A. Pendahuluan
Ajaran tasawuf muncul atau
terinspirasi dari praktek-praktek
kehidupan zuhud Nabi Muhammad SAW bersama
para sahabatnya. Pada abad ketiga Hijriyah dengan muncul gejala dekadensi
moral, timbul keinginan sebagian orang untuk kembali mempraktekkan cara-cara hidup
yang dijalankan Nabi dan para sahabatnya. Pada masa itu muncullah pembahasan
tentang moral, yang pada akhirnya mendorong keinginan untuk semakin mengkaji
hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang pada akhirnya berkembang menjadi
salah satu corak tasawuf yang disebut juga dengan tasawuf akhlaki yang pada
dasarnya bersandarkan pada al-Qur’an dan sunnah.
Perkembangan tasawuf dari masa kemasa
ditandai dengan bermunculan beberapa tokoh tasawuf yang menyajikan berbagai
cara untuk mencapai tingkat tertinggi oleh sufi. Salah seorang tokohnya adalah
imam al-Ghazali yang digelari dengan Hujjatul Islam, karena karya-karyanya yang
sangat banyak memberikan konstribusi dalam perkembangan dunia Islam.
Nah disini penulis mencoba untuk
mengkaji makna dan peran tasawuf serta coraknya menurut imam al-Ghazali, imam
yang memiliki pengaruh besar dalam tasawuf yang memiliki kepribadian dan ilmu
pengetahuan yang sangat besar dalam sejarah pemikiran Islam.
B. Imam Al-Ghazali
Nama
lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia dilahirkan pada
tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan,
Republik Islam Iran.[1] Pada masa kecilnya al-Ghazali
belajar kepada Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan saat itu. Sepeninggal
gurunya ini, al-Ghazali berguru kepada Ahmad Ibn Muhammad al-Razakanya al-Thusi
dan dilanjutkan kepada Abu Nashral-Isma’ily di Jurdan dan akhirnya ia masuk ke
sekolah Nizhamiyah di Naisabur yang dipimpin oleh imam al-Haramaini (Imam dua
kota haram: Makkah dan Madinah), dari beliaulah al-Ghazali menimba ilmu
pengetahuan seperti ilmu fiqh, ilmu kalam dan ilmu logika.[2]
Pada
sekolah ini pulalah al-Ghazali belajar teiri dan praktek tasawuf kepada Abu Ali
al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali al-Farmadhi (w.477 H). dengan demikian, semakin
lengkaplah ilmu yang diterimanya selama di Naisabur dan di sekolah ini pulalah
beliau diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Setelah gurunya, al-Juwaini
wafat, al-Ghazali ke Mu’askar dan berhubungan baik dengan Nizham al-Mulk,
Perdana Mentri Sultan Bani Saljuk.[3]
Dalam
hidupnya al-Ghazali pernah mengalami suatu masa keragu-raguan. Dalam perjalanan
hidupnya untuk mencari kebenaran. Al-Ghazali mempelajari teology ternyata dalam
teology tersebut banyak terdapat pertentangan-pertentangan. Kemudian
dipelajarinya filsafat ternyata tidak mempunyai argumen yang kuat bahkan ada
hal-hal yang bertentangan dengan agama. Akhirnya dia menemukan kebenaran yang
dicarinya dalam tasawuf.[4] Sirajudin Zar menukilkan setelah
al-Ghazali mengalami keragu-raguan tersebut, ia meninggalkan semua jabatan yang
disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Baghdad, kemudian ia mengembara
ke Damaskus. Di Masjid Jami’ Damaskus ia mengisolasi diri (uzlah) untuk
beribadah, kontemplasi, dan sufistik yang berlangsung selama dua tahun.[5] Disinilah ia menghabiskan waktu
untuk merenung, membaca dan menulis dengan memilih jalan tasawuf dalam penelusuran hidupnya. Al-Ghazali
berpindah-pindah dari Baghdad, Thus, Hamdan, dan Syiria. Disaat inilah beberapa
karyanya seperti Mi’yar al-‘ilmi dan Ihya ‘Ulumuddin. [6]
C. Corak Tasawufnya
Secara
umum ilmu tasawuf dibagi kepada dua jenis. Pertama tasawuf Sunni (akhlaki) yang
mengarah kepada teori-teori bentuk prilaku dan yang kedua tasawuf falsafi yang
mengarah kepada teori-teori yang lebih rumit dan membutuhkan pemahaman yang
sangat mendalam.
