menu melayang

FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.
Masalah ini menunjukkan bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Hal ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Penulis katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pengisi dan peserta didik sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak muri. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Masalah ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya.
Untuk mengkaji masalah-masalah di atas, penulis perlu membahas faktor-faktor pendukung pendidikan yang meliputi Sekolah, Kepala Sekolah, Siswa, Guru, Tenaga Kependidikan, Kurikulum, Evaluasi, Dana, Sarana dan Prasarana pendidikan, iklim sekolah, iklim kelas dan manajemen waktu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran peserta didik di bawah pengawasan guru. Kata sekolah berasal dari Bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti: waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni).[1]
Faktanya saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Lebih parahnya lagi sekolah sudah menjadi tempat transaksional ekonomi, padahal sekolah memiliki fungsi yang begitu besar di dalam kehidupan masyarakat begitu pula sebaliknya. Berikut adalah beberapa fungsi sekolah yang dituliskan oleh Prof. Dr. S. Nasution dalam bukunya ‘Sosiologi Pendidikan’:
1.   Sekolah mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan.
2.   Sekolah memberikan keterampilan dasar.
3.   Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib
4.   Sekolah menyediakan tenaga pembangunan.
5.   Sekolah membantu memecahkan masalah-masalah sosial.
6.   Sekolah mentransmisi kebudayaan.
7.   Sekolah membentuk manusia yang sosial.
8.   Sekolah merupakan alat mentransformasi kebudayaan; dan
9.   Fungsi-fungsi lainnya seperti sebagai tempat menitipkan anak, mendapatkan jodoh, dan sebagainya.[2]
Jadi singkatnya beberapa fungsi pendidikan yang telah dijabarkan di atas sebenarnya dapat dirangkum menjadi fungsi sekolah sebagai alat mobilitas sosial, fungsi sekolah sebagai alat sosialisasi, fungsi sekolah sebagai alat kontrol dan integrasi sosial, dan yang paling utama adalah fungsi manifest adalah pendidikan intelektual, yakni “mengisi otak” anak dengan berbagai macam pengetahuan. Sekolah dalam realitasnya masih mengutamakan latihan mental formal, yaitu suatu tugas yang pada umumnya tidak dapat dipenuhi oleh keluarga atau lembaga lain, oleh sebab itu sekolah memerlukan tenaga khusus yang dipersiapkan untuk itu, yakni guru.
Adapun fungsi sekolah dalam mengembangkan dan melaksanakan perannya antara lain:[3]
1.   Sekolah berfungsi sosial
Sosialisasi adalah suatu proses belajar, dimana kita mempelajari cara-cara hidup masyarakat. Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap ide-ide, pola nilai dan standar tingkah laku dalam masyarakat dimana individu tersebut berada. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri atau pribadinya. Dengan proses sosialisasi individu berkembang menjadi suatu pribadi dan makhluk sosial.
Setiap masyarakat mempunyai cara tersendiri dalam upaya membawa seorang anak untuk menjadi dewasa. Pada masyarakat yang masih primitif dengan strukturnya yang masih sederhana, maka anak mempelajari sebagian besar pengetahuan dan keterampilannya dalam keluarga dam masyarakat sendiri. Sudah barang tentu proses sosialisasi semacam ini tidak sesuai lagi untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang sudah maju. Anak sebagai generasi penerus dan pewaris kebudayaan harus dipersiapkan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang begitu pesat. Anak harus dibekali dengan berbagai keterampilan agar dapat mengikuti perkembangan yang begitu cepat itu. 
2.   Fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan
Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
Pertama, fungsi tansmisi pengetahuan dan ketrampilan. Transmisi pengetahuan mencangkup berbagai pengetahuan misalnya pengetahuan bahasa, matematika, pengetahuan alam dan pengetahuan sosial, serta penemuan teknologi. Dalam masyarakat industri yang kompleks, fungsi transmisi pengetahuan sangat penting sehingga proses belajar di sekolah membutuhkan waktu yang lebih lama dan membutuhkan guru-guru khusus. Dalam arti yang sempit transmisi pengetahuan dan ketrampilan ini berbentuk vocational training.
Kedua, fungsi tranmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. Sekolah tidak hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Sekolah juga berfungsi untuk mentransformasikan kebudayaan. Artinya sekolah berfungsi untuk mengubah bentuk kebudayaan agar tetap sesuai dan tidak usang dalam masyarakat yang makin maju dan makin kompleks. Nilai-nilai luhur yang telah diwariskan generasi tua harus tetap terpelihara. Oleh karena itu sekolah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menjaga eksistensi nilai-nilai luhur itu.
