A. PENDAHULUAN
Manusia
merupakan makhluk historis. Hakekat manusia sendiri adalah sejarah, suatu
peristiwa yang bukan semata-mata datang. Hakekat manusia hanya dapat dilihat
dalam perjalanan sejarah bangsa manusia. Menurut Sastrprateja bahwa apa yang
kita peroleh dari pengamatan atas pengalaman manusia adalah suatu rangkaian antrhropological
constants yaitu dorongan-dorongan dan orientasi yang tetap dimiliki
manusia.[1] Dengan demikian hubungan
manusia dengan sesuatu yang dianggap kodrati (supernatural) memang memiliki
latar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang.[2]
Sejarah juga
menyebutkan bahwa manusia melakukan berbagai upaya untuk kelangsungan hidupnya.
Ketika mengalami
ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam mengenal dirinya sendiri dan
menghadapi fenomena alam lainnya. Pada saat itulah manusia sadar akan
kekurangan dan ketidakdigdayaannya dan menyerahkan diri pada kemahakuasaan
Tuhan sebagai zat yang menguasai alam semesta. Disini manusia memiliki suatu
perasaaan keagamaan yang patuh pada kekuatan supernatural, yang dalam bahasa
agamawan mendefenisikan manusia sebagai makhluk beragama.[3]
Para agamawan
dari berbagai agama memperkuat hubungan tersebut. Berdasarkan informasi kitab
suci, hubungan manusia dengan zat yang adikodrati ini digambarkan sebagai
hubungan antara makhluk ciptaan dan Sang Pencipta. Dan hubungan ini sudah ada
sejak manusia, yaitu Adam AS, karenanya hubungan manusia dengan Tuhan menurut
pandangan agamawan adalah hubungan yang bersifat kodrati, bukan hasil rekayasa
yang bersifat artifialis.
Menurut Yahya
Jaya bahwa kerasulan Nabi Muhammad SAW merupakan upaya untuk mendidik dan
mengajar manusia, membersihkan dan mensucikan jiwanya, memperbaiki dan
menyempurnakan akhlaknya, serta membina kehidupan mental spritual keagamaan
manusia.[4] Dengan demikian, manusia
beragama juga disebabkan adanya pengutusan nabi-nabi sebagai penyampai risalah
keagamaan kepada manusia. Di samping itu, manusia beragama juga merupakan
kewajiban yang harus diemban. Sesuai dengan firman Allah, yaitu ;
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS.
Adz-Dzarriyat : 56).[5]
Psikologi
sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan
kegunaannya. Dengan demikian, psikologi yang diakui sebagai disiplin yang
mandiri sejak tahun 1879 ini ternyata telah memperlihatkan berbagai
sumbangannya dalam memecahkan berbagai problema dan menguak misteri hidup
manusia serta mengupayakan peningkatan sumber daya manusia.[6] Sehingga psikologi
berkembang dengan berbagai cabang sesuai dengan kepentingan pada bidang
masing-masing.
Perkembangan
psikologi akhirnya juga mempunyai keterkaitan dengan masalah-masalah yang
menyangkut kehidupan batin manusia yang paling dalam, yaitu agama. Mengingat
agama melakukan hubungan dengan Tuhan dalam bentuk pola-pola perasaan dan
manusia selalu mengungkapkan imannya dalam bentuk-bentuk ritual religius. Maka
para ahli psikologi kemudian mulai menekuni studi khusus tentang hubungan
antara kesadaran agama dan tingkah laku agama.[7] Kajian-kajian khusus
mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini sejak awal abad ke-19 menjadi
kian berkembang, sehingga para ahli psikologi yang bersangkutan melalui karya
mereka telah membuka lapangan baru dalam kajian psikologi, yaitu psikologi
agama. Sebagaimana latar belakang perkembangan cabang-cabang lainnya dari
psikologi, maka psikologi agama pun kemudian mulai mendapat perhatian khusus,
hingga menjadi disiplin ilmu yang otonom dengan nama psikologi agama.[8]
Dari
kenyataan yang ada, para psikolog mencoba melihat hubungan kehidupan beragama
dari sudut pandang psikologi. Menurut mereka hubungan manusia dengan
kepercayaannya ikut dipengaruhi dan juga mempengaruhi faktor kejiwaannya.
Sehingga jiwa keberagamaan manusia perlu mendapat perhatianya serius oleh
berbagai pihak.
B. AGAMA DAN PSIKOLOGI
AGAMA
Psikologi agama
merupakan paduan dua kata, yaitu psikologi dan agama. Dua kata mempunyai
pengertian yang berbeda. Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang
artinya jiwa, dan logos yang artinya ilmu.
Dengan demikian
psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa.[9] Pengertian agama
berdasarkan asal kata, yaitu al-Din, religi (relegere, religare) dan agama.
Al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa
Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan
dan kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Latin) atau relegere berarti
mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun
kata agama terdiri dari kata a yang berarti tidak dan gam yang
berarti pergi, dengan demikian agama berarti tidak pergi, tetap di tempat atau
diwarisi turun-temurun.[10]
Pengertian
agama secara istilah banyak para ahli mengungkapkannya, namun banyak para ahli
belum mempunyai kesepakatan untuk merangkumkan definisi agama, karena agama sebagai
bentuk keyakinan memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Kesulitan
mengungkapkan defenisi tersebut bukan berarti agama sama sekali tidak dapat
dipahami melalu pendekatan definitif. Hal ini mungkin karena belum adanya
kesepakatan para ahli untuk merangkumkan definisi agama tersebut.
Harun
Nasution mengungkapkan pengertian agama adalah ;
1. Pengakuan terhadap
adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap
adanya kekuatan yang menguasai manusia.
3. Mengikat diri pada
suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di
luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.
4. Kepercayaan pada
suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku (code
of conduct), yang berasal dari sesuatu kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan
gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan
misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[11]
Sedangkan pengertian psikologi agama pada
mulanya sering terjadi kesulitan dalam memberi batasan yang jelas dan tegas
terhadap istilah Psikologi agama. Kesulitan ini terjadi karena terdapat dua (2)
aspek substansial ilmu yang terkandung dalam ilmu ini, yakni ilmu jiwa dan
agama. Sudah dimaklumi, keduanya memiliki karakteristik berbeda dan sulit
dipertemukan. Psikologi atau ilmu jiwa memiliki sifat “teoritik empirik dan
sistematik”,[12] sementara agama bukan merupakan “ilmu pengetahuan
atau saintifik”. Agama merupakan suatu aturan yang menyangkut cara-cara
bertingkahlaku, berperasaan, berkeyakinan, dan beribadah secara khusus. Agama menyangkut
segala sesuatu yang semua ajaran dan cara melakukannya berasal dari Tuhan,
bukan hasil karya dan hasil fikir manusia.[13] Sebaliknya, psikologi merupakan hasil karya dan
hasil pemikiran manusia. Psikologi
menyangkut manusia dan lingkungannya.Agama bersifat transenden.
Sementara psikologi bersifat profan.
Oleh karena itu, psikologi tidak bisa
memasuki wilayah ajaran agama. Psikologi dengan watak profannya, sangat terikat dengan pengalaman dunia
semata, sementara agama merupakan urusan Tuhan yang tidak terikat dengan
pengalaman hidup manusia.
Di sinilah letak permasalahan “timbulnya
konflik” pada awal kemunculan disiplin
psikologi agama. Tentu timbulnya konflik tersebut karena kurangnya pemahaman
yang benar terhadap hakekat psikologi agama.[14] Yang perlu dipahami,
merumuskan sebuah definisi suatu ilmu yang mencakup dua substansi “ilmu” yang
berbeda watak tentu tidak mudah. Bila rumusan definisi keliru, bisa jadi akan
menimbulkan kesan “penggerogotan” terhadap wilayah ajaran agama yang suci. Barangkali
atas alasan inilah, perkembangan kajian psikologi agama hingga saat ini belum
sepesat kajian ilmu pengetahuan lainnya.
Untuk mengetahui bagaimana pengertian
psikologi agama yang “benar”, berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian
menurut para pakarnya. Menurut Zakiah Daradjat,[15] psikologi agama adalah
ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau
mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut cara berfikir,
bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku yang tidak terpisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan itu masih dalam konstruk kepribadiannya. Menurut
Jalaluddin dan Ramayulis,[16] psikologi agama merupakan
ilmu yang khusus mengkaji sikap dan tingkah laku seseorang yang timbul dari
keyakinan yang dianutnya berdasarkan pendekatan psikologi. Di samping itu,
Ramayulis juga mengungkapkan bahwa psikologi agama hanya mampu meneliti
mengenai bagaimana sikap batin seseorang terhadap keyakinannya kepada Tuhan,
hari kemudian, dan masalah ghaib lainnya. Juga bagaimana keyakinan tersebut
mempengaruhi penghayatan batinnya, sehingga menimbulkan berbagai perasaan
seperti tenteram, tenang pasrah dan sebagainya. Walaupun demikian psikologi
agama tidak sampai mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang diyakini seseorang.[17]
Sedangkan Thouless[18] membatasi, bahwa
psikologi agama merupakan ilmu jiwa yang
memusatkan perhatian dan penelitiannya pada perilaku keagamaan dengan
mengaplikasikan prinsip-prinsip psikologi yang diambil dari studi tingkah laku
non-relegius.
Dari ketiga rumusan pengertian psikologi
agama tersebut ditemukan beberapa catatan penting, yang selanjutnya dapat
digunakan untuk melacak “bagaimana hakekat ilmu ini?”.
Pertama, psikologi agama menitikberatkan pada “aspek
pengaruh”, karenanya, ada yang menyebut psikologi agama sebagai ilmu pengaruh,
yakni ilmu yang mempelajari “sikap dan perilaku seseorang sebagai hasil
pengaruh keyakinan atau kepercayaan agama yang dianutnya”. Kedua,
psikologi agama mengkaji “proses” terjadinya pengaruh tersebut. Psikologi agama
mengkaji bagaimana proses terjadinya pengaruh suatu kepercayaan atau keyakinan
dalam menumbuhkembangkan jiwa keagamaan seseorang. Ketiga, psikologi
agama mengkaji “kondisi” keagamaan seseorang. Bagaimana terjadinya kemantapan
dan kegoncangan jiwa dalam keberagamaannya juga menjadi obyek kajian penting
psikologi agama. Tiga ranah itu yang menjadi kajian pokok psikologi agama.
Bila dicermati dari ketiga kajian
pokoknya, maka jelas bahwa psikologi agama tidak menyentuh keyakinan atau
kepercayaan agama seseorang. Psikologi agama hanya meneliti “seberapa besar
atau kecil pengaruh keyakinan terhadap sikap dan perilakunya”, “bagaimana
proses terjadi”, dan “bagaimana kondisi jiwa keberagamaan seseorang”. Psikologi
agama tidak menyentuh “ajaran agama dan atau keyakinan seseorang”. Ini berarti,
psikologi agama tidak berhak “mendukung, membenarkan, menolak atau menyalahkan
ajaran, keyakinan, atau keimanan seseorang”.
Ungkapan seperti itu dapat ditemukan dalam
pengertian Jalaluddin, dan juga Thouless, karena keduanya menyatakan, kajian
psikologi agama mengarah pada aplikasi prinsip-prinsip psikologis perilaku
keagamaan seseorang. Pendapat kedua tokoh sekaligus mempertegas, bahwa obyek
kajian psikologi agama bukan ajaran agama, melainkan tiga aspek sebagaimana
disebut di atas, yang oleh Zakiah diringkas menjadi dua aspek, yaitu, kesadaran
keagamaan (religious consciousness) dan pengalaman keagamaan (religious
experience).
Kesadaran keagamaan diartikan sebagai
bagian atau segi yang hadir dalam pikiran yang pengujiannya dapat dilakukan
melalui metode instrospeksi. Juga dapat dikatakan, kesadaran keagamaan adalah
aspek mental dan aktifitas keagamaan seseorang. Sementara pengalaman keagamaan
diartikan sebagai perasaan yang membawa pada keyakinan yang dihasilkan oleh
tindakan.
Dengan demikian dapat dipahami, psikologi
agama adalah ilmu psikologi yang menekankan kajiannya pada pengaruh, proses
kejiwaan, dan bentuk-bentuk kemantapan atau kegoncangan dalam kehidupan keberagamaan
seseorang. Psikologi agama merupakan studi psikologi dalam kaitannya dengan
kehidupan keagamaan seseorang dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip
psikologi. Bagaimana bentuk pengaruh ajaran keagamaan, bagaimana terjadinya
proses pembentukan suasana kejiwaan, dan bagaimana pula bentuk-bentuk
kepribadian keagamaan seseorang dikaji dengan tetap bertopang pada
prinsip-prinsip psikologi.
Dengan
demikian, psikologi agama dengan berbagai teorinya mampu mengungkap