Tasawuf
merupakan pilihan al-Ghazali setelah mengalami kegoncangan jiwa dan
mengakibatkan ketidakberdayaannya, bahkan sampai tidak ada yang bisa mengobati,
sehingga pada akhirnya penyakit tersebut diambil kembali oleh Allah SWT.
Kecendrungan Al-Ghazali untuk memasuki dunia tasawuf berawal dari ketidak
puasannya terhadap kemampuan yang dia miliki untuk mencari kebenaran. Ia
melihat bahwa kecakapan indera dan rasio belumlah mampu mengantarkannya
kejenjang pengetahuan yang memuaskan. Perasaan inilah yang membuntutinya
dilingkupi rasa ragu, bimbang dan kegonjangan jiwa yang begitu hebat.[7] Dengan
hidayah Allah SWT akhirnya Al-Ghazali dapat melepaskan dirinya dari keraguannya
dalam mencari kebenaran yang selama ini selalu dia pertanyakan.
Sebagai
contoh dalam bidang filsafat dia mengemukakan bahwa terdapat kegoncangan dalam
berfilsafat yang diwarisi dari filsafat Yunani yang mendewakan akal sebagai
dalil yang qat’i. Dalalahnya tidak sampai kepada tingkatan yang dapat
meyakinkan dalam menjawab masalah ketuhanan seperti Tuhan tidak dapat mengetahui
sesuatu yang bersifat juz’i.[8]
Ajaran-ajaran
tasawuf Al-Ghazali cendrung lebih memberikan perhatian pada jiwa manusia dan
membinanya secara moral, sedangkan pencarian secara mistisme yang falsafi jauh
ditinggalkanny. Menurutnya jalan menuju sufi adalah perpaduan antara ilmu dan
amal yang nantinya akan membuahkan moralitas. Dari keterangan ini dapat
dipahami bahwa cirri khas tasauf Al-Ghazali cendrung bersifat ‘amali ketimbang
falsafi. [9]
Dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa corak tasauf Al-Ghazali adalah bersifat
psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat dari
karya-karyanya seperti Ihya ‘Ulumuddin, Minhaj al-‘Anidin, Mizan al-‘Amal,
Bidayat al-Hidayah, Mi’raj an Ayyuha al-Walad.[10]
Corak tasaufnya tersebut yang lebih menonjol adalah kesanggupannya dalam menyusun konsep
pengkompromian antara syari’at dan tasawuf sehingga menjadi sebuah bangunan
baru yang memuaskan bagi kelompok syari’at dan kelompok sufi dizamannya.[11]
Konsep
yang dikembangkannya tidak terlepas dari perkembangan tasawuf sebelumnya.
Konflik antara tasawuf dan syari’at mencapai puncaknya ditandai dengan hukuman
mati al-Hallaj ditiang gantungan. Sejarah mencatat bahwa timbulnya ketegangan
tersebut terjadi pada pertengahan abad ketiga hijriyah, tepatnya ketika konsep
Ma’rifat oleh Dzun Nun al- Mishry yang menjadi perbincangan diantara kalangan
sufi daan konsep al-Ittihad oleh Abu Yazid Al-Bustami dan konsep Al-Hulul oleh
Al-Hallaj. Kalangan syari’at memandang konsep-konsep ini sudah terlalu jauh
menyimpang dari aturan aqidah Islam.
Konsep
tasawuf akhlaki (amali) yang dikemukan oleh Al-Ghazali ini cendrung memadukan
aspek eksoterik (syari’ah) dengan esoterik (hakikat) dan tidak sampai beralih
pada paham-paham yang bertentangan dengan tauhid sekalipun hanya dalam bentuk
ungkapan lahiriah secara praktis. Tasawuf akhlaki amali bermula dari praktek
zuhud amaliah dan berakhir pada praktek tasawuf sebagai ilmu dengan dasar-dasar
praktisnya. Sungguhpun sejak abad ketiga dan keempat hijriah sudah bermunculan
banyak tokoh seperti al-Hasan al-Muhasibi, Sirri al-Saqathi, namun puncak
kesempurnaannya baru dicapai pada abad kelima hijriyah ditangan al-Ghazali.[12]
Sesuatu
yang menarik dari al-Ghazali adalah usahanya dalam mengkompromikan perbedaan pandangan antara syari’at dan
tasawuf. Ia menganjurkan agar seseorang
harus terlebih dahulu menguasai dan mengamalkan syari’at sebelum
memasuki tasawuf. Ia menegaskan bahwa pengalaman tertinggi dari tasawuf adalah
ma’rifat. Tanpa memahami syari’at seseorang tidak akan sampai pada ma’rifat
tersebut. Al-Ghazali menempatkan pemahaman syari’at pada tatanan yang paling
mendasar yang harus dikuasai oleh seorang yang ingin memasuki dunia tasawuf.
