menu melayang

FILSAFAT ILMU


BAB I
PENDAHULUAN
Dalam makalah ini akan memaparkan tentang cabang-cabang dalam filsafat, yang pertama disebut landasan ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?. Kedua
disebut dengan landasan epistimologis; berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu seseorang dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Sedang yang ketiga, disebut dengan landasan aksiologi; landasan ini akan menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[1]

A.   Ilmu dan Pengetahuan
Sebelum masuk ke dalam pembahasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi, perlu kiranya dijelaskan apa yang dimaksud dengan Ilmu dan Pengetahuan.
Menurut Ahmad Tafsir, “orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mengalami sedikit kebingungan tatkala menghadapi kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab kata “al- ‘ilm” berarti pengetahuan (knowledge), sedangkan kata ilmu dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan dari science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian dari al- ‘ilm dalam bahasa Arab. Karena itu menurut beliau kata science sebaiknya diterjemahkan sain saja. Alasan beliau adalah supaya orang yang mengerti bahasa Arab tidak bingung membedakan ilmu (sain) dengan kata al- ‘ilm yang berarti knowladge.[2]
Tawaran yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir menurut penulis tidaklah terlalu penting, karena pembedaan antara ilmu dalam bahasa Arab dengan ilmu dalam bahasa Indonesia sudah lazim diketahui.
Kata sain atau ilmu dalam bahasa Indonesia memiliki bermacam defenisi. Di antara defenisi tersebut ialah apa yang dikemukakan oleh Mohammad Nasir dalam bukunya:
1.     Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematik, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil tertentu menurut kaidah yang umum”
2.     Ilmu adalah pengetahuan yang sudah dicoba dan diatur menurut urutan dan arti serta menyeluruh dan sistematik.[3]
Dari dua defenisi di atas dapat diketahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang sudah teruji dan dapat diterima secara umum.
Sementara pengetahuan sendiri adalah semua yang diketahui.[4] Semua hal yang diketahui baik dilakukan secara sadar maupun tidak, artinya pengetahuan bukanlah mesti didapat dengan cara belajar, karena proses perjalanan hidup akan membuat seseorang memperoleh bermacam pengetahuan dengan sendirinya.
Pengetahuan diperoleh karena adanya rasa ingin tahu, dan apa yang diketahui setelah itu disebut sebagai pengetahuan.[5]
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa secara mendasar, ilmu dan pengetahuan memeliki esensi yang berbeda, di mana ilmu adalah sesuatu yang sudah diketahui secara umum dan memiliki kaedah-kaedah tertentu dan sudah teruji, sementara pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui baik secara sadar maupun tidak dan tidaklah mesti teruji, karena ia juga lahir dari pengalaman yang belum tentu orang yang satu dengan yang lain memiliki pengalaman yang berbeda. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan lebih bersifat umum, atau dapat disebut juga bahwa ilmu atau sain bagian dari pengetahuan.

B.    Pengertian Ontologi
Ontologi merupakan salah satu kajian filsafat yang pling kuno yang berasal dari Yunani. Sasarannya adalah segala hal yang keberadaannya kongkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan.[6] Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.
Sasaran kajian ontologi adalah segala sesuatu yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu. Berdasarkan obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk pengetahuan lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu. Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.[7] 
Berbeda dengan Kattsoff, ia menyatakan bahwa masalah ontologi terdiri dari hakikat “yang ada” dan hakikat kenyataan. Adapun hakikat eksistensi merupakan bidang garapan filsafat alam (kosmologi). [8]
Sementara Amsal Bakhtiar memberikan gambaran yang mirip mengenai ontologi, yaitu “Ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak”.[9]
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu.
Pokok tinjauan Plato adalah mencari pengetahuan tentang pengetahuan. Ia bertolak dari ajaran gurunya Sokrates yang mengatakan “budi ialah tahu”. Budi yang berdasarkan pengetahuan menghendaki suatu ajaran tentang pengetahuan dasar filosofi. Pertentangan antara pikiran dan padangan menjadi ukuran bagi Plato. Pengertian yang mengandung di dalamnya pengetahuan dan budi, yang dicarinya bersama-sama Sokrates, pada hakekatnya dan asalnya berlainan sama sekali dari pemandangan. Sifatnya tidak diperoleh dari pengalamanan. Pemandangan hanya alasan untuk menuju pengertian. Ia diperoleh oleh usaha akal sendiri.[10]
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?” yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan manusia tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir maka saya ada). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ontologi merupakan dasar pemikiran filsafat.
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan keberadaan, yaitu:

1.     Monisme; yang mempercayai bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada adalah satu saja, baik yang asa itu berupa materi maupun ruhani yang menjadi sumber dominan dari yang lainnya. Para filosof pra-Socrates seperti Thales, Demokritos, dan Anaximander termasuk dalam kelompok Monisme, selain juga Plato dan Aristoteles. Sementara filosof Modern seperti I. Kant dan Hegel adalah penerus kelompok Monisme, terutama pada pandangan Idealisme mereka.
2.     Dualisme; kelompok ini meyakini sumber asal segala sesuatu terdiri dari dua hakikat, yang spirit dan jasad. Asal yang materi berasal dari yang ruh, dan yang ruh berasal dari yang materi. Descartes adalah contoh filosof Dualis dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3.     Pluralisme; kelompok ini berpandangan bahwa hakikat kenyataan ditentukan oleh kenyataan yang jamak/berubah-ubah. Filosof Klasik, Empedokles, adalah tokoh Pluralis yang mengatakan bahwa kenyataan tersusun oleh banyak unsur (tanah, air, api, dan udara). Tokoh Pragmatisme, William James juga seorang Pluralis yang berpendapat karena pengalaman kita selalu berubah-ubah, maka tidak ada kebenaran hakiki kecuali kebenaran-kebenaran yang selalu diperbarui oleh kebenaran selanjutnya.
4.     Nihilisme; kelompok Nihilis diprakarsai oleh kaum Sofis di era Klasik. Mereka menolak kepercayaan tentang realitas hakiki. Realitas, menurut mereka adalah tunggal sekaligus banyak, terbatas sekaligus tidak terbatas, dan tercipta sekaligus tidak tercipta. Selain tokoh Sofis, Friedrich Nietzsche adalah tokoh filosof Eropa yang sangat bernuansa Nihilisme, hingga ia meniadakan keberadaan Tuhan “Allah sudah mati”
5.     Agnostisisme; pada intinya Agnostisisme adalah paham yang mengingkari bahwa manusia mampu mengetahui hakikat yang ada baik yang berupa materi ataupun yang ruhani. Aliran ini juga menolak pengetahuan manusia tentang hal yang transenden. Contoh paham Agnostisisme adalah para filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre yang juga seorang Ateis. Sartre menyatakan tidak ada hakikat ada (being) manusia, tetapi yang ada adalah keberadaan (on being)-nya.[11]

C.   Pengertian Epistemologi
Ontologi berupaya secara reflektif tentang “yang ada”. Adapun epistemologis membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian, filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi seluruh pengetahuan manusia.
1.     Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme” berarti pengetahuan (knowledge),”logos” berarti teori. Dengan demikian epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan.[12] Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld (dalam Mohammad Noor Syam), mendefinisikan epistomologi sebagai “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying the truth to his student”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai “epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”.[13]
Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa:
1.       Hakikat itu ada dan nyata;
2.       kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;
3.       hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;
4.       manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya, dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia. 
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (obyek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti:
1.     Dari manakah saya berasal?
2.     Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
3.     Apa hakikat manusia?
4.     Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?
5.     Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
6.     Mana pemerintahan yang benar dan adil?
7.     Mengapa keadilan itu ialah baik?
8.     Pada derajat berapa air mendidih?
9.     Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan menyadari bahwa: Hakikat itu ada dan nyata dan Hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami. Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran terhadap obyek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indera mencapai hakikat dan mencerap obyek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indera. Semua persoalan ini dibahas dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Pokok Bahasan Epistemologi dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan.
Dalam Epistemologi terdapat beberapa cakupan yang dalam hal ini, ada dua poin penting akan dijelaskan:
1.     Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus. ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi. Terdapat tiga persoalan pokok dalam epistomologi yaitu:
a.      Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang?
b.     Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang real di luar akal dan kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini adalah problem penampilan (appearance) terhadap realitas.
c.      Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah persoalan menguji kebenaran (verivication).[14]
2.     Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan di bidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya penginderaan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
3.     Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal model-model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme. Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.[15] Berikut adalah aliran-aliran dalam epistemologis.
1.     Rasionalisme
Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596 – 1650), yang membedakan adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia lahir, adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous ideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza (1632-1677), Leibniz (1666-1716).
2.     Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi pengalaman. Tokohnya antara lain:
a.      John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhana yang kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
b.     David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume berpendapat bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi-sensasi sederhana atau ide–ide yang kompleks dibentuk dari kombinasi ide-ide sederhana atau kesan–kesan yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20.
3.     Realisme
Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-obyek yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda kongkrit atau dalam proses-proses perkembangannya. Dunia yang nyata adalah dunia yang kita cerap. Bentuk (form) atau idea atau prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan. Kemudian aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru dengan tokoh George Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran idealisme, subjektivisme dan absolutisme. Menurut realisme baru : eksistensi obyek tidak tergantung pada diketahuinya obyek tersebut.
4.     Kritisisme
Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan, mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal merupakan pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Kant mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme.
5.     Positivisme
Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte,yang memiliki pandangan sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dkelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:
a.      Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh tahyul-tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan.
b.     Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan kenyataan akan tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta.
c.      Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan hukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada tahap ini pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta.[16]
6.     Skeptisisme
Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu atau menyesatkan. Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman diakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).
7.     Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, antara lain: C.S Pierce (1839- 1914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu hal tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh mengenai akibat yang dapat kita saksikan[17]

Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.

D.   Landasan Aksiologi Ilmu
Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak bebas nilai, sebab nilai-nilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.

1.     Makna Aksiologi Ilmu
Makna aksiologi ilmu bisa diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Aksiologi ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia.[18]

2.     Hakikat dan Makna Nilai
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: orang dapat mengatakan bahwa:[19]
a.      Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan “subjektivitas”.
b.     Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu
Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melaui akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
c.      Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan
Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam makna, diantaranya:[20]
a.      Mengandung nilai (artinya berguna)
b.     Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)
c.      Mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu)
d.     Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).

3.     Kegunaan dan Nilai Ilmu
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi.
Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Ada pertentangan sengit yang dilontarkan oleh  kaum ilmuwan dan humanis. Kalangan humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting, antara lain: untuk apa ilmu digunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tentunya tidak berarti bahwa perkembangan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang gerak prospek ilmu pengetahuan hendaknya dibatasi.
Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keimuan suatu pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada pada manusia itu sendiri. Jadi fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran aksiologis.
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah  berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?[21]
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan menjadi penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.

E.    Penutup
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan diidentifikasi menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan yang tidak bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh manusia disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa diukur secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengan kata lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah sebaliknya.
Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak. Jika tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh orang lain.
Secara garis besar, dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan ada dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah. Pengetahuan secara ilmiah bukan berarti lebih benar dari pengetahuan secara tidak ilmiah. Pembagian ini hanya didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh pengetahuan tersebut.
Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan obyektif.
Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini terlepas dari kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau untuk merusak diri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Burhanudin, S., Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997)
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991)
Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, (Jakarta : Tintamas, 1980)
Louis, O Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)
Muhadjir, Noeng, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif. (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 2001)
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001)
Nasir, Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999)
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan. (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-Ruzz Media, 2007)
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Syam, Mohammad Noor., Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan, (Surabaya: Pancasila Usaha Nasional, 1984)
Tafsir, Ahmad, Filsafa Ilmu; Mengurai Ontolog, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004)
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rosdakarya: 2004)
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2000)
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat, 2000)
Zainun Kamal, Ibn Taimiyah vs Para Filosof, (Jakarta : RajaGrafindo, 2006)


[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu

Back to Top

Cari Artikel

Pengunjung Bulan Ini

x
x
Sebelum Download File Mari Berdonasi Dulu
Konfirmasi
x
Sebelum Download File Mari Berdonasi Dulu