3.   Sekolah Sebagai Alat Integrasi dan Pelopor Perubahan
Pada dasarnya fungsi sekolah secara konservatif untuk menyampaikan, meneruskan atau mentransmisi kebudayaan yang salah satu di antaranya adalah nilai-nilai nenek moyang kepada generasi muda. Dengan kata lain sekolah merupakan alat untuk mempertahankan status quo. Namun di sisi lain, sekolah juga turut mendidik generasi muda agar hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini sekolah merupakan agent of change. Dari dua sisi fungsi yang saling bertentangan ini sebenarnya dapat disimpulkan bahwasannya “dalam kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, sekolah memegang peranan penting sebagai ‘agent of change’ yang bertujuan untuk membawa perubahan-perubahan sosial.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan sekolah bermanpaat untuk melatih kemampuan akademis anak, menggembleng dan Memperkuat Mental, Fisik dan Disiplin anak sesuai dengan aturan yang berlaku, memperkenalkan Tanggung Jawab seorang anak, membangun Jiwa Sosial dan Jaringan Pertemanan, Sebagai Identitas Diri, dan Sarana Mengembangkan Diri serta Berkreativitas.
B.      Kepala Sekolah
Secara sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru yang diberi tugas memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran.[4]
Ada banyak pandangan yang mengkaji tentang peranan kepala sekolah terhadap pendidikan.[5] Campbell, Corbally & Nyshand mengemukakan tiga klasifikasi peranan kepala sekolah, yaitu:
1.   peranan yang berkaitan dengan hubungan personal, mencakup kepala sekolah sebagai figurehead atau simbol organisasi, leader atau pemimpin, dan liaison atau penghubung.
2.   peranan yang berkaitan dengan informasi, mencakup kepala sekolah sebagai pemonitor, disseminator, dan spokesman yang menyebarkan informasi ke semua lingkungan organisasi, dan
3.   peranan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, yang mencakup kepala sekolah sebagai entrepreneur, disturbance handler, penyedia segala sumber, dan negosiator.
Di sisi lain, Stoop & Johnson[6] mengemukakan empat belas peranan kepala, yaitu:
1.        kepala sekolah sebagai business manager.
2.        kepala sekolah sebagai pengelola kantor.
3.        kepala sekolah sebagai administrator.
4.        kepala sekolah sebagai pemimpin profesional.
5.        kepala sekolah sebagai organisator.
6.        kepala sekolah sebagai motivator atau penggerak staf.
7.        kepala sekolah sebagai supervisor.
8.        kepala sekolah sebagai konsultan kurikulum.
9.        kepala sekolah sebagai pendidik.
10.   kepala sekolah sebagai psikolog.
11.   kepala sekolah sebagai penguasa sekolah.
12.   kepala sekolah sebagai eksekutif yang baik.
13.   kepala sekolah sebagai petugas hubungan sekolah dengan masyarakat, dan.
14.   kepala sekolah sebagai pemimpin masyarakat.
Sedangkan Peranan  kepala  sekolah  diatur  menurut  Permendiknas  Nomor  13 Tahun  2007  tentang  Standar  Kepala  Sekolah.  Meliputi  lima  dimensi kompetensi, yaitu sebagai berikut:
1.   Kompetensi Kepribadian, meliputi: Berakhlak  mulia,  mengembangkan  budaya  dan  tradisi  akhlak  mulia dan menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas di sekolah, Memiliki integritas kepribadian sebagai pemimpin, memiliki keinginan yang kuat di dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah, bersifat terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, mengendalikan  diri  dalam  menghadapi  masalah  dalam  pekerjaan sebagai kepala sekolah, dan memiliki bakat serta minat jabatan sebagai pemimpin pendidikan.
2.   Kompetensi Manajerial, meliputi:  Menyusun  perencanaan  sekolah  untuk  berbagai  tingkatan perencanaan, mengembangkan sekolah sesuai dengan kebutuhan, memimpin sekolah dalam rangka  pendayagunaan  sumber  daya sekolah secara optimal, mengelola  perubahan  dan  pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajaran yang efektif, menciptakan budaya dan  iklim sekolah  yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik, mengelola guru dan staf dalam rangka pemberdayaan  sumber  daya manusia secara optimal, mengelola  sarana  dan  prasarana  sekolah  dalam  rangka  pendaya gunaan secara optimal, mengelola  hubungan  antara  sekolah  dan  masyarakat dalam  rangka mencari dukungan ide, sumber belajar dan pendanaan.
