wanita dalam pandangan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran dan kedudukan perempuan menjadi pembahasan di setiap zaman. Peran dan kedudukan perempuan sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga pandangan masyarakat terhadap perempuan yang terbagi atas tiga fase yaitu fase menghinakan, fase mendewakan, fase menyamaratakan.
Pada fase menghinakan perempuan dianggap seperti hewan bahkan lebih rendah. Perempuan dianggap menjijikkan, hina dan diperjualbelikan di toko, pasar-pasar, dan warung-warung. Perempuan dianggap pelayan laki-laki. Pada fase mendewakan perempuan dipuja-puja, dimuliakan tetapi untuk memuaskan hawa nafsu berahi kaum lelaki. Pada fase menyamaratakan wanita diberi kebebasan seluas-luasnya tanpa terikat pada batasan baik norma adat maupun agama. Wanita harus memiliki hak dan peran yang
sama dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
sama dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Dalam kenyataan perempuan berbeda dengan laki-laki terutama dalam struktur anatominya. Secara fisik perempuan dan laki-laki berbeda. Secara biologis perempuan dilengkapi dengan alat-alat reproduksi sehingga dapat berperan sebagai ibu mampu mengandung dan melahirkan anak, sedangkan laki-laki tidak memiliki potensi untuk itu.
Dengan perbedaan ini tentunya perempuan dan laki-laki memilki kedudukan dan tugas atau peran yang saling melengkapi. Oleh karena itulah penulis mencoba mengupas Peran dan kedudukan perempuan dalam pandangan Islam. Karena yang berhak menentukan peran dan kedudukan perempuan adalah sang pencipta perempuan itu sendiri, yang telah mengutus rasul Muhammad dan menurunkan kitab Al-Quran sebagai petunjuknya bagi manusia supaya ber-Islam ( berserah diri ).
B. Batasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak melebar, dan memuat bahasan yang tidak relevan maka penulis membatasi diri hanya akan membahas bagian-bagian tertentu. Bahasan ini akan terfokus kepada beberapa bahsan, diantaranya.
1. Hakikat Perempuan
2. Perempuan sebelum datangnya islam
3. Perempuan setelah datangnya islam, dan
4. Bahasan yang relevan lainnya.
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk:
1. Khasanah keilmuan
2. Bahan pengetahuan buat calon pendidik
3. Sumbangan wawasan untuk para wanita sebagai calon pendidik bagi anak-anaknya.
4. Untuk melengkapi tugas mata kuliah Masa’ilul Fiqh, yang dibimbing oleh Ibu: Desrayeli, MA.
BAB II
PEMBAHASAN
WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Hakikat Perempuan
Orang Yang Mengkaji Literatur sejarah islam akan menmukan banyak petikan indah sejarah kehidupan orang-orang beriman kepada Allah dan berpgang teguh kepada sunnah nabinya, baik dalam ucapan, perbuatan maupun kondisi kesehariannya. Perilaku mereka telah mengaliri panggung kehidupa ini dengan limpahan kebijakan, keikhlasan, dan kedermawanan.[1] Mereka itu adalah ummat beriman laki-laki atau perempuan, trutama perempuan yang kebanyakan orang menganggap sebagai kaum lemah.
Perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Sabda Rasulullah:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرً[2]
Artinya: siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka jangan menyakiti tetangganya. Bernasihatlah kepada perempuan dengan cara yang baik, sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya, jika engkau paksakan untuk meluruskannya maka dia akan patah, dan jika engkau biarkan dia, maka selamanya dia akan selalu bengkok, maka bernasihatlah kepada perempuan dengan baik.(H.R. Bukhori).
Perempuan ada untuk melengkapi yang tak ada dalam laki-laki : perasaan, emosi, kelemahlembutan, keluwesan, keindahan, kecantikan, rahim untuk melahirkan, mengurusi hal-hal yang kadang dianggap sepele. Hingga ketika kamu tidak mengerti hal-hal itu, dialah yang akan menyelesaikan bagiannya. Sehingga tanpa kita sadari ketika menjalankan sisa hidupnyan laki-laki menjadi lebih kuat karena kehadiran perempuan di sisinya. Jika ada makhluk yang sangat bertolak belakang, kontras dengan lelaki, itulah perempuan. Jika ada makhluk yang sanggup menaklukkan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan.