Dalam
kitabnya al-Munqiz min al-Dhalal al-Ghazali mengutarakan panjang lebar mengenai
perkembangan kehidupan rohani bahwa bagi seorang yang menempuh jalan menuju
Allah dari fase awal hingga akhir harus menempuh maqamat-maqamat, yaitu taubat,
sabar, faqir, zuhud, tawakal, hub, ma’rifat dan ridha. Disamping itu dia harus
meninggalkan dan menjauhi penyakit-penyakit hati seperti sombong, hub al-dunya
dan sifat-sifat mazmumah yang lainnya karena sifat-sifat itu akan menghalanginya untuk mencapai
pengetahuan.[13]
Untuk
mencapai jenjang maqamat tidaklah mudah. Seorang sufi diharuskan belajar dengan
seorang syaikh yang berfungsi sebagai panutan dalam menjalani kehidupan sufi.
Seorang sufi memerlukan dan mujahadah untuk mencapai maqam
tersebut. Riyadhah berarti latihan membebani diri dengan perbuatan yang
dirasakan sebagai badan yang berubah menjadi akhlak, sedangkan Mujahadah
berarti perjuangan melawan tarikan nafsu sebagai upaya pemebersihan diri dan
hati sehingga membuatnya bercahaya.
Al-Ghazali
sangat menolak paham Hulul dan Ittihad. Untuk itu dia menawarkan
paham baru tentang ma’rifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah tanpa diikuti
penyatuan dengan-nya. Jalan menuju ma’rifat adalah ilmu dan amal, sedangkan
buahnya adalah moralitas. Ma’rifat menurut Al-Ghazali diawali dalam bentuk
latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam
tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Al-Ghazali berjasa besar
dalam dunia Islam, dia mampu memadukan antara tiga keilmuan Islam, yaitu
tasawuf, fiqh dan ilmu kalam yang sebelumnya banyak menimbulkan ketegangan
dikalangan ulama.[14]
Dalam
kitab al-Risalah al-Qusyairiyah ma’rifat disebut sebagai maqam dan terkadang
sebagai hal. Bagi al-Junaid, ma’rifat sebagai hal. Al-Ghazali memandang bahwa
ma’rifat datang sebelum mahabbah, sedangkan al-Kalabadzi menyebut ma’rifat
setelah mahabbah. Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah mengetahui rahasia tuhan
tentang segala yang ada. Secara umum konsep ma’rifat yang dikemukan oleh para
pendahulunya. Yaitu sebagai usaha pengenalan langsung terhadap Tuhan melalui
pandangan bathin yang didalamnya terdapat nilai tauhid.[15]
Maksud
ma’rifat yang dikemukakan al-Ghazali cendrung lebih luas dibandingkan dengan
para sufi sebelumnya. Ia tidak hanya membicarakan tentang pengenalan langsung
terhadap Allah, tetapi dia juga memasukkan semua pengetahuan tentang hakikat
alam semesta yang terpantul dari lauh mahfuzh melalui al-Qalb dan membatasi
pengetahuan serta penghayatan ma’rifat pada penghayatan teramat dekat dengan
Allah yang dikenal dengan istilah al-Qurb.
Konsep
al-Qurb ini berbeda dengan konsep al-Qurb yang dikemukakan oleh al-Qusyairi.
Menurut al-Qusyairi bahwa kefanaan itu terdiri dari tiga angkatan, yaitu:
1. Lenyapnya
kesadaran terhadap diri dan sifat-sifat pribadi ketika telah menghayati
sifat-sifat Allah
2. Lenyapnya
kesadaran terhadap diri dan lingkungan serta lenyapnya penghayatan terhadap
sifat Allah karena telah menyaksikan keindahan zat-Nya
3. Lenyapnya
kesadaran terhadap kefanaan sendiri karena telah menyatu dengan wujud Allah.
Ghazali
dalam konsep fana ini mempertahankan perbedaan antara hamba dengan Allah.
Menurut Simuh dalam penghayatan konsep fana seorang sufi masih sadar akan
adanya perbedaan antara Allah dan hamba-Nya karena dia masih mempertahankan
adanya jarak antara hamba dengan Allah.
Ma’rifat
yang dimaksud Al-Ghazali yaitu yang disebut dengan al-‘ilm al-yakin dengan
pengertian bahwa tersingkapnya sesuatu secara jelas sehingga tidak ada ruang
untuk ragu-ragu. Ma’rifat seorang sufi adalah qalbunya, bukan perasaannya dan
bukan pula akal budinya. Qalbu menurut
al-Ghazali diibaratkan seperti sebuah cermin, sedangkan ilmu adalah pantulan
gambar secara realitas yang terdapat didalamnya. Jika cermin itu kotor maka
pantulan yang akan diberikan tidak akan jelas dan tidak akan mampu memantulkan
cahaya-cahaya ilmu. Hawa nafsu membuat qalbu menjadi kotor, dan hanya ketaatan
serta kepatuhan kepada Allah yang membuat qalbu itu bersih dari segala
kotoran hawa nafsu.
Disamping
itu ma’rifat diartikan melihat wajah Allah dan tidak akan tercapai dengan
penglihatan inderawi, tetapi hanya dapat dicapai dengan amal bashar (mata
hati). Selanjutnya jika seorang sufi telah mencapai ma’rifat barulah timbul
mahabbah seorang hamba terhadap tuhannya. Menurutnya, ma’rifat dan mahabbah ini
adalah tingkatan paling tinggi yang dicapai oleh seorang sufi. Dan secara
otomatis, pengetahuan yang dicapainya jauh lebih tingggi mutunya dibandingkan
pengetahuan yang diperoleh melalui akal.[16]
Untuk
sampai ketingkat ma’rifat ini ada tiga alat yang dipergunakan oleh kaum sufi. Al-Qalb
untuk mengetahui sifat-sifat tuhan, al-Ruh untuk mencintai tuhan dan al-Sir
untuk melihat tuhan. Al-Sir lebih halus dari ar-Ruh, dan al-Ruh
bertempat pada al-Qalb. Al-Sir timbul dan dapat menerima illuminasi (kasy)
dari tuhan, kalau Al-Qalb dan Al-Ruh telah menjadi suci sesuci-sucinya dan
kosong sekosong-kosongnya, dan tak berisi apapun, diwaktu itulah tuhan
menurunkan cahayanya kepada sufi bersangkutan dan ketika itu sampai ketingkat
ma’rifat.[17]
Ma’rifat
merupakan konsep utama dan juga merupakan tujuan akhir kesufian Al-Ghazali.
Ma’rifat menurut Al-Ghazali diawali dengan bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan
dengan menempuh fase-fase dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal). Al-Ghazali menjalankan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan
berolah jiwa, sehingga sampai kepada ma’rifat yang mampu menciptakan
kebahagiaan (sa’adah).
D. Pengaruhnya
Dalam Tasawuf
Hujjatul
Islam adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh dunia Islam kepada Al-Ghazali,
seorang filosof dan seorang sufi sunni yang telah berhasil membela kebenaran
agama Islam.
Namun
sebagian golongan malah memandang sebaliknya. Ia dituduh sebagai seorang yang
anti filsafat dan anti intelektualisme, orang yang bertanggung jawab terhadap
kemunduran umat Islam. Banyak tuduhan yang dilontarkan kepada Al-Ghazali yang
dikambinghitamkan sebagai penghalang terhadap perkembangan pemikiran filsafat
didunia Islam. Namun argument-argumen itu tidak dapat diterima. Sejarah
mencatat bahwa justru Al-Ghazali yang banyak berfilsafat melalui hasil
pemikiran yang diperolehnya. Semua terlihat dari hasil karyanya seperti Ihya
‘Ulumuddin, Thahafut al-Falasifah dan lain sebagainya. Didalam karyanya itu
tergambar pemikiran dan filsafatnya. Pendapat diatas sebenarnya berasal dari
orang-orang yang tidak mengenal siapa Imam Al-Ghazali sesungguhnya.
Al-Ghazali
adalah seorang sufi, ia menerapkan tasawuf yang hanya berlandaskan Al-Qur’an
dan Sunna dan melakukan kritik tajam terhadap para filosof. Al-Ghazali
dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf sunni. Hal ini tidak terlepas dari
kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dari segi kepribadian, keluasan
pengetahuan dan kedalaman tasawufnya. Ia dianggap seorang sufi yang memiliki
pengaruh besar dalam khazanah ke tasawufan
dinunia Islam.[18]
Ahmad
Amin dalam Zuhr al-Islam dengan tegas bahwa imam Al-Ghazali telah berhasil
melakukan rekonsiliasi (perdamaian) secara ulama syari’ah dan para sufi. Dimana
letak perselihannya adalah kalau ulama syari’ah telah menonjolkan pengalaman
keagamaan dalam bentuk formalistic sedangkan para sufi lebih menonjolkan aspek
bathiniah.
Kehadiran
Al-Ghazali didunia tasawuf mampu menjembatani perang ideology antara ahli
syar’at dan ahli tasawuf yang berjalan lebih kurang dua abad. Keberhasilan
Al-Ghazali dalam meredakan kemelut itu disebabkan oleh kepribadian Al-Ghazali
sendiri sebagai ahli sunnah yang terpercaya yang memiliki reputasi dan
kredibilitas yang tinggi, baik dimata fuqaha maupun dimata mutakallimin,
terutama dimata kaum sufi. Al-Ghazali mendapat penghargaan yang sangat besar
seagai penyelamat agama dari perpecahan.
Konsep
al-Qurb yang dikemukan Al-Ghazali membuat kaum syari’at menerima tasawufnya dan
dipandang sesuai dengan syari’at Islam. Banyak sekali sanjungan yang
ditunjukkan kepada Al-Ghazali baik dari kalangan ilmuan timur maupun ilmuan
barat dengan karyanya yang terbesar, Ihya ‘Ulumuddin, seperti yang
diungkapkan oleh imam Nawawi bahwa hamper saja kitab Ihya seperti al-Qur’an.
Sesungguhnya kitab ini merupakan kitab yang mulia dalam Islam untuk mengenal
halal dan haram. Terhimpun didalamnya hukum Islam yang zahir dan bathin yang
membicarakan masalah hati yang sulit dipahami. [19]
E. Kesimpulan
Dari
tulisan singkat ini dapat kita simpulkan bahwa imam Al-Ghazali merupakan tokoh
Islam yang sangat berpengaruh dan sangat berjasa dalam mengkompromikan ilmu
tasawuf, ilmu syari’at dan ilmu kalam. Ia digelari Hujjatul Islam karena
kedalaman ilmu pengetahuannya. Konsep ma’rifat yang dikemukakannya adalah
pengetahuan terhadap rasia Tuhan tentang segala yang ada. Pemikirannya tentang
tasawuf yang tertuang diberbagai karyanya terutama kitab Ihya ‘Ulum ad Din sangat
berpengaruh bagi dunia Islam sehingga menjadi rujukan bagi kalangan ilmuan dan
kalangan awam.
Semoga
makalah yang singkat ini bisa memberikan konstribusi yang bermanfaat. Dan
penulis sangat yakin bahwa tentunya dalam penulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan-kekurangan. Kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam perbaikan
akademis kedepan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
Rosihan dan Solihin, Mukhtar, Ilmu
Tasauf (Bandung, Pustaka Setia, 2000)
Nasution, Harun, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
Nasution,
Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Pres,2002)
Qadir Abd
Mahmud, al-Falsafah al-Sufiyyah al-Islam(Cairo: Dar al-Fikr, tt)
Samad,
Duski, Studi Tasawuf sejarah Tokoh dan Pemikirannya, (Padang: IAIN “IB” Press,
1999)
Simuh,
Tasauf dan Perkembangan Dalam Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1996)
Tim
Penyusun, Eksiklopedi Islam (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoe Ven, 1994)
Zar,
Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2004)
Zarkani, M. Yahya, Teologi Al-Ghazali, Pendekatan
Metodologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996)
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam:
Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo, 2004), h. 155
[2] Ibid, h. 156
[3] Ibid, h. 156 - 157
[4] Harun Nasution, Filsafat dan
Misticisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)., cet. I., h., 35 -
37
[5] Sirajuddin Zar, op.cit., h.
157
[6] Duski samad, Studi Tasawuf sejarah
Tokoh dan Pemikirannya, (Padang: IAIN “IB” Press, 1999), h.131
[7] Ibid, hal. 131
[8] Simuh, Tasauf dan Perkembangan Dalam Islam,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996) hal. 164
[9] Duski Samad, Op.Cit, hal. 135
[11] M. Zarkani Yahya, Teologi Al-Ghazali, Pendekatan
Metodologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996)hal. 80
[17] Harun Nasution, Islam Ditinjau
Dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI-Pres,2002)hal. 81