3.   Kompetensi Kewirausahaan, meliputi: Menciptakan inovasi yang berguna bagi sekolah, bekerja  keras  untuk  mencapai  keberhasilan  sekolah  sebagai organisasi pembelajaran  yang efektif, memiliki  motivasi  yang  kuat  untuk  sukses  dalam  melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah, pantang  menyerah  dan  selalu  mencari  solusi  yang  terbaik  dalam menghadapi kendala yang dihadapi sekolah, dan memiliki  naluri  kewirausahaan  dalam  mengelola  kegiatan produksi/jasa sekolah sebagai sumber belajar peserta didik.
4.   Kompetensi Supervisi, meliputi: Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, melaksanakan  supervisi  akademik  terhadap  guru  dengan menggunakan pendekatan dan supervisi yang tepat, menindaklanjuti hasil  supervisi  akademik  terhadap  guru  dalam rangka peningkatan profesionalisme guru,.
5.   Kompetensi Sosial, meliputi: Bekerja sama dengan pihak lain untuk kepentingan sekolah, berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain
Di sisi lain, sesuai dengan konsep dasar pengelolaan sekolah, Kimbrough & Burkett[7] mengemukakan enam bidang tugas kepala sekolah dasar, yaitu mengelola pengajaran dan kurikulum, mengelola siswa, mengelola personalia, mengelola fasilitas dan lingkungan sekolah, mengelola hubungan sekolah dan masyarakat, serta organisasi dan struktur sekolah.
C.     Guru dan Tenaga Pendidikan
1.   Guru
Kata Guru memiliki ragam makna dalam al-Qur’an, setidaknya kata guru dalam al-Qur’an kita kenal dengan istilah ulama, ar-Rasikhuna fi al-Ilm, Ahl al-Dzikr, Murabbi, Muzakky, Ulul Albab, Mawa’idz, Mudarris, Mu’allim dan Mursyid. Kata ulama sebagaimana dalam QS. Fathir ayat 28, yang memiliki arti orang yang memiliki ilmu, dengan ilmunya ia “takut” kepada Allah. Guru dalam konteks ulama, menguasai ilmu agama dan ilmu secara mendalam, mau mengajarkan ilmunya itu atas panggilan agama; memiliki akhlak mulia dan menjadi teladan bagi masyarakat, serta mengembangkan ilmunya secara terus-menerus.
Dari beberapa pengertian guru dalam konteks al-Quran di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa posisi guru adalah pengajar, penyampai, pemberi contoh, perubah, dari hal yang tidak baik kepada hal yang baik terutama dari sisi pengetahuan.
Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya (Direktorat Tenaga Kependidikan Depdiknas, 2003). Sementara itu, kompetensi menurut Kepmendiknas 045/U/2002 adalah; seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, pada pasal 28, ayat 3 disebutkan bahwa kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak  usia dini meliputi; (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4)  kompetensi sosial.
Dari beberapa pengertian kompetensi seperti tersebut di atas maka yang dimaksud dengan kompetensi guru ialah sejumlah kemampuan yang harus  dimiliki guru untuk mencapai tingkatan guru profesional. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi  profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup kompetensi sosial seperti tersebut di atas maka inti dari pada kompetensi sosial itu adalah kemampuan guru melakukan interaksi sosial melalui komunikasi. Guru dituntut berkomunikasi dengan sesama guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat sekitar, dll. Jadi guru dituntut mengenal banyak kelompok sosial seperti kelompok bermain, kelompok kerjasama, alim ulama, pengajian, remaja, dll.
2.   Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan adalah tenaga/pegawai yang bekerja pada satuan pendidikan selain tenaga pendidik. Tenaga kependidikan berada untuk membantu kepala sekolah yang bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
Tenaga Kependidikan yang berada di sekolah biasanya disebut dengan Tata usaha yang bertugas dalam bidang administrasi instansi tersebut. Bidang administrasi yang dikelola diantaranya; administrasi surat menyurat dan pengarsipan, administrasi kepegawaian, administrasi peserta didik, administrasi keuangan, administrasi inventaris dan lain-lain.
Jika dilihat secara definitive, tenaga kependidikan mempunyai peran yang hampir sama dengan guru. Kompetensi tersebut diantaranya adalah Kompetensi kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Teknis,  Kompetensi manajerial. Hal-hal tersebut mestinya menjadi sebuah perhatian, agar kinerja dalam system pendidikan bisa berjalan dengan lancar.
Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional republik indonesia nomor 24 tahun 2008 tentang standar tenaga administrasi sekolah/madrasah pada Pasal 1 ditegaskan bahwa: (1) Standar tenaga administrasi sekolah/madrasah mencakup kepala tenaga administrasi, pelaksana urusan, dan petugas layanan khusus sekolah/madrasah. (2) Untuk dapat diangkat sebagai tenaga administrasi sekolah/madrasah, seseorang wajib memenuhi standar tenaga administrasi sekolah/madrasah yang berlaku secara nasional. Dan pada Pasal 2  ditegaskan bahwa; Penyelenggara sekolah/madrasah dapat menetapkan perangkapan jabatan tenaga administrasi pada sekolah/madrasah yang diselenggarakannya.
Tenaga kependidikan tidak muncul semata-mata hanya untuk melengkapi sistem pendidikan di sekolah karena tenaga kependidikan mempunyai fungsi yang sama dengan faktor penunjang kependidikan lain, yaitu untuk melancarkan tiap kegiatan yang sekolah adakan. Tenaga kependidikan  berada dalam satu sistem yang vital karena memiliki peran manajerial dalam lingkup sekolah.
D.     Kurikulum dan Evaluasi
1.   Kurikulum
Kurikulum  merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu (curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan sebagai rencana (curriculum as a plan).[8]
Kurikulum sebagai ilmu dikaji konsep, landasan, asumsi, teori, model, praksis, prinsip-prinsip dasar tentang kurikulum. Kurikulum sebagai sistem dijelaskan kedudukan kurikulum dalam hubungannya dengan sistem dan bidang-bidang lain, komponen-komponen kurikulum, kurikulum berbagai jalur, jenjang, jenis pendidikan, manajemen kurikulum, dan sebagainya. Kurikulum sebagai rencana ada yang bersifat menyeluruh untuk semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dan ada pula yang khusus untuk jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Sesuai dengan pengertian tersebut, Kurikulum berisi seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan nasional dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah dan sekolah.
Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka dalam penyusunan kurikulum tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan kuat.[9]
Ketika berbicara kurikulum, maka tidak akan lepas dari Kurikulum Nasional (Kurnas), karena menjadi acuan tunggal dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini di pukul rata berlaku untuk semua lembaga pendidikan. Baik yang ada di pesisir pantai, di ujung gunung, pelosok pedesaan maupun yang berada di kota besar.
Hal yang sangat mencolok dalam penyusunan kurikulum pada era sekarang tidak lagi menggunakan pendekatan sentralisasi. Pola ini dianggap tidak mengakomodatif potensi-potensi local. Sehingga pendekatan yang digunakan sekarang dengan menggunakan desentralisasi pendidikan. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah.
Adapun faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi terinci sebagai berikut:[10]
a.   Tuntutan orang tua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
b.   Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
c.   Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
d.   Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
e.   Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
2.   Evaluasi Pendidikan
Dalam mendefinisikan evaluasi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Namun inti dari semua definisi menuju ke satu titik, yaitu proses penetapan keputusan tentang sesuatu objek yang dievaluasi. Dalam konteks pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan hasil kerja siswa.