Ia tidak butuh argumentasi hebat dari seorang laki-laki, tetapi ia butuh jaminan rasa aman darinya karena ia ada untuk dilindungi, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosi. Ia tidak tertarik kepada fakta-fakta yang akurat, bahasa yang teliti dan logis yang bisa disampaikan secara detail dari seorang laki-laki, tetapi yang ia butuhkan adalah perhatiannya, kata-kata yang lembut, ungkapan-ungkapan sayang yang sepele, namun baginya sangat berarti, membuatnya aman di dekatmu. Batu yang keras dapat terkikis habis oleh air yang luwes, sifat laki-laki yang keras ternetralisir oleh kelembutan perempuan. Rumput yang lembut tidak mudah tumbang oleh badai dibandingkan dengan pohon yang besar dan rindang, seperti juga di dalam kelembutannya di situlah terletak kekuatan dan ketahanan yang membuatnya bisa bertahan dalam situasi apapun.
Ia lembut bukan untuk diinjak, rumput yang lembut akan dinaungi oleh pohon yang kukuh dan rindang. Jika lelaki berpikir tentang perasaan perempuan, itu sepersekian dari hidupnya. Tetapi jika perempuan berpikir tentang perasaan lelaki, itu akan menyita seluruh hidupnya. Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki- laki, karena perempuan adalah bagian dari laki-laki, apa yang menjadi bagian dari hidupnya, akan menjadi bagian dari hidupmu. Keluarganya akan menjadi keluarga barumu, keluargamu pun akan menjadi keluarganya juga. Sekalipun ia jauh dari keluarganya, namun ikatan emosi kepada keluarganya tetap ada karena ia lahir dan dibesarkan di sana. Karena mereka, ia menjadi seperti sekarang ini. Perasaannya terhadap keluarganya, akan menjadi bagian dari perasaanmu juga, karena kamu dan dia adalah satu, dia adalah dirimu yang tak ada sebelumnya. [3]
B. Perempuan Sebelum Datangnya Islam
1. Bangsa Yunani
Bangsa Yunani terkenal memiliki peradaban dan kebudayaan yang maju pada masanya. Sayangnya, sejumlah fakta mengungkap bahwa perempuan pada sistem kemasyarakatan bangsa Yunani tidak memiliki tempat yang layak. Bahkan kaum lelaki saat itu mempercayai bahwa perempuan merupakan sumber penyakit dan bencana. Sehingga mereka memposisikan perempuan sebagai makhluk yang rendah. Ini bisa dilihat ketika para lelaki menerima tamu, para perempuan saat itu hanya dijadikan pelayan dan budak semata. Bahkan, perempuan tidak boleh disejajarkan dalam satu meja makan dengan kaum pria.
Beberapa perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, tak banyak memberikan keuntungan bagi perempuan. Nafsu syahwat dijadikan dasar diberikannya kebebasan bagi kaum perempuan atau dengan kata lain kebebasan yang diberikan hanya sebatas kebebasan seksual semata. Maka tak heran bila pada zaman itu banyak perempuan yang menjadi pelacur. Perempuan pezina saat itu justru dianggap memiliki kedudukan yang tinggi. Para pemimpin Yunani berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mendekati mereka. Perempuan saat itu, dipandang hanya sebagai komoditas yang bisa dikuasai oleh siapapun. Lelaki boleh memiliki dan menguasai perempuan tanpa melalui ikatan pernikahan yang suci.
Kerendahan sikap masyarakat Yunani hingga merekayasa cerita yang bernuansa seksual. Salah satu kisah yang berkembang adalah cerita tentang Dewa Asmara Cupid yang merupakan hasil hubungan gelap Dewi Aphrodite dengan salah seorang manusia. Padahal, sang dewi merupakan istri dari salah satu dewa. Dari cerita seperti inilah, masyarakat Yunani tidak lagi peduli dan mengindahkan norma pernikahan.
2. Hindhu dan China
Begitu pula Hindu dan China, mereka memperlakukan wanita dengan sadis dan memperihatinkan. Seorang istri harus rela di bakar-hidup hidup, sebagai bukti kesetiaan terhadap sang suami. Ternyata, ini masih di praktekan oleh sebagian rakyat India sampai saat ini.[4]
3. Bangsa Arab Jahiliyah
Kedudukan wanita di jaman jahiliah Kehidupan wanita di jaman jahilian yaitu di arab dan di dunia secara umum, adalah di dalam kehinaan dan kerendahan. Khususnya di bumi arab , para wanita dibenci kelahiran dan kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka, adalah awal dari kematian mereka. Para bayi wanita yang dilahirkan di masa itu segera di kubur hidup-hidup di bawah tanah. Kalaupun para wanita dibiarkan untuk terus hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan.
Firman Allah
#sŒÎ)ur äoyŠ¼âäöqyJø9$# ôMn=Í´ß™ ÇÑÈ Äd“r'Î/ 5=/RsŒ ôMn=ÏGè% ÇÒÈ
Artinya: Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa Apakah Dia dibunuh. (Q. S. At-Takwir. 8-9).[5]
Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.
4. Bangsa Romawi
Kaum lelaki pada masa itu, memiliki hak mutlak terhadap keluarganya. Ia bebas melakukan apa saja terhadap istrinya, bahkan diperbolehkan membunuh istri mereka dalam keadaan tertentu. Meski peradaban Romawi mengalami perkembangan, namun tetap saja perempuan berada dalam posisi yang hina; sebagai pemuas nafsu lelaki saja. Meski perempuan mendapatkan kebebasan, bentuknya hanya sebatas bebas menikah dengan lelaki mana saja. Tak pelak bila perceraian pada masa itu jumlahnya sangat besar, ditemukan dalam banyak kasus penyebabnya sangat sepele.[6]
Sebuah fakta terungkap oleh Kardinal Gerum bahwa ada seorang perempuan yang tanpa merasa berdosa dan malu telah menikah untuk ke-23 kalinya. Di saat yang sama, ia menjadi istri ke-21 dari suaminya yang terakhir. Bentuk yang saat itu menjadi trend adalah pementasan teater dengan menampilkan perempuan telanjang sebagai obyek cerita. Selain itu, masyarakat itu juga memiliki tradisi mandi bersama, antara para lelaki dan perempuan di muka umum. Tentu saja, kedua kebiasaan itu mendudukkan posisi perempuan
C. Perempuan Sesudah Datangnya Islam
1. Islam Memuliakan Perempuan
Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap wanita pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang wanita layaknya seorang lelaki, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
Artinya: Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…” (Q.S.Al-Hujurat: 13)[7]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً[8]
Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (Q.S.An-Nisa`: 1)
Sebagaimana wanita berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ[9]
Artinya: “Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (Q.S.An-Nahl: 97)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan wanita dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para wanita secara paksa.” (Q.S.An-Nisa`: 19)
Dalam masalah pernikahan, Allah Subhanahu wa Ta’ala membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ[10]
Artinya:“Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (Q.S.An-Nisa`: 19)
2. Wanita di hadapan Hukum Syariat
Syariat Islam yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa wanita adalah insan yang mukallaf sebagaimana lelaki. Wanita wajib bersaksi tidak adanya sesembahan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia harus menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan berhaji bila ada kemampuan. Ia wajib beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman akan datangnya hari akhir dan beriman dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang baik ataupun yang buruk semuanya ditetapkan oleh-Nya. Wajib pula bagi wanita untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seakan-akan ia melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak bisa menghadirkan yang seperti ini, maka ia harus yakin Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu melihatnya dalam seluruh keadaannya, ketika sendiri ataupun bersama orang banyak.
Wanita juga harus melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar semampunya, melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Ia pun diperintah untuk berhias dengan akhlak mulia seperti jujur, amanah, dan adab-adab Islam lainnya.
Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada lelaki ini tidak lain bertujuan untuk memuliakan wanita dan mengantarkannya kepada derajat keimanan yang lebih tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah pemuliaan bagi si hamba, bila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bukankah di balik beban syariat itu ada pahala yang dijanjikan dan kenikmatan abadi yang menanti…?[11]
Perlu diketahui, sekalipun wanita memiliki kedudukan yang sama dengan lelaki dalam hukum syariat, namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita. Di antaranya:
1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya.
2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian lelaki,
3. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ[12]
Artinya: “Kaum lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa`: 34)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti ini tatkala sampai berita kepada beliau bahwa penduduk Persia menobatkan Buran, putri Kisra, sebagai ratu mereka. Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak bolehnya seorang wanita memimpin sesuatu pun dari hukum-hukum yang bersifat umum di kalangan muslimin.[13]
Namun, walaupun demikian, Rasulullah sendiri memuliakan kedudukan dalam rumah tangga, yang berperan sebagai pemimpin di dalam rumah suaminya. Sebagaimana sabda Rasulullah:
والمرأة راعية في بيت زوجها[14]
Artinya: Dan perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya. (H.R. Bukhori. Dari Abdullah Ibn Umar).
Agama islam sangat memuliakan perempuan sebagai makhluk allah dan juga sebagai ibu dari sekalian orang yang beriman, bahkan Rasulullah juga dengan tegas menyebutkan, bahwa “ seorang anak terletak di bawah telapak kaki ibunya” dengan artian bahwa seorang anak wajib berbakti kepada ibinya. Dan dengan jelas, perempuan dimasa kini sangat berbeda dengan perempuan pada zaman primitif dan zaman jahiliyah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Agama islam sangat memuliakan perempuan sebagai makhluk allah dan juga sebagai ibu dari sekalian orang yang beriman, bahkan Rasulullah juga dengan tegas menyebutkan, bahwa “ seorang anak terletak di bawah telapak kaki ibunya” dengan artian bahwa seorang anak wajib berbakti kepada ibinya. Dan dengan jelas, perempuan dimasa kini sangat berbeda dengan perempuan pada zaman primitif dan zaman jahiliyah.
Pembebanan syariat atas wanita sebagaimana kepada lelaki ini tidak lain bertujuan untuk memuliakan wanita dan mengantarkannya kepada derajat keimanan yang lebih tinggi. Karena, pemberian beban syariat kepada seorang hamba hakikatnya adalah pemuliaan bagi si hamba, bila ia melaksanakannya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
wanita memiliki kedudukan yang sama dengan lelaki dalam hukum syariat, namun ada beberapa kekhususan hukum yang diberikan kepada wanita. Di antaranya:
1. Wanita tidak diwajibkan mencari nafkah untuk keluarganya.
2. Dalam warisan, wanita memperoleh setengah dari bagian lelaki,
3. Wanita tidak boleh memimpin laki-laki,
B. Saran
Mari sama-sama memperbaiki diri kita, untuk kebahagiaan dimasa mendatang. Dan atas tulisan ini, penulis sangat menharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tulisan ini dimasa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Abi jamroh , 2005. hasyiah ala mukhtashor ibn abi jamroh lil bukhori. Haromain.
Al-Hasyimi. Sayyid Ahmad, Mukhtarul hadis. Haromain.
Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya. Surakarta: CV Al-Hanan.
Jum’ah. Syaikh Ahmad Khalil, 2011. Nisa’u Mubasysyarotu bil Jannah, (alih bahasa: Haris Firdaus dan Abu Aditya: Wanita-wanita Mulia yang Dijamin Surga). Jakarta: Rumah Buku.
Muhammad Bin Ismail, Subulussalam Ala Syarhi Bulughul Maram. Bandung, Penerbit Diponegoro. Juz VI.
[1] Syaikh Ahmad Khalil Jum’ah, Nisa’u Mubasysyarotu bil Jannah, (alih bahasa: Haris Firdaus dan Abu Aditya: Wanita-wanita Mulia yang Dijamin Surga), (Jakarta: Rumah Buku, 2011), h. ix
[2] Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Mukhtarul hadis, (Haromain), h. 22
[5] Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya, (Surakarta: CV Al-Hanan)
[7] Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya, (Surakarta: CV Al-Hanan)
[8] Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya, Ibid.
[9] Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya, Ibid.
[10] Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya, Ibid.
[12] Depertemen agama, Qur’an dan Terjamahnya, Ibid.
[13] Muhammad Bin Ismail, Subulussalam Ala Syarhi Bulughul Maram, (Bandung, Penerbit Diponegoro), Juz VI, h. 190
[14] Abi jamroh , hasyiah ala mukhtashor ibn abi jamroh lil bukhori, (Haromain, 2005), h. 69