A.
Pendahuluan
Berbicara
masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh tasawuf itu
sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya untuk memperoleh
pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT, namun tasawuf ibarat induk
jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang lebih kecil darinya sesuai dengan
faham dan tokoh yang merintis jalan
tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf sebagai
Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan mana yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep
pendekatan kepada Allah yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang
mahabbah (Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.
Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua orang
tokoh sufi fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan
dari segi tujuan, berupa kedekatan atau lebih khususnya penyatuan diri
manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang
berbeda. Abu Yazid
Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para
mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang
berada diluar nalar manusia biasa. Di dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya
serta ajarannya yang sangat terkenal fana’ baqa dan Ittihad,
serta Al-Hallaj dengan garis kehidupan dan konsepnya yang kontroversi terhadap
pandangan ulama’ dan pemimpin waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia,
dukungan oleh banyak pengikutnya dari
berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.
Semoga
pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan wawasan terhadap
kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang, tidak dilihat dari sudut
pandang yang lain.
B.
Abu Yazid Al-Bustami
a.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin
Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M[1]. Al
Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat kelahiranya,
Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau sebelah tenggara dari
laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya Surusyan, pada mulanya
seorang penganut agama Majusi kemudian masuk Islam. Pendidikan dasar yang
dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi,
begitu juga ilmu tauhid dan ilmu hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai
alam fana. [2]
Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya,
tetapi ia lebih memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon
kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam
perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap
makanan yang diragukan kehalalannya[3].
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai
murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan
berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari
Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada
kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia
kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini
menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah[4].
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan
waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia
terlebih dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang
gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu tauhid, ilmu
hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[5]
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan
ia seorang yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari
beberapa pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu
melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang besar-besar, walau
ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu tertipu sebelum kamu melihat
bagaimana ia mengikuti suruh dan
menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at.[6]
Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya
tertulis riwayat hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan
Thufaur b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa
Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung kedalam
tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia meninggal dunia
tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Busthan. [7]
b.
Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-Ittihad Abu Yazid
Ajaran al-fana’, al-baqa’,
dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan.
Dari
segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah
atau lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya
apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah
mencapai fana[8].
Dalam
hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya :
"hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu”[9].
Menurut
al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan
makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang
mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain
ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya[10] .
Di
antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan.
Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata
sanubarinya .
Menurut
al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat
dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta
proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya
disebut Fana’ al-nafs[11].
Menurut
Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap
tindankan-tindakannya.[12]
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat
dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :
ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن
ذهابه والذهاب عن ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء
فليس شيء يوجد ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya
kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya.
Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu
dan berlangsung terus secara slilih berganti sehingga tiada lagi yang
disadaridan dirasakan oleh indera[13].
Sebelum sampai kepada al-ittihad seorang
sufi terlebih dahulu menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat menghancurkan
dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnya al-fana’
sebagai proses awal lalu kemudian dilanjutkan dengan al-baqa yang satu
dengan yang lain merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud dengan
hancurnya jiwa suci bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan
menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut dengan
al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran tentang diri sendiri
hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan. Dengan terjadinya fana otomatis baqa
akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu ittihad pun terjadi pula. Abu
Yazid membawa pengertian yang berbeda
dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai Tuhan.
[14]
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya
se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur
eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari
dirinya (fana an nafs)[15].
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs
yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud
rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani[16].
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju
dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah
dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam
dirinya. Dengan
demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga
alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai
manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Bila
seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentang wujudnya sendiri dan wujud
lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada
Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan
sebagaimana ungkapan mereka:“Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang
ada adalah sifat-sifat Tuhan”.
Dengan
demikian bisa dikatakan pencapaian Abu Yazid ketahap fana' dicapai
setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah SWT.