Nitko dan Brookhart mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses penetapan nilai yang berkaitan dengan kinerja dan hasil karya siswa. Fokus evaluasi dalam konteks ini adalah individu, yaitu prestasi belajar yang dicapai kelompok siswa atau kelas. Konsekuensi logis dari pandangan ini, mengharuskan evaluator untuk mengetahui betul tentang tujuan yang ingin dievaluasi. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai objek evaluasi yaitu prestasi belajar, perilaku, motivasi, motivasi diri, minat, dan tanggung jawab.[11]
Dalam konteks lembaga evaluasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja atau produktivitas suatu lembaga dalam melaksanakan programnya.[12] Hal yang hampir sama dikemukakan oleh Stuffelbeam dan Shinkfield yang mengatakan bahwa evaluasi merupakan proses memperoleh, menyajikan, dan menggambarkan informasi yang berguna untuk menilai suatu alternatif pengambilan keputusan tentang suatu program.[13]
Menurut Astin ada tiga komponen yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu masukan, lingkungan sekolah, dan keluarannya. Artinya tidak hanya ranah kognitif saja yang diukur.[14]
Evaluasi pengajaran dapat dikategorikan menjadi dua yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan/topik yang tujuannya untuk memperbaiki proses belajar-mengajar. Sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan, yang tujuannya untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik dalam kurun waktu tertentu yang ditandai dengan perolehan nilai peserta didik dengan ketetapan lulus atau belum.[15]
E.      Dana, sarana dan prasarana
1.   Dana Pendidikan
Persoalan dana merupakan persoalan yang krusial dalam pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran persoalan dana  merupakan persoalan yang krusial dalam peningkatan manajemen pembelajaran. Dana merupakan suatu syarat atau unsur yang menentukan keberhasilan pengembangan lembaga. Selama ini dikeluhkan  bahwa  mutu  nasional  pendidikan  rendah  karena  dana  yang tidak  mencukupi,  anggaran  untuk  pendidikan  masih  terlalu  rendah. Padahal  kalau  mau  belajar  dari  bangsa-bangsa  yang  maju  bagaimana mereka  membangun,  justru mereka berani menempatkan anggaran  untuk pemdanaan pendidikan melebihi keperluan-keperluan yang lain. UU Nomor 20 tahun 2003 tentang  sistem pendidikan nasional sebenarnya sudah mengamatkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pemdanaan dan pembangunan pendidikan ini. Dalam pasal 49 ayat 1 dikemukakan bahwa ”dana  pendidikan  selain gaji  pendidik dan dana pendapatan dan belanja negara pada sektor pendidikan dan minimal 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja daerah”
Dana dalam pendidikan meliputi dana langsung (direct cost) dan tidak langsung (indirect cost), dana langsung terdiri dari dana-dana yang dikeluarkan untuk keperluan pelaksanaan pengajaran dan kegiatan-kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pembelajaran, sarana belajar, dana transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan dana tidak langsung berupa keuntungan yang hilang (earning forgone) dalam bentuk dana kesempatan yang hilang (opportunity cost) yang dikorbankan oleh siswa selama belajar.[16]
Dalam konsep pendanaan pendidikan ada dua hal penting yang perlu dikaji atau dianalisis, yaitu dana pendidikan secara keseluruhan (total cost) dan dana satuan per siswa (unit cost). Dana satuan ditingkat sekolah merupakan agregate dana pendidikan tingkat sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pendidikan dalam satu tahun pelajaran. Dana satuan permurid merupakan ukuran yang menggambarkan seberapa besar uang yang dialokasikan ke sekolah-sekolah secara efektif untuk kepentingan murid dalam menempuh pendidikan.
Dalam UUD 1945 pasal 31 “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.” Hal ini membuktikan adanya langkah pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. Konstitusi mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan dana pendidikan 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat memperoleh pelayanan pendidikan. Ketentuan ini memberikan jaminan bahwa ada alokasi dana yang secara pasti digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan.
Untuk dapat tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, maka salah satunya hal paling penting adalah mengelola dana dengan baik sesuai dengan kebutuhan dana yang diperlukan. Administrasi pendanaan minimal mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Penyaluran anggaran perlu dilakukan secara strategis dan intergratif antara stakeholder agar mewujutkan kondisi ini, perlu dibangun rasa saling percaya, baik internal pemerintah maupun antara pemerintah dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat itu sendiri dapat ditumbuhkan.
Disamping itu perlu diupayakan  efisiensi pendanaan. Efisiensi ini dapat dikelompokkan kedalam dua jenis, yaitu:
a.   Efisiensi Internal; Suatu sistem pendidikan dinilai memiliki efisiensi internal jika dapat menghasilkan output yang diharapkan dengan dana minimum.
b.  Efisiensi Eksternal; Istilah efisiensi eksternal sering dihubungkan dengan metode cost benefit analysis, yaitu rasio antara keuntungan financial sebagai hasil pendidikan (biasanya diukur dengan penghasilan) dengan seluruh dana yang dikeluarkan untuk pendidikan. Analisis efisiensi eksternal berguna untuk menentukan kebijakan dalam pengalokasian dana pendidikan atau distribusi anggaran kepada seluruh sub-sub sector pendidikan.[17]Fattah merumuskan arahan-arahan dalam meningkatkan efisiensi pendanaan pendidikan sebagai berikut :Pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality of acces), Pemerataan untuk bertahan disekolah (equality of survival), Pemerataan kesempatan untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar (equality of output), dan Pemerataan kesempatan menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality of outcome).
