BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Generasi sahabat adalah
orang-orang yang menerima ajaran islam langsung dari Nabi SAW. Mereka juga
orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga generasi
sahabat ini merupakan transmitter awal yang menyalurkan informasi nilai-nilai
relegius dari Nabi kepada generasi berikutnya. Tanpa mereka umat islam pasca
generasi sahabat tidak akan mengetahui apa-apa tentang islam. Oleh karena itu maka dalam ilmu hadits dinyatakan bahwa urgensi
sahabat berkaitan dengan periwayatan yang diverifikasikan dari Nabi.
B. Rumusan Masalah
Oleh karena itu makalah ini
akan membahas dan mencari jawaban dari masalah :
1.
Apa pengertian sahabat?
2.
Bagaimana cara mengetahui
sahabat?
3.
Benarkah semua sahabat
bersifat adil?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Shahabat
Menurut etimologi kata
shahabat adalah bentuk jama’ dari mufrod shahib yang artinya adalah : yang
memiliki dan yang menyertai. Menurut ‘urf berarti kawan atau teman yang selalu
berada bersama kita. Kata shahib ini di jama’kan juga dengan kata Shahbun,
Ashab dan Shahabah (dengan tidak memanjangkan Ha’)[1].
Definisi shahabat secara
terminologi terjadi silang pendapat diantara Ulama’. Ahmad bin Hambal (Imam
Hambali) mengatakan “sahabat adalah orang yang pernah hidup bersama Nabi,
sebulan atau sehari atau sesaat atau hanya melihatnya”.[2]
Pendapat ini kurang mengena
karena orang badui yang hanya bertemu dengan Nabi sejam – dua jam saja tidak
dapat dinamai sahabat, karena tidak dapat ditetapkan bahwa mereka itu adil.
Sebagian Ulama’ Ushul
berpendapat, bahwa yang dikatakan sahabat adalah : Orang yang berjumpa dengan
Rasul dan lama pula bersahabat dengan beliau.[3]
Ibnu Hazm berpendapat
sahabat adalah : setiap orang yang pernah semajlis dengan Nabi walau hanya
sesaat dan pernah mendengar sesuatu dari Nabi walau hanya satu kalimat.[4]
Imam Al-Waqidi berpendapat
sahabat adalah : setiap orang yang melihat Rasul dalam keadaan baligh, islam
dan sudah mampu memahami urusan agama.
Menurut Al-Iroqi, batasan baligh tidak bisa diterima
karena akan menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair,
Hasan dan Husen yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan banyak meriwayatkan
hadits dari Rasulallah.[5]
Said bin Musayyab
berpendapat : sahabat adalah orang-orang yang hidup bersama Rasul selama satu
atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu atau dua kali.[6]
Pendapat Said bin Musayyab
tidak disetujui oleh mayoritas Ulama’ besar akan berakibat tidak termasuknya
sahabat yang kebetulan belum pernah ikut berperang bersama Nabi. Padahal telah
disepakati bahwa Jarir bin Abdullah adalah sahabat Nabi yang belum pernah ikut
berperang bersama Nabi.
Menurut Ibnu Hajar definisi
sahabat yang paling sahih adalah definisi yang diberikan jumhur muhadditsin :
الصحابي من لقي النب صل
الله عليه وسلم مؤمنابه, ومتا على الاسلام.
“ Sahabat adalah orang
yang bertemu dengan Nabi dalam keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan
islam”.[7]
Orang yang bertemu dengan Nabi tapi belum
memeluk islam, tidaklah dipandang sahabat. Orang yang semasa dengan Nabi dan
beriman kepadanya, tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai
Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib khuwailid bin Khalid Al-Hadzali
juga tidak dipandang sahabat
Termasuk sahabat jika dia
tetap dalam keadaan beriman sampai dia wafat, jika dia murtad sesudah dijuluki
dengan sahabat, hilanglah kesahabatannya, seperti Qurrah bin Maisarah dan
Asy’ats bin Qa’is, tetapi kalau dia kembali beriman seperti Abdullah bin Abi
sarah maka dia bisa dijuluki sahabat lagi.[8]
B. Cara Mengetahui Sahabat
Untuk menggolongkan seseorang kepada sahabat,
hendaklah menggunakan salahsatu dari 5 ketentuan dibawah ini :
1.
Ditentukan oleh khabar
mutawatir, seperti penetapan terhadap khulafaur-rosyiddin.
2.
Ditetapkan oleh khabar
masyhur dan mustafid yang belum sampai mencapai mutawatir, seperti kesahabatan
Dlamam bin Tsa’labah dan Ukasyah.
3.
Diberitakan oleh sahabat
yang lain, seperti kesahabatan Hamamah bin Hamamah Ad-Dausy yang meninggal di
Isfahan. Menurut pemberitaan dari Abu Musa Al-Asy’ary, bahwa Hamamah pernah
mendengar hadits dari Nabi. Hal ini menjadi bukti bahwa ia pernah bertemu
dengan Nabi Muhammad.
4.
Keterangan seorang Tabi’i
yang Tsiqoh bahwa yang diterangkan itu adalah seorang shahaby. Ini berarti
bahwa pentazkiyahan (menganggap adil) dari seorang yang tsiqoh, diterima.
5.
Pengakuan sendiri seorang
yang dianggap adil di zaman Rasulallah SAW, pengakuan ini dianggap sah selama
tidak lebih dari seratus tahun dari kewafatan Rasulallah SAW. Berdasarkan isyarat
Rasulallah :
ارايتكم
ليلتكم هذه ؟ فان على رأس مائة سنة منها لايبقي احد منه هذااليوم على ظهرالارض
(رواه البخاري ومسلم)
“Apakah yang kau lihat pada malam mu ini?
Bahwa disetiap awal seratus tahun tidak seorang pun yang tinggal dari golongan
orang sekarang ini (sahabat) diatas permukaan bumi".
(H.R Bukhori Muslim).[9]
Dengan demikian jika ada orang yang mengaku
sebagai sahabat yang pengakuannya itu sesudah seabad dari wafat Nabi, pengakuan
tersebut tidak dapat diterima.[10]
C. Keadilan Sahabat
Dalam kajian ilmu hadits terdapat ketentuan
bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil. Maka dalam hal ini sifat adil merupakan dasar untuk menilai
validitas hadits. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwasannya adil dianggap
sebagai pokok atau rukun dalam periwayatan.
Oleh karena begitu pentingnya dasar adil dalam
suatu periwayatan hadits maka para Ulama’ memberikan karateristik secara ketat
terhadap masalah ini. Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib, ‘Adalah berarti : sifat yang melekat didalam jiwa yang mampu
mengarahkan pemiliknya untuk senantiasa bertaqwa, menjaga muru’ah, menjauhi
perbuatan dosa, tidak melakukan dosa-dosa kecil dan menjauhkan perbuatan yang
bisa menjatuhkan muru’ah, seperti kencing dijalan, makan dijalan, dst.[11]
Imam Nawawi menetapkan kriteria lain mengenai ‘Adalah. Menurut Imam Nawawi sebagaimana
dikutip oleh Imam Al-Suyuthi dalam kitab Tadribu Ar-Rawi menyatakan bahwa
syarat rawi bisa disebut adil adalah muslim, baligh, berakal sehat, tidak
terdapat sebab-sebab kefasikan dan terhindar dari hal-hal yang menjatuhkan muru’ah.[12]
Untuk mengetahui adil tidaknya rawi paling
tidak ada 2 hal yang harus diperhatikan. Pertama, pernyataan dari orang-orang
adil, dan kedua, kemasyhuran rawi itu sendiri dengan keadilannya.Tentang
penilaian terhadap keadilan para
sahabat juga tedapat 2 pendapat, pertama
pendapat jumhur sepakat menilai bahwa semua sahabat bersifat adil.[13]
Penilaian ini tidak hanya berdasarkan penelitian, tetapi berdasarkan nash
Al-Qur’an dan Hadits. Diantara ayat yang dijadikan dalil untuk menilai adilnya
sahabat adalah surat Ali Imron ayat 110
كنتم
خير امة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله
“Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar dan beriman kepada Allah”.[14]