Adapun
salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping mendalamnya cinta
rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran) dengan perantaraan zikir,
dalam kitab hikam diterangkan:
والذكر أعظم باب أنت داخله
لله فأجعل له الأنفاس حراسا
Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk
mencapai fana’ dan makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap
keluar masuknya nafas dengan zikir [17]
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam
mimpinya menatap Tuhan. la bertanya, "Bagaimana caranya agar aku sampai
pada- Mu? Tuhan menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.
"Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada
salah satu ucapannya:
أعرفه بى حتى فنيت ثمّ عرفته به فحيّيْتُ
Artinya:
"Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku
fana', kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”.[18]
Kehancuran
(fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap
Tuhan, yaitu :
a.
Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
Adapun
baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah
tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan paham fana'
karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang
mengalami fana', ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'[19].
Dengan
tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah
sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan)
yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan
perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun[20].
Paham Fana’,
Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep
pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan
jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT yang
bunyinya :
“Barang siapa yang
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat
kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)
Ittihad
adalah
tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana
dan baqa'. Disebutkan oleh Abdul
Razaq Al-Katsani :
التحاد هو شهود الوجود الحق الواحد المطلق الذى الكل به موجود بالحق فيتحد
به الكل من حيث كون كل شيء موجوداً به معدوما بنهسه، لا من حيث أنّ له وجوداً
خاصاً اتحد به فإنه محال[21]
Artinya:
Dalam
tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan
yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang
bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan
nama Tuhan.
Usaha untuk mencapai fana’, baqa’ dan ittihad
itu bagi Abu Yazid, seperti sufi lainya, juga diawali dengan zuhud. Ia berkata
ketika seseorang bertanya kepadanya, tentang perjuangan mencapai ittihad.
Ia menjawab tiga tahun sedang umurnya pada waktu itu telah lebih dari tujuh
puluh tahun. Dengan kata lain setelah ia berumur tujuh puluh tahun ia mencapai
maqam ittihad. Ia juga berkata hari pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala
isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala yang akan terjadi
disana, dan pada hari ketiga aku zuhud
terhadap apa saja selain Allah.[22]
Seorang sufi dipandang telah mencapai station ittihad
adalah ketika ia dalam keadaan mabuk (sakr atau trance). Ucapan-ucapan seperti
itu juga diucapkan oleh Abu Yazid, antara lain ia berkata: “manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku tidak, aku hannya mengucapkan tiada Tuhan selain Allah”[23]
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga
mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan "pada suatu ketika
aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid,
makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab:
"Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu,
maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah
melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan
mereka itu. Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Abu Yazid telah
dekat dengan Tuhan, tetapi ittihad belum ia capai, ittihad tercapai ketika ia
mengucapkan sebagai berikut:
"Tuhan
berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun
berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. Konversasi ; terputus Kata menjadi satu, bahkan semuanya
menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya
menjawab, Hai aku. Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah
yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah
aku." Pernyataan di atas menunjukan bahwa Abu Yazid mengucapkan
“aku” bukan sebagai gambaran dirinya, tetapi sebagai gambaran Tuhan. Hal ini
terjadi karena Abu Yazid sedang mengalami ittihad. [24]
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu
wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang
dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi
pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini
mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana antara yang
mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang
lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan
tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.
Louis
Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar
sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang
Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan
ucapannya sendiri. Perkataan yang diucapkanya dalam kondisi begini tidak akan
terucap dalam kondisi normal, bahkan akan
ditolak oleh dirinya sendiri .[25]
Hal ini sejalan
dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110:
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia
biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan
kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat
tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia
untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu dekat dengan Tuhan
al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.
C.
Al-Hallaj
1.
Biografi Al-Hallaj
Nama lengkapnya
adalah Abu Bakar Al-Mughist Al-Husain ibn Mansyur ibnu Muhammad Al- Baidhawi.
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran
tenggara, pada 244 H/ 858 M. Ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia.
Kakeknya adalah seorang Majusi dari silsilah Abi’ Ya’qub[26].
Ketika
al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah
seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian
bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa
itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah.[27]
Ia mulai belajar
Al-Qur’an pada Qura’ Al Qur’an mazhab Hambali dan dan sudah hafal pada usia
dini, tahun 260
H/ 873 M, dia pindah ke Tustar dan menjadi murid Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi pengembara yang ketat
dalam pengamalan tasaufnya. Dari al-Tusturi ia belajar mengenai teori Nur
Muhammad (The light of Muhammad) yang selanjutnya sangat menentukan arah
pemikiran al-Hallaj dikemudian hari. Setelah belajar 2 tahun dengan Tusturi,
dia berangkat ke Basrah lalu melanjutkan perjalanan ke Baghdad. Di Basrah ia
balajar dengan Amir Makki (w.279/909) salah seorang murid al-Junaid, di Baghdad
ia menuntut ilmu dan berada di bawah asuhan sufi Abu Ya’kub al-Aqtha juga murid
al-Junaid dan ia kawin dengan putri gurunya Umm al-Husain.[28]
Pada
tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah
ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun
ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung
selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang
hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti
ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian
rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari
menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai
topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para
sufi lainnya.
Banyak
reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian
memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke
Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid.
Namun
pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Sehingga hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya
sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan
istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar
dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa
melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di
Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin
memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi
bergaul dengan kaum sufi.
Al-Hallaj
meninggalkan kehidupan sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari
Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke
batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali
lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai
macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali
di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang
berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati
jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar, (Hallaj berarti seorang
penggaru sedangkan Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu) yang berarti sang
penggaru segenap rahasia atau Kalbu.[29].
Setahun
kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji
sebagai seorang guru disertai empat
ratus pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia mutuskan meninggalkan
Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi
terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada
906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan
utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung
selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang
dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah[30].
Ia
kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan ia
bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang
mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj
selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu
melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan
"pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini
jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan
yang nyata dan hanya merupakan lambang saja[31].
Karena
kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan
besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya
pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum
Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat
ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana
al-haq" (akulah yang maha benar)[32].
Karena
ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia dapat
melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati
kepadanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah
ia bersembunyi selama empat tahun. Namun pada tahun 301 H / 930 M ditangkap
kembali dan dimasukkan lagi ke penjara hampir sembilan tahun lamanya. Selama
itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya.
Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa
ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.
Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan
Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H,
jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di
cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan
kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh
itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke
sungai Dajlah.[33]
Selama di penjara, al-Hallaj banyak
menulis hingga mencapai 48 buah buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan
isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1.
Kitab al-Shaihur
fi Naqshid Duhur
2.
Kitab al-Abad
wa al-Mabud
3.
Kitab Kaifa
Kana wa Kaifa Yakun
4.
Kitab Huwa
Huwa
5.
Kitab Sirru
al-Alam wa al-Tauhid
6.
Kitab al-Thawasin
al-Azal
7.
dan lain-lain.
Kitab-kitab
itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu
juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu
'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber
muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.[34]
2.
Pemikiran Hulul Al Hallaj
Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf lainya, dan hulul
ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada waktu itu bahkan dikalangan
sufi sendiri.
Hulul secara leksikal merupakan
kata benda abstrak (masdar) yang diderivisikan dari kata (حل يحل حلا لا حلو لا) lalu di Indonesiakan menjadi
menempati, bertempat tinggal bahkan dalam bentuk plus alif-nun (حلاة) ia dapat berarti luluh atau larut menyatu. [35]
Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran
tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari paham it-tihad.
Konsepsi al hulul pertama kali ditampilkan oleh Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang
meninggal karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang
disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.[36]
Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil
tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan melalui fana atau eksate.
Sebab menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut. Demikian juga
Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau lahut dan
sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah menghilangkan sifat
kemanusiaanya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, Maka
Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan antara
manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. [37]
Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan
sebelumnya yakitu Ittihad. Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai :
fusi penyerapan atau penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat dengan
berbagai macam pengertian.
a.
Penyatuan
substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b.
Penyatuan ruh dengan
tuhan dalam diri manusia,
c.
Inherensi
suatu aksi dalam substansinya,
d.
Penyatuan
bentuk -bentuk (shurat) dengan materi
pertama dan
e.
Hubungan antara
suatu benda dengan tempatnya .[38]
Meskipun
demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam
hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri
al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang dilihat
hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamanya
tentang proses kejadian manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai
manusia pertama diciptankan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya surah min nafsih dengan segenap sifat dan kebesaranya,
sebagaimana yang ia ungkapkan dalam syairnya:[39]
Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan
Al-Halaj pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 34.
Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk
golongan orang-orang yang kafir.
Menurut pemahamanya adanya perintah Allah agar Malaikat
sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam
sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran
hulul itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-Hallaj berikut ini:[40]
Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia tetap
ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul
ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis
dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Olej karena itu ucapan ana al haq yang
meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa
dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah
Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj. Interpensi ini sesuai pula dengan
pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:[41]
Aku adalah rasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha
benar, aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj
mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia.
Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia
telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan
menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya
Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya,
melalui titik sentral manusia yaitu roh[42].
Adapun
menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan
bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di
dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj
berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia
mentakwilkan ayat:
وَإِذْ
قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى
وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : ٣٤}
Artinya:
Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS.
Al-Baqarah : 34).
Sesuai
dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq"
bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.
Sementara
itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana
telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga
tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat
memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan
perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat
menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke
tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan
melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan[43].
D.
Penutup
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1.
Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham fana,baqa dan ittihad.
2.
Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham hulul
3.
Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu
wujud, diistilahkan diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah
sedangkan dalam hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang bersatu
dalam satu tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Katsani,
Razaq Abdul, إصطلاحات الصوفية القسم الأول والثانى Kairo, Darul Manar, 1992
Al-Ghanimi,
al-Taftazani. Abul Wafa’, Sufi dari Zaman ke Zaman (terjemah) Bandung,
Pustaka 1997
Hadi,
AbdulWM, Tasawuf Yang Tertindas: kajian hermeneutik karya-karya Hamzah
Fansuri Jakarta, Paramadina, 2001
Khaja, Shahib
Khan Studies In Tasawuf (terjemah). Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993
Nasution,
Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Nasution,
Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspek. Jakarta Bulan Bintang, 1992
Siregar,
Rivay,Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2002
Solihin,
Muhammad, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman. Bandung, Pustaka Setia, 2003
Simuh,Tasawuf
dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997)
Siregar, Rivay,
Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html
http://giotugi.blogspot.com/2008/12/abu-yazid-al-bustami-1.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Mansur_Al-Hallaj
[1] M.Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung, Pustaka
Setia, 2003) hal 79
[6] Duski Samad, op.cit,h.
191. Mengutip dari : Muhammad Ghalab, Tasawuf Al-Muqarin, (Kairo,
Maktabah Nahdah, tt),h.54
[8] Khan Shahib Khaja Studies In Tasawuf (terjemah), (Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 1993) hal 91
[10] Rivay Siregar, , Tasawuf
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 147
[12] Abu al Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman (terjemah)
(Bandung, Pustaka 1997) hal 106
[15] Rivay Siregar,Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,
(Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002) hal 146
[16] Ibid
[17] Simuh,Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam (Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 1997) hal 109
[18] M. Solihihin,Op cit hal 82
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/tasawwuf-abu-yazid.html
[26] M. Solihin opcit hal 86
[30] Ibid
[31] M. Solihin op cit hal 86
[37] Ibid, h. 156. Mengutip dari R.A. Nicholson, The
Mystic Of Islam, (Routledge & Kegan Paul: London, 1996), h.150
[39] Rivay Siregar, Op.
Cit, h.156-157 . Mengutip dari A. Qadir Mahmud, al-Falsafah
al-Syaofiyah fi al-Islam, (Dar al-Fikri: Kairo, 1996), h.361
[40] Ibid, h. 157-158.
Mengutip dari A. Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Syaofiyah fi al-Islam, (Dar
al-Fikri: Kairo, 1996), h.358
[43] ibid