2.   Sarana dan prasarana pendidikan
Secara Etimologis sarana berarti alat langsung untuk mencapai tujuan pendidikan. Misalnya ; Ruang, Buku, Perpustakaan, Laboratorium dsb. Sedangkan prasarana berarti alat tidak langsung untuk mencapai tujuan dalam pendidikan. misalnya : lokasi/tempat, bangunan sekolah, lapangan olahraga, uang dsb. Dengan demikian dapat di tarik suatau kesimpulan bahwa sarana dan prasarana pendidikan itu adalah semua komponen yang secara langsung maupun tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan untuk mencapai tujuan dalam pendidikan itu sendiri.
Menurut peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyangkut standar sarana dan prasarana pendidikan secara nasional pada Bab VII Pasal 42 dengan tegas disebutkan bahwa:
a.   Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
b.   Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolah raga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat bekreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
Perencanaan kebutuhan merupakan rincian fungsi perencanaan yang mempertimbangkan suatu faktor kebutuhan yang harus dipenuhi. Dalam menentukan kebutuhan diperlukan beberapa data diantaranya adalah distribusi dan komposisi, jenis, jumlah, dan kondisi (kualitas) sehingga berhasil guna, tepat guna, dan berdaya guna dan kebutuhan dikaji lebih lanjut untuk disesuaikan dengan besaran pembiayaan dari dana yang tersedia.
Adapun tujuan Perencanaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Adalah demi menghindari terjadinya kesalahan dan kegagalan yang tidak diinginkan dan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya. Perencanaan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dilakukan berdasarkan analisis kebutuhan dan penentuan skala prioritas kegiatan untuk dilaksanakan yang disesuaikan dengan tersedianya dana dan tingkat kepentingan.
F.      Iklim Sekolah   
Secara konseptual, menurut Fisher & Fraser iklim lingkungan atau suasana di sekolah didefinisikan sebagai seperangkat atribut yang memberi warna atau karakter, spirit, etos, suasana batin, setiap sekolah. Secara operasional, sebagaimana halnya pengertian iklim pada cuaca, iklim lingkungan di sekolah dapat dilihat dari faktor seperti kurikulum, sarana, dan kepemimpinan kepala sekolah, dan lingkungan pembelajaran di kelas.
Beberapa pengertian lain mengenai iklim sekolah yang hampir memiliki makna serupa dikemukakan berikut ini:
Hoy dan Miskel merumuskan pengertian iklim sekolah sebagai persepsi guru terhadap lingkungan kerja umum sekolah.
Creemer et al Selama dua dasawarsa lingkungan pembelajaran di sekolah dipandang sebagai salah satu faktor penentu keefektifan suatu sekolah.
Fisher dan Fraser juga menyatakan bahwa peningkatan mutu lingkungan kerja di sekolah dapat menjadikan sekolah lebih efektif dalam memberikan proses pembelajaran yang lebih baik.  
Freiberg menegaskan bahwa lingkungan yang sehat di suatu sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadapan proses kegiatan belajar mengajar yang efektif. Ia memberikan argumen bahwa pembentukan lingkungan kerja sekolah yang kondusif menjadikan seluruh anggota sekolah melakukan tugas dan peran mereka secara optimal.
Hasil-hasil penelitian selaras dan mendukung penegasan tersebut. Atwool menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran sekolah, dimana siswa mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan yang bermakna di dalam lingkungan sekolahnya, sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa, memfasilitasi siswa untuk bertingkah laku yang sopan, serta berpotensi untuk membantu siswa dalam menghadapi masalah yang dibawa dari rumah. Mereka juga menyarankan bahwa intervensi sekolah yang meningkatkan rasa kepuasan sekolah akan dapat meningkatkan prestasi akademik siswa.   
Hoy dan Hannum menemukan bahwa lingkungan sekolah dimana rasa kebersamaan sesama guru tinggi, dukungan sarana memadai, target akademik tinggi, dan kemantapan integritas sekolah sebagai suatu institusi mendukung pencapaian prestasi akademik siswa yang lebih baik. Papanastaiou (2002) menyatakan bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, iklim lingkungan sekolah memberi efek terhadap sikap siswa terhadap mata pelajaran IPA di sekolah menengah.[18]
G.     Iklim Kelas
Bloom mendefinisikan iklim dengan kondisi, pengaruh dan rangsangan dari luar yang meliputi pengaruh fisik, sosial dan intelektual yang mempengaruhi peserta didik. Hadiyanto menyatakan bahwa iklim merupakan kualitas lingkungan kelas yang terus-menerus dialami oleh guru yang mempengaruhi tingkah laku siswa dalam menciptakan proses pembelajaran yang kondusif.
Hoy dan Forsyth mengatakan bahwa iklim kelas adalah aspek sosial informal dan aktivitas guru kelas yang secara spontan mempengaruhi tingkah laku. Iklim kelas adalah sebuah konsep yang luas, yang mencakup moodatau suasana perasaan atau atmosfer yang diciptakan oleh guru kelas melalui aturan-aturan yang ditetapkan, cara guru berinteraksi dengan murid, dan cara lingkungan fisik dikelola Freiberg dan Stein. Iklim kelas juga ditemukan sebagai prediktor yang kuat terhadap munculnya agresi murid, dimana hubungan yang lebih baik dengan guru dan teman sebaya ditemukan berkorelasi lebih rendah dengan tingkat agresi Schechtman.
Berdasarkan pada pengertian iklim kelas di atas maka dapat dipahami bahwa iklim kelas adalah segala situasi yang muncul akibat hubungan antara guru dan peserta didik atau hubungan antara peserta didik yang menjadi ciri khusus dari kelas dan mempengaruhi proses belajar mengajar.
Menurut Fraser, McRobbie dan Fisher iklim kelas dapat dibagi ke dalam beberapa aspek yaitu:
a.    Kekompakan siswa
Aspek kekompakan kelas mengukur sejauhmana siswa saling mengenal, membantu, dan mendukung satu sama lain.
b.   Dukungan guru
Aspek dukungan guru mengukur sejauhmana guru membantu siswa, mampu bersahabat dengan siswa, memberikan perhatian dan kepercayaan pada siswa.
c.    Keterlibatan siswa dalam pelajaran
Keterlibatan siswa dalam kelas mengukur sejauhmana para peserta didik peduli dan tertarik pada kegiatan-kegiatan dan berpartisipasi dalam diskusi-diskusi di kelas. Keterlibatan siswa dalam kelas mengukur sejauhmana para peserta didik peduli dan tertarik pada kegiatan-kegiatan dan berpartisipasi dalam diskusi-diskusi di kelas.
d.   Kegiatan penyelidikan
Kegiatan penyelidikan ini mengukur sejauhmana siswa mampu memecahkan persoalan dalam kelas tanpa diberitahu dulu cara pemecahannya. Siswa dapat memecahkan persoalan dengan bertanya kepada siswa lainnya, kepada guru, ataupun memperoleh informasi dari media (menonton televisi, membaca buku).
e.    Arahan tugas dari guru
Aspek arahan dari tugas ini mengukur sejauhmana siswa mampu menyelesaikan suatu tugas dan mampu untuk tetap fokus pada pelajaran.
f.     Kerjasama siswa
Mengukur sejauh mana siswa lebih memilih untuk saling bekerja sama daripada berkompetisi dalam belajar. Guru adakalanya memberikan tugas secara berkelompok untuk melihat kemampuan siswa bekerja dengan orang atau siswa lain agar menyelesaikan tugas dengan baik.
g.   Kesetaraan
Kesetaraan dilihat melalui setiap siswa mendapat kesempatan yang sama untuk bicara. Guru tidak membeda-bedakan siswanya, dan setiap siswa mendapatkan perlakuan yang sama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek persepsi terhadap iklim kelas adalah kekompakan siswa, dukungan guru, keterlibatan siswa dalam pelajaran, kegiatan penyelidikan, arahan tugas dari guru, kerjasama siswa serta kesetaraan.
H.     Manajemen Waktu
1.   pengertian
Manajemen waktu adalah suatu jenis keterampilan yang berkaitan dengan segala bentuk upaya dan tindakan seseorang yang dilakukan secara terencana agar individu dapat memanfaatkan waktunya dengan sebaik-baiknya Atkinson mengemukakan bahwa manajemen waktu sebagai kemampuan menggunakan waktu secara manfaattif dan efisien untuk memperoleh manfaat yang maksimal.
Lebih lanjut Haynes menyatakan bahwa manajemen waktu adalah suatu proses pribadi dengan memanfaatkan analisis dan perencanaan dalam menggunakan waktu untuk meningkatkan manfaattivitas dan efisiensi.
Higgins mendefinisikan manajemen waktu sebagai proses untuk menjadikan waktu lebih produktif, dengan cara mengatur apa yang dilakukan dalam waktu tersebut. Hal serupa juga dikemukakan oleh Forsyth mengatakan bahwa manajemen waktu adalah cara bagaimana membuat waktu menjadi terkendali sehingga menjamin terciptanya sebuah manfaattifitas dan efisiensi juga produktivitas.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen waktu adalah suatu kemampuan menggunakan waktu secara manfaattif dan efisien sehingga tercapai.

2.   Fungsi manajemen waktu
Orr dan Tracy mengatakan bahwa manfaat-manfaat dari manajemen waktu terbagi menjadi 10 macam yaitu:
a.   Dapat meningkatkan keteraturan hidup, percaya diri dan disiplin.
b.   Dapat meningkatkan kualitas kehidupan diluar jam belajar.
c.   Dapat meningkatnya kepuasan belajar pada individu.
d.   Dapat mengurangi kesalahan yang dibuat dalam pembelajaran.
e.   Dapat mengurangi jumlah krisis belajar yang dihadapi individu.
f.    Menurunnya tingkat stress pada individu.
g.   Dapat menyelesaikan lebih banyak pembelajaran dan diperolehnya prestasi belajar yang baik. Dapat meningkatkan kecepatan belajar.
h.   Dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas belajar.
Sedangkan Forsyth (2009) mengemukakan bahwa dampak dari penggunaan manajemen waktu, antara lain :
a.   Memiliki prioritas yang jelas dalam belajar.
b.   Dapat mengurangi keterlambatan dan kasalahan dalam belajar.
c.   Dapat tepat waktu dalam melakukan suatu pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kepuasan belajar.
d.   Memiliki kemampuan untuk tetap berkonsentrasi terhadap pembelajaran sehingga dapat meningkatkan produktivitas belajar yang baik.
e.   Dapat melatih kebiasaan disiplin untuk hal-hal yang berhubungan dengan waktu sehingga pembelajaran yang dilakukan akan lebih efisien.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa begitu banyak manfaat-manfaat yang dihasilkan dari penggunaan manajemen waktu antara lain, individu dapat meningkatkan keteraturan hidup, percaya diri dan disiplin, meningkatkan kualitas kehidupan diluar jam belajar, meningkatnya kepuasan belajar pada individu, dapat menyelesaikan lebih banyak pembelajaran dan diperolehnya prestasi belajar yang baik, dapat meningkatkan kecepatan belajar, dapat mengurangi kesalahan yang dibuat dalam pembelajaran, mengurangi jumlah krisis yang dihadapi individu, menurunnya tingkat stress pada individu, memiliki prioritas yang jelas dalam belajar, memiliki kemampuan untuk tetap berkonsentrasi terhadap pembelajaran sehingga dapat meningkatkan produktivitas belajar yang baik, dapat melatih kebiasaan disiplin untuk hal-hal yang berhubungan dengan waktu sehingga pembelajaran yang dilakukan akan lebih efisien.
BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa:
1.   Sekolah berfungsi sosial, fungsi transmisi dan transformasi kebudayaan, disamping itu Sekolah Sebagai Alat Integrasi dan Pelopor Perubahan, dan Sekolah juga sebagai lembaga seleksi.
2.   Secara sederhana fungsi kepala sekolah diatur  menurut  Permendiknas  Nomor  13 Tahun  2007.  Meliputi  lima  dimensi kompetensi, yaitu sebagai berikut: (1) Kompetensi Kepribadian (2)  Kompetensi Manajerial (3) Kompetensi Kewirausahaan (4) Kompetensi Supervisi dan (5) Kompetensi Sosial.
3.   Guru berfungsi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak  usia dini meliputi; (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4)  kompetensi sosial.
4.   Tenaga kependidikan berada untuk membantu kepala sekolah yang bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
5.   Kurikulum  berfungsi untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum dapat dilihat dalam tiga dimensi yaitu, sebagai ilmu (curriculum as a body of knowledge), sebagai sistem (curriculum as a system) dan sebagai rencana (curriculum as a plan).
6.   Evaluasi berfungsi untuk memperbaiki proses belajar-mengajar dan untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik dalam kurun waktu tertentu yang ditandai dengan perolehan nilai peserta didik dengan ketetapan lulus atau belum.
7.   sarana dan prasaranaberfungsi untuk menunjang jalannya proses pendidikan untuk mencapai tujuan dalam pendidikan itusendiri.

B.      Saran
Demikian materi makalah “Faktor-faktor pendukung pendidikan” yang dapat penulis suguhkan, semoga dengan uraian sederhana ini dapat bermanfaat khususnya bagi saya selaku penyusun dan para pembaca yang budiman pada umumnya.


[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu

Back to Top

Cari Artikel

Pengunjung Bulan Ini

x
x
Sebelum Download File Mari Berdonasi Dulu
Konfirmasi
x
Sebelum Download File Mari Berdonasi Dulu