Ayat ini menerangkan bahwa umat ini adalah uamt yang
terbaik yang dilahirkan bagi manusia dan factor yang menyebabkan sebagai umat
yang terbaik adalah sifat umat ini yaitu selalu menyuruh kepada kebaikan dan
mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah. Sahabat adalah generasi
pertama setelah nabi yang diserukan didalam ayat ini, maka merekalah yang pertama
masuk dalam golongan ini karena mereka bersama Nabi ketika turunnya wahyu.[15]
وكذلك جعلنكم امة وسطالتكونوا شهداء على الناس
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kaum (umat islam) umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia” (Al-Baqarah
: 143).[16]
Kami menjadikan kaum umat pilihan supaya kelak pada hari
kiamat menjadi saksi atas segenap manusia, dan kata wasathan pada surat ini berarti pilihan dan terbaik dan para
sahabat termasuk dalam golongan orang yang dimasukkan dalam ayat ini dalam
posisi yang diprioritaskan dan lebih utama karena mereka adalah orang-orang
yang pertama yang dibicarakan dalam ayat ini. Sebagaimana menurut
kesepakatan para ahli tafsir dan hadits. Dan kita bisa melihat didalam
al-Qur’an banyak sekali ayat yang menerangkan tentang keimanan para sahabat
yang dinyatakan sekitar 70 kali.
Dengan penegasan 2 ayat tersebut maka telah ditetapkan
bahwa para sahabat Rasulallah SAW. adalah umat yang paling utama, paling adil
dan paling dapat dipercaya, hal ini ditegaskan oleh Ibnu Abdil Barr dalam
mukadimah Al-Istiab, dan dijelaskan oleh Al-Allamah As-Safarini dalam
penjelasan Aqidah Ad-Durrah Al-Mudhi’ah berpendapat mayoritas umat menyatakan
bahwa para sahabat itu manusia paling utama setelah Nabi.[17]
Adapun
nash-nash dari hadits yang menerangkan keadilan dan keutamaan sahabat adalah :
1.
Hadits dari Imran bin Husain
عن عمران بن حصين رضي الله عنه ان النبي صل
الله عليه وسلم قال : خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين
يلونهم, الخي
Diriwayatkan dari Imam Imran bin Husain bahwa
Nabi SAW bersabda : “Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian masa
setelahnya kemudian masa setelahnya”.[18]
2.
Hadits dari Abu Said
Al-Khudziri
عن
ابي سعيد الخذري رضي الله قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم : لاتسبوا اصحابي
فوالذي نفسي بيدي لوانفق احدكم مثل ايّ ذهبا مابلغ مدّ احدهم ولا نصيفه
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudziri berkata
: Rasulallah SAW bersabda : “Janganlah kamu mencari para sahabatku demi dzat
yang jiwaku berada ditangannya, seandainya salah seorang diantara kamu
menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai satu Mud
salah seorang dari mereka tidak pula setengahnya”.
(HR. Bukhari Muslim)[19]
Hadits ini menetapkan bahwasannya para sahabat telah
mencapai derajat yang tinggi disisi Allah dibanding orang-orang setelah mereka,
sekalipun amal kebaikannya orang-orang itu setara dengan gunung Uhud, itu tidak
akan menyamai amal kebaikan para sahabat walaupun hanya satu mud atau
setengahnya.
3.
Hadits dari Abu Musa
Al-Asy’ari
عن
ابي موسى الاشعري رضي الله قال : قالرسول الله النجوم امنة السماء فاذا ذهب النجوم
التي السماء ما توعد . وانا امنة لاصحابي , فاذا ذهبت التب اصحابي ما يوعدون,
واصحابي امنة لامتي فاذا ذهب اصحابي التي امتي ما يوعدون.
“Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata : Rasulallah
bersabda : bintang-bintang itu penjaga langit, jika bintang-bintang itu sirna
maka datanglah apa yang telah ditetapkan bagi langit, aku sebagai penjaga para
sahabatku, maka jika aku pergi, datanglah apa yang telah ditentukan bagi para
sahabatku, dan sahabatku sebagai penjaga bagi umatku, jika para sahabatku telah
pergi maka datanglah apa yang telah ditentukan bagi umatku”.[20]
Ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits-hadits Nabi diatas telah menjamin keadilan dan integritas kepribadian
para sahabat Nabi. Menurut Ar-Rozi, mereka adalah sahabat-sahabat Rosulallah
yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dan takmil, memahami semua
ajaran yang disampaikan Allah kepada Rosul-Nya. Allah telah menjadikan mereka
sebagai teladan bagi umat. Pendapat ini didukung pula oleh Ibnu Hajar
Al-Haitami, Ibnu Hazm, Al-Ghazali, dll.
Sebagian kecil Ulama’
berpendapat bahwa semua sahabat, seperti semua periwayat yang lain, harus diuji
‘Adalah nya. Para sahabat itu tidak
berbeda dari manusia lainnya dalam hal ketidakmustahilannya berbuat salad an
alpa, kejujuran mereka belum secara umum seperti kaidah pendapat jumhur :
(sahabat semuanya adil), tetapi secara perorangan, karena tingkat pengetahuan,
penguasaan terhadap agama dan kemampuan mereka tidak sama, jadi bila ada
sahabat yang meriwayatkan hadits dari Rosulallah maka keadilannya harus
diteliti untuk menerima atau tidak hadits tersebut.[21]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sahabat
secara etimologi adalah bentuk dari kata “ash-suhbah” (persahabatab), yang
tidak mengandung pengertian persahabatan dalam ukuran tertentu, tetapi untuk
orang yang menyertai orang lain, sedikit ataupun banyak. Sama seperti kata
“mukallim” , “Mukhatib” dan “Dharib” berasal dari bentuk “Mukalamah”
(pembicaraan), “Mukhatabah” (ceramah), dan “Dharib” (pukulan), dan berlaku
untuk siapa saja yang melakukan hal-hal itu, sedikit atau banyak. Dan demikian
pula dengan kata-kata bentukan dari kata kerja lainnya.
Orang yang bertemu dengan Nabi tapi belum
memeluk islam, tidaklah dipandang sahabat. Orang yang semasa dengan Nabi dan
beriman kepadanya, tetapi tidak menjumpainya, seperti Najasi, atau menjumpai
Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib khuwailid bin Khalid Al-Hadzali
juga tidak dipandang sahabat
Dalam kajian ilmu hadits terdapat ketentuan
bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits yang diriwayatkan oleh
rawi yang adil. Maka dalam hal ini sifat adil merupakan dasar untuk menilai
validitas hadits. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwasannya adil dianggap
sebagai pokok atau rukun dalam periwayatan.
B.
Saran
Kami
selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah
ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman semua
agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amini. Nur Alam Khalil, 2008, Kedudukan Para Sahabat
dalm Islam, (Jakarta:
Cendikia,
Al-khathib. Muh. 2009, ‘Ajjaj, Ushul
Al-Haditsi ‘Ulumuhu wa musthalahuhu Beirud : Dar Al-Fikr,
Al-Maraghi. Musthafa, 1997. Tafsir Al-Maraghi Beirud: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah,
al-suyuthi. Jalaluddin abu al-fadhl, Abd rahman, 2006, Tadribu Al-Rawi (Beirud : Dar Al-Fikr,
Bukhari, 1994, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar Al-Fikr, juz 2
Bukhori, 2006 , Shahih Bukhori,Beirud : Dar Al-Fikr,
Departemen Agama, 1997, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra,
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997, Ensiklopedi
Islam, Jakarta : Ihtiar Baru Van Hoeve
ma’luf. Luis, 1977, Al-munjid fi
Al-Lughah, Beirud : Dar Al-Masyriq,
Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Dar Al-Fikr
Rahman. Fathur, 1974, Ikhtisar
Mushtholahatul Hadits, Bandung: Al-Ma’arif,
Sya’roni. Usman, 2002. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta: Pustaka Firdaus,
Thohhan. Mahmud, 2006. Taisiru mushthalahil
Hadits, Beirud: Dar Al-Fikr,