asumsi dalam Ilmu
Ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai
objek empiris:
a.
Menganggap
objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal
bentuk, struktur, sifat, dan sebagainya. Kegiatan ini jelas tidak bisa
dilakukan.
b.
Anggapan bahwa
suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan ini
jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu.
c.
Determinisme
merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan.[14]
Para filsuf menduga-duga apakah gejala
alam ini tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang
bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap
gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah keumuman memang ada namun berupa
peluang, sekedar tangkapan probabilistic? Ketiga permasalahan tersebut
merupakan permasalahan filsafati yang rumit namun menarik. Tanpa ketiga masalah
ini maka akan sukar untuk mengenal hakikat keilmuwan dengan baik.
Pembahasan mengenai determinasi, pilihan
bebas dan probabilistic itu baru dapat dilakukan sekiranya hukum semacam itu
memang ada. Sekiranya hukum yang mengatur kejadian alam itu tidak ada maka
masalah determinasi, pilihan bebas dan probabilistic sama sekali tidak akan
muncul.[15]
Jadi, kita
asumsikan saja bahwa hukum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada,
sebab tanpa asumsi ini maka pembicaraan kita semua lantas sia-sia. Hukum disini
diartikan sebagai suatu aturan main atau pola kejadian yang diikuti oleh
sebagian peserta, gejalanya berulang kali dapat diamati yang tiap kali
memberikan hasil yang sama, yang demikian dapat kita simpulkan bahwa hukum itu
berlaku kapan saja dan dimana saja.
Yang kita butuhkan adalah pengetahuan yang
berada di tengah-tengah, antara kemutlakan yang dipunyai agama, dan keunikan
individual yang bersifat seni. Nah, kompromi tersebut yang dipakai landasan
ilmu, sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan
seperti agama berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki
dari kehidupan ini. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki
keabsahan dalam melakukan generilisasi, sebab pengetahuan yang bersifat
personal dan individual sepeti upaya seni, tidaklah bersifat praktis. Jadi, di
antara kutub determinisme dan pilihan bebas ilmu menjatuhkan pilihannya
terhadap penafsiran probabilistic.
4. Peluang
Berdasarkan teori-teori keilmuwan tidak
akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian. Tetapi ada
peluang untuk menentukan suatu kejadian. Pertama harus disadari bahwa ilmu
tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan
yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil
keputusan, di mana keputusan harus didasarkan kepada penafsiran kesempulan
ilmiah yang bersifat relative.[16]
5. Beberapa Asumsi
dalam Ilmu
Terdapat perbedaan pandangan yang nyata
terhadap objek yang begitu kongkret seperti sebuah bidang? Atau pandangan
terhadap amuba yang seakan-akan hidup dalam dunia yang sangat berbeda? Sebabnya
menurut ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye, gejala itu diciptakan oleh skala
observasi.
Menurut filsafati mungkin ini merupakan
masalah yang besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti
yang disebutkan terdahulu ilmu sekedar merupakan
pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis
yang dapat membantu kehidupan
manusia secara pragmatis.[17]
Oleh sebab itu, alam mengembangkan asumsi
kita harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
a.
Asumsi harus
relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus
operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoretis. Asumsi bahwa manusia
administrasi adalah “manusia administrasi” kedengarannya memang filsafati namun
tidak mempunyai arti apa-apa dalam penyusunan teori-teori administrasi. Asumsi
manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makluk ekonomis,
makhluk social, makhluk akulturasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan
asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek
administrasi. Asumsi bahwa manusia adalah manusia administrasi, dalam
pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti di situ. Seperti
lingkaran, setelah berputar-putar, kita kembali ke tempat semula, jadi
kesitu-situ juga ujungnya.
b.
Asumsi harus
disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya" bukan “bagaimana keadaan
yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaahan
ilmiah sedangkan asumsi yang kedua adalah asumsi yang mendasari telaahan moral.
Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia
“yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam korbanan sekecil-kecilnya” maka
itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tak usah ditambah dengan
sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai
dalam penyususnan kebijaksanaan atau strategi, serta penjabaran peraturan
lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua membantu kita dalam
menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang
seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab
metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.[18]
Seorang ilmuawan harus benar-benar
mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran
yang dipergunakan.sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kajian
keilmuan tidak bersifat tersurat melainkan tersirat. Asumsi yang bersifat
tersirat ini kadang-kadang menyesatkan, sebab selalu terdapat kemungkinan bahwa
kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh sebab itu
maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik dipergunakan asumsi yang
tegas.
6. Batas-batas
Penjelajahan Ilmu
Yang menjadi karakteristik objek
ontologis ilmu yang membedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya adalah
ontologi adalah ilmu yang memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan
berhenti di batas pengalaman manusia saja. Jadi ilmu yang mempelajari hari
akhir, surga dan neraka bukan merupakan kajian dari ilmu, karena di luar
pengalaman manusia.
Ilmu
hanya dibatasi pada pengalaman manusia karena sesuai dengan fungsi ilmu itu
sendiri dalam kehidupan manusia yakni sebagai alat pembantu manusia dalam
menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Masalah
yang berkaitan dengan hari akhir, surga
ataupun neraka tidak bisa ditanyakan kepada ilmu, melainkan ditanyakan kepada
agama.
Ilmu
membatasi lingkup penjelajahannya kepada batas pengalaman manusia juga
disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji
kebenarannya secara empiris. Dengan demikian batasan ilmu adalah
sangat sempit, bahkan dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang
dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk,
semua berpaling kepada sumber moral, tentang indah dan jelek, semua berpaling
kepada pengkajian estetik.[19]
Ilmu tanpa bimbingan agama adalah
buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa manusia
kepada jurang malapetaka.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya
setelah pembahasan ontologi dalam filsafat. “Istilah epistemologi dipakai
pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua
cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam
metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam
epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani,
episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan
logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat
diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.[20]
Dengan kata lain, epistemologi adalah
bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran
kebenarannya.[21]
Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi adalah bagaimana
pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai gradasi
(tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan
apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana
kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan menggunakan
intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas
berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah
serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan
maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari luar manusia.
Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal)
dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal
dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau
teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan,
serta klasifikasi ilmu pengetahuan.
1.
Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi
adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan apa manusia mencapai
pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai
batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait
erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan?
Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan
hati, melainkan alam dan sejarah.[22]
Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal
sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan,
merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.[23]
Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan
pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi
yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi yang merupakan cabang
filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki
(primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder:
a.
Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah
indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang
dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium,
dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan
lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah
benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya
atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan
bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme.
Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber
pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof
empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume
termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan
pada sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir
dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah
hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang
diperoleh secara langsung dengan indera.[24]
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan
selanjutnya setelah indera. Akal semakin diperhitungkan sebagai sumber
pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya
sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas
samudera pengetahuan.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan
antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan
menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya
bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika
sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak
membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah
dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat
karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke
dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber
pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut
oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua
pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan
yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya
sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan
adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para
filosof rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.”[25]
Descartes merupakan filosof pendobrak
dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof modern.
Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum
“aku berpikir maka aku ada”. Sejak
itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber
pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang
berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan
dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan
segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang kebenaran yang tak
kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan
dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia
sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin
ia yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan
keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan
keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir,
ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan
yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
c.
Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk
memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan
yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan
akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi
bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka
pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan hushuli
artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan
pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu
itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara
apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap
kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal
kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya
penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar merasakan
secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung
terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan
pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya
memperlihatkan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme sebuah aliran yang menjadikan intuisi
sebagai sumber pengetahuannya adalah
Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat
familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita
kenal dengan metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak
bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan
pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi.
Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan
Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah
keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang yang beragama
harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci
biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka,
pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan
keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya.
Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode
bayani.
2.
Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori
kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti
kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan
karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti
kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau
keadaan yang sesungguhnya).[26] Menurut William James yang dikutip oleh
Titus dkk kebenaran (truth)
adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang
menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff
‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya, proposisinya
sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya,
maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”.[27]
Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa macam:
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para
pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut
Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi
dijelaskan “suatu
proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.[28]
Secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan
dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap
bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar,
sebab pernyataan kedua adalah konsisten
dengan pernyataan yang pertama.[29]
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut
oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta.
Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham
ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.[30]
Kebenaran teori korespondensi
berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak
mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya
pernyataan “Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan
ini berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman
maupun bukti empiris memang demikian.
c.
Teori Kebenaran
Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh
Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878
yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan
oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I.
Lewis.[31]
Teori pragmatisme beranggapan bahwa
sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi
ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia
baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori
kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran
dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk
mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu
adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan
berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur
kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang
bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.[32]
3.
Batasan
Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi
memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan
yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa
diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita
yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang
immateri itu seperti keberadaan
Tuhan, surga, neraka dan lainnya diterangkan
dalam kitab suci (wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham
ateisme tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri
tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan
ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan
pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik
objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang
lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman
manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah
tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya
juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita.
Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah kematian kita,
semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.[33]
Dengan
demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa
dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara
empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis dan
bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada
di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa menguji kebenarannya
dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang
seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak bisa
dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam
bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia
bisa dibuktikan secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu
yang tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu
sesuatu hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan
ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama
yang berkembang di dunia Barat.
C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang
hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang bagaimana yang
ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan
manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan
kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi
berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos
yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai.
Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu
mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral atau profesional?
1. Makna Aksiologi
Ilmu
Makna aksiologi ilmu bisa diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah,
mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi
ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang
terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang
manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat
dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam
mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat
memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga
dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan
meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu
dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[34]
2. Hakikat dan Makna
Nilai
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara: orang dapat mengatakan bahwa:[35]
a.
Nilai sepenuhnya
berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut pandangan ini,
nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku
dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian
ini dapat dinamakan “subjektivitas”.
b.
Nilai merupakan
kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan
waktuNilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui
melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
c.
Nilai merupakan
unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan Pendirian
ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
“nilai” memiliki bermacam makna, diantaranya:[36]
a.
Mengandung nilai
(artinya berguna)
b.
Merupakan nilai
(artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
c.
Mempunyai nilai
(artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan
orang mengambil sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu)
d.
Memberi nilai
(artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang
menggambarkan nilai tertentu).
3. Kegunaan dan Nilai
Ilmu
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan
untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam implementasinya selalu terkait dengan
aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai
peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini
atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar
dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya.
Ilmu merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas
yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan
keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan dirinya
sendiri.
Ilmu merupakan
wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas tertentu), berdasarkan
pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu memprediksikan masa depan walaupun
banyak hal yang kadang terjadi di luar dugaan. Peradaban manusia
sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan
ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih
cepat dan lebih mudah di samping penciptaan kemudahan dalam bidang-bidang
seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di
ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi, namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan
lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan
hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi
kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana
adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang
penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti
Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup
dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup
dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak
dapat dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada
hakikat moral.
Ada pertentangan sengit yang dilontarkan
oleh kaum ilmuwan dan humanis. Kalangan
humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting, antara lain: untuk apa ilmu
digunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan itu tidak
urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak berarti bahwa
perkembangan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang gerak prospek ilmu
pengetahuan hendaknya dibatasi.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu
sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda.
Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan
menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya
seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara
ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik.
Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di
pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar
bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo
pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa
untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah
rangkaian kegiatan keimuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi
dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan
artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya.
Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada pada
manusia itu sendiri. Jadi fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat
aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang
manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana
sebaiknya ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam
tataran aksiologis.
Jadi
pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan;
untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana
penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral/professional?[37]
Oleh karena itu, pada tingkat
aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai
menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena
dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek negatif dan desktruktif,
maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu
angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di
sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik
bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya,
benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah
filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban,
dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan mendatangkan bencana
atau keburukan bagi manusia.
PENUTUP
Dari uraian di atas kita bisa
mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat ilmu mulai dari masalah ontologis,
epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan
masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan
berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses
berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana
mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam
kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa
filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal
itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem
filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada
dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis
tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu
pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana
cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi,
Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasarkan pada aliran filsafat yang mereka anut.
Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian
“kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang
peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi
hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang
memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai
akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.
[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu