A.
Pendahuluan
Dikotomi ilmu pengetahuan adalah masalah yang selalu diperdebatkan
dalam dunia Islam. Sejak zaman kemunduran Islam sampai sekarang. Dikotomi dapat
diartikan suatu bentuk pemisahan dan mempertentangkan. Masing-masingnya
menyatakan kebaikan atu kelebihan masing-masing.[1]
Islam menganggap ilmu pengetahuan sebagai sebuah konsep yang holistis. Dalam
konsep ini tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai.[2]
Pemisahan atara imu dan agama sudah melekat pada manusia terutama
yang berada di Indonesia. Jadi sejak dulu dikotomi ada yang muncul pada masa
kemunduran peradaban Islam perlu untuk dikaji. Antara das sollen dan das sein
selalu terbuka untuk dipermasalahkan. Untuk itu diperlukan harmonisasi hubungan
antara ilmu dan agama. Peran Departemen Agama yaitu dengan memasukkan
pendidikan agama kedalam kurikulum pendidikan umum dan pelajaran umum pada
sekolah-sekolah agama. Ilmu dan agama bukan lah hal yang terpisah dan kita
wajib menempatkannya secara holistis karena peran keduannya mempunyai hubungan
yang erat, keduanya tak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. Manusia bebas
menuntut ilmu dan mengembangkan teknologi tetapi semua itu harus dibatasi oleh
agama. Jangan sampai ilmu pengetahuan dan teknologi justru menjerumuskan manusia..
Dan Tugas maanusia mencari kebenaran atau ilmu pengetahuan dibalik semua
ciptaan Allah (rahasia yang terkandung didalamnya). Berdasarkan beberapa
alasan yang dapat membuktikan bahwa
dikotomi pendidikan sangat merugikan, karena ajaran Islam yang sesunggunya
tidak menganjurkan dikotomi, bahkan dalam Islam menganjurkan adanya
keterpaduan penggunaan akal
danmemedomani Wahyu.
B.
Dikotomi Pendidikan
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua
bagian[3].
Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang
saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan
antara ilmu umum dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena
dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi
dalam dunia pendidikan Islam[4].
Secara sederhana Samsul Nizar dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam Mengungkap
bahwa dikotomi dapat diartikan pemisahan suatu
ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya saling memberikan arah
dan makna yang berbeda dan tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu
tesebut. Di lihat dengan konsep Islam,
jelaslah sangat berbeda dengan konsep Islam tentang ilmu pengetahuan itu
sendiri, karena dalam Islam ilmu dipandang secara utuh dan universal tidak ada
istilah pemisahan atau dikotomi.[5]
Dalam kenyataan sejarah,khususnya pada
periode kejayaan, Para ulama sepakat perlunya integrasi yang utuh antara aspek
duniawi dan ukhrawi antara aspek materil dan mental siprituil, antara aspek
individu dan masyarakat dalam kehidupan keagamaan yang tercakup dalam Islam.
Dengan demikian pecinta ilmu menuntut ilmu pengetahuan yang menyeluruh baik
yang bersifat naqliyah maupun naqliyah.
Term fuqaha pada masa itu memang sesuai
dengan konsep al- Qur’an dan Sunnah yang dinisbatkan kepada pemahaman terhadap
ilmu pengetahuan Islam secara utuh. Firman Allah:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Islam yang berdasarkan kepada al-Qur’an
dan hadits sesuai dengan perkembangan pikiran manusia. Kajian secara ilmiah
tentang Islam dapat dilakukan dan ditelusuri semenjak nabi Adam AS sampai
kepada nabi Muhammad SAW. Ketika nabi Adam akan diangkat menjadi khalifah di
bumi, maka kepasnya diajarkan berbagai nama ilmu yang diperlukan untuk
mengelola bumi, sehingga tugasnya sebagai khalifah dapat dilaksanakan
sebaik-baiknya.
Penyatuan ilmu pengetahuan dan agama
serta penyatuan antara kedua system pendidikan adalah tuntutan akidah Islam itu
sendiri. Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk
manusia. Dia pula yang menurunkan hokum-hukum untuk mengelola dan
melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam fisik termasuk fisik manusia dinamakan
sunnatullah. Sedangkan pedoman hidup dan hokum untuk kehidupan manusia telah
ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan “dinulah” yang mencakup
akidah dan syari’ah[6]
C.
Akar Sejarah Tumbuhnya Dikotomi Ilmu dalamPeradaban Islam
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu
diperbincangkan. Adanya dikotomi keilmuan ini akan berimplikasi terhadap
dikotomi model pendidikan. Di satu pihak ada pendidikan yang hanya memperdalam
ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan , dan di sisi
lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Praktik dualisme pendidikan atau dikotomi,
sebenarnya disebabkan oleh kemunduran umat Islam daloam segala bidang, seinring
dengan kemajuan pada Eropa (Barat).
Ahmad Baiquni dalam buku Syamsul Nizar mengatakan bahwa, apabila
dianalisis secara mendalam ada beberapa faktor penyebab terjadinya dikotomi
ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam yaitu :
1.
Hancurnya
sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan karena mengamuknya
tentara mongol yang menghancurkan kota Baghdad serta dihancurkannya kekuatan
umat Islam di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan ketika itu.
2.
Hilangnya
budaya berpikir rasional di kalangan umat Islam. Dalam sejarah ada dua corak pemikiran yang
selalu mempengaruhi cara berpikir umat Islam, yaitu pemikiran tradisional yang
berciri sufistik dan pemikiran rasional yang berciri terbuka, inovatif dan
konstruktif. Masa kejayaan Islam khususnya pada masa dinasti Abbasiyah umat
Isalam mempelajari dan tidak membedakan
antara ilmu yang bersumber dari wahyu atau analisis berpikir. Namun pada masa
kemunduran peradaban Islam pemisahan terhadap ilmu agama dan umum terjadi pada
umat Islam[7].
Abad ke tiga belas sampai lima belas Masehi adalah masa penurunan
bagi Umat Islam. Pada masa ini perkembangan kebudayaan, peradaban dan sains
menurun di Timur tengah. Menurunnya kebudayaan Islam pada periode ini karena
sikap umat Islam terhadap pendidikan dan pemikiran semakin berkurang. Al-Qur’an
dan Hadits sudah mulai ditinggalkan sebagi sumber pemikiran dan sikap hidup.
Pintu ijtihad dianggap tertutup, pandangan sempit, ilmu dan agama terpisah,
umat bersikap tradisional, taqlid dan fatalistik. Pengajaran filsafat dan
matematikka dicurigai karena dianggap akan memmbawa masyarakat kepada
agnotisisme. Tempat utama dalam dunia pendidikan dan ilmiah diproritaskan pada
studi keagamaan dengan tujuan untuk mempertahankan kepercayaan Islam dan
kebudayaan Arab dari sengan Eropa (Barat). Lembaga-lembaga pendidikan Islam
umumnya ditekankan fungsinya kepada
studi keagamaan dan tempat pendidikan dan latihan bagi keperluan politik guna
mempertahankan kepercayaan dan politik Islam. Kelanjutan dari masa kemunduran
ini adlah masa staqnasi yang terjadi antara abad ke lima belas dan abad ke
Sembilan belas[8].
Penyebab kehancuran peradabam Islam juga oleh ekspedisi pasukan
salib yang merugikan dunia Islam, kaum Salib Eropa melancarkan seranganya
berkali-kali[9].
Selanjutnya diungkapkan oleh M>M Sharif, bahwa pikiran pada abad
ke tiga belas Masehi dan terus melemah sampai abad ke delapan belas masehi,
diantara sebab lemahnya pikiran tersebut adalah:
1.
Telah
berkelebihan filsafat Islam (yang bercorak sufistis) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali
dalam alam Islami di Timur, dan berkelebihan pula Ibnu Rusyd dalam memasukkan
filsafat Islamnya (yang bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di Barat.
Al-Ghazali dengan filsafat Islamnya menuju kea rah bidang rohaniah hingga
menghilang ia ke edalam alam tasawuf, sedangkan Ibnu Rusyd dengan filsafatnya
menuju ke arah yang bertentangan dengan Al-Ghazali, filsafatnya menuju ke
materialism.
2.
Umat
Islam, terutama para pemerintahnya melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan,
dan tidak memberikan kesempatan untuk berkembang.Pada mula penjabat
pemerintahan sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan
memberikan penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan, maka pada
masa menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam ini, para ahli ilmu
pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan umumnya terlibat
dalam urusan-urusan pemerintahan, sehingga melupakan ilmu pengetahuan.
3.
Terjadinya
pemberontakan-pemberontakan yang diiringi dengan serangan dari luar, sehingga
menimbulkan kehancuran-kehancuran yang mengakibatkan berhentinya kegiatan
pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam.Sementara itu
kecemerlangan pikiran Islam berpindah ke kaum Masehi, yang mereka telah
mengikuti jejak kaum muslimin yang menggunakan hasil buah pikiran yang mereka
capai dari pikiran Islam itu[10].
Kehancuran total yang dialami oleh kota Baghdat dan Granada sebagai
pusat pendidikan dan kebudayaan Islam, menandai runtuhnya sendi-sendi
pendidikan dan kebudayaan Islam. Musnahnya lembaga-lembaga pendidikan dan
buku-buku ilmu pengetahuan dari kedua pusat pendidikan Timur dan Baratdunia
tersebut,menyebabkan pula kemunduran pendidikan di seluruh dunia Islam,
terutama di bidang intelektual dan material, tetapi tidak demikian halnya
dengan bidang kehidupan batin atau spiritual[11].
D.
Dikotomi Pendidikan Islam di Indonesia
Sejarah
pendidikan kita sekarang tidak bisa lepas dari sitem pendidikan islam dan
sistem pendidikan yang berasal dari warisan kolonial Belanda. Hal itu
dikarenakan pendidikan islam di Indonesia telah ada sebelum adanya pendidikan
formal Belanda. bisa kita lihat adanya pesantren yang tumbuh sebelum adanya
pendidikan “barat”. Melalui media pesantren tersebut di sana dipakai untuk
sarana pembelajaran untuk transfer nilai-nilai islam. Mereka mendakwahkan
ajaran agama kepada masyarakat dan sekaligus sebagai alat perjuangan. Itu bisa
kita lihat pejuang-pejuang dari kalangan santri atau pesantren yang gugur demi
tegaknya kedaulatan Negara kita.
Kalau
kita perhatikan ada pola budaya bentukan colonial Belanda yang turut menentukan
dinamika pendidikan kita. Ada istilah
barat yang menganggap orang di luar Eropa pada waktu itu masih bersifat
promiskuitas (pergaulan bebas), savagery (kebiadaban) dll. Hal itu menjadikan
adanya system klasifikasi yang mengarah “rasisme”. Dan akibatnya di Indonesia
pun ada system kelas yang dibentuk Belanda. Orang Bumi putra demikian kita di
golongkan. Hal itu berlajut kedalam klasifikasi yang merugikan. Akibat dari
system kelas tersebut pengaruhnya terhadap pendidikan orang bumi putra adalah
hanya golongan bangsawan yang bisa bersekolah di sekolah Belanda. Dalam sebuah
pendapat dikatakan anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda sebelum
kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar.
Dan tentunya inilah awal babak baru yang menggiring kita akan pemahaman adanya
dikotomi antara umum dan agama. Bagi rakyat bukan golongan priyayi pilihan
tidak lain adalah pendidikan pesantren- yang berarti lebih bernuansa islam. Itu
artinya diskriminasi tersebut membuat mobilitas social seseorang terbelenggu
oleh system. Hanya orang tertentu yang diberikan akses untuk menempuh
pendidikan “barat” (umum). Kondisi pesantren mendapat tekanan dan pendidikan
islam memisahkan diri karena tekanan politik, agama dan social budaya.
Setelah
merdeka pun dikotomi umum-islam masih tetap berlanjut, dan bahkan ada anggapan
pendidikan islam terkesan di nomor duakan, kualitas lulusannya tidak sebagus
yang dari umum, dll yang semuanya mengesankan pendidikan islam ada dalam “kelas
nomor dua”. Dan sekarang kesempatan akses untuk mendapatkan pendidikan bagi
seluruh Warga Negara Indonesia dijamin oleh konstitusi. Namun dikotomi antara
umum-islam tidak serta merta hilang seiring dengan penjaminan oleh konstitusi.
Ketika
terjadi keterpecahbelahan ini, dimana
perkembangan pemikiran rasional diambil alih dunia Barat dan dunia
Islam menafikan cara berpikir rasional tersebut maka
akhimya umat Islam terjebak pada kebekuan
berpikir dan suka "tenggelam" dalam kefanaan sufistik.
Sementara di wilayah lain, dunia
Barat bersorak-sorak kegirangan karena peradaban
mereka dengan menggunakan cara berpikir
rasional-empiris telah mengalami kemajuan yang cukup pesat bahkan mampu menciptakan berbagai hal yang baru, meskipun disisi lain mereka mengalami "kegersangan"
spiritual. Jadi kalau di Timur tingkat spritualitas tumbuh dengan "subur" dan tingkat
intelektualitas menurun drastis namun
di Barat spritualitas menurun drastis sedangkan intelektualitas berkembang pesat, Dua ranah cara berpikir yang berbeda di atas akhimya membentuk suatu pemahaman
bahwa ada dua pendidikan dalam Islam yakni
pendidikan agama dan pendidikan umum. Pendidikan agama dianggap bertujuan
mengembangkan aspek spritualitas dan masalah keakhiratan dan pendidikan umum dianggap bertujuan untuk
pengembangan aspek keduniawian dan bidang
garapannya pun adalah bidang materi. Dan
dalam perkembangan selanjutnya tidak bisa ditolak lagi, terjadilah
dikotomi dalam pendidikan Islam yakni ada
pendidikan dengan "sistem Barat yang modern dan sekuler" dan
"sistem Islam yang tradisional dan religius". Untuk melihat perbedaan pola kerja antara
cara berpikir Normatif- Dogmatis dan Sufistik (yang lazimnya disebut al-Jabiri
sebagai bayani dan Irfani) dan cara berpikir Rasional-Empiris yang disebut pula Durham, maka bisa diperhatikan contoh berikut:[12]
Dua orang anak
muda yang baru lulus dari sebuah perguruan
tinggi Islam bersama-bersama
berangkat ke perpustakaan daerah
untuk mencari koran gratis agar
bisa mendapatkan informasi lowongan kerja.
Sesampainya di perpustakaan,
mereka pun langsung mengambil dan
membolak-balik koran-koran yang ada. "Perusahaan Distributor Consumer Goods Nasional Besar Membutuhkan
segera Chief Accounting (CA), Usia 27 Tahun, Pendidikan minimal Sl Accounting". "We are
seeking qualified and highly motivated people
to fill the position with the
following requirements : Mechanical Engineering Manager". Berlembar-lembar
koran lama dan baru dibolak
balik tetapi posisi yang
diberikan selalu untuk lulusan perguruan
Tinggi umum. Akhimya, mereka pun kelelahan dan salah satu dari mereka bergumam "sulitjuga ya cari pekerjaan yang pas dan
bergengsi buat lulusan seperti kita ini dibanding mereka yang
lulus dari perguruan umum", sang kawan
pun menjawab "betui juga, padahal andai aku dulu menuruti saran kakakku untuk kuliah di
perguruan Tinggi umum dan mengembangkan kemampuan kimiaku, mungkin aku sekarang
sudah bekerja di perusaahan yang
sama seperti kakakku".
Dengan langkah yang agak gontai merekapun
beranjak pulang.[13]
Fenomena
di atas hanyalah bagian kecil dari dampak adanya dikotomi keilmuan dalam
pendidikan Islam. Kesulitan para lulusan perguruan Tinggi Islam untuk mencari
kerja sudah cukup dimaklumi. Mahasiswa perguruan Islam yang tidak dilengkapi
dengan kemampuan yang kreatif selain ilmu-ilmu agama tidak mampu bersaing
dengan para mahasiswa lulusan umum, terutama dalam lahan persaingan kerja.
Adanya dikotomi ini juga telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
lemah dalam ranah metodologi. Malik Fajar menyatakan bahwa pesantren memiliki
tradisi yang kuat dalam transmisi keilmuan Islam klasik namun karena kurangnya
improvisasi metodologi maka akhimya transmisi tersebut hanya memunculkan
penumpukan keilmuan, bahkan muncul anggapan bahwa ilmu tidak perlu ditambah
lagi atau sudah mencapai fmalnya dan ini mengindikasikan lemahnya kreatifitas
umat
E.
Kesimpulan
Dikotomi antara ilmu dan agama adalah produk warisan dari zaman
kolonial belanda. Pemisahan atara imu dan agama sudah melekat pada manusia
Indonesia yang kalau ditelusuri sudah ada sejak dahulu karena memang aturan
hukum yang bersumber dari akal manusia terkadang ada yang bertentangan dengan
hukum yang bersumber pada wahyu/ dogma agama. Untuk itu diperlukan harmonisasi
hubungan antara ilmu dan agama. Manusia bebas menuntut ilmu dan mengembangkan
teknologi tetapi semua itu harus dibatasi oleh agama. Jangan sampai ilmu
pengetahuan dan teknologi justru menjerumuskan manusia.. Dan Tugas maanusia
mencari kebenaran atau ilmu pengetahuan dibalik semua ciptaan Allah (rahasia
yang terkandung didalamnya).
Dikotomi ilmu dalam Islam masih merupakan persoalan yang belum bisa diselesaikan. Sementara berbagai dampaknya terus meluas menggerogoti peradaban Islam dan semakin menambah catatan ketertinggalan Islam dari peradaban Barat.
Dikotomi ilmu dalam Islam masih merupakan persoalan yang belum bisa diselesaikan. Sementara berbagai dampaknya terus meluas menggerogoti peradaban Islam dan semakin menambah catatan ketertinggalan Islam dari peradaban Barat.
Dikotomi ini tidaklah muncul dengan tiba-tiba tetapi dimulai oleh sebuah sejarah panjang yang menghasilkan berbagai produk cara berpikir dan lembaga pendidikan yang mendukung terbentuknya dikotomi
tersebut. Belajar dari sejarah tersebut, maka mau tidak mau upaya penyelesaian dikotomi
tersebut hams dimulai sejak dini dan terus digulirkan sehingga diharapkan dalam proses sejarahnya nanti mampu membentuk sebuah konsep keilmuan yang integratif
dan interkoneksi serta mampu menghasilkan
peradaban Islam yang diharapkan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus
Besar BahasaIndonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=dikotomi%20pendidikan%20islam.bmk
Atlas Sejarah Isla Dar Al’ilm, Jakarta: Kaysa Media, Anggota IKAPI,
Cet.1 2011
Syarif. M.M, Muslim Though (Terj. Fuad M. Fachruddin), Diponegoro,
Bandung
Fajar. Malik, Sintesa Antara
Perguruan Tinggi dan Pesantren, Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta : Paramadina, 1997
Nizar. Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, Cet.1,2007
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Zuhairini,dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:Bumi
Aksara,1997,h.111
Zulmuqim, Dalam Mata
Kuliah Sejarah Pendidikan Islam, PPS IB Padang: 16 September 2012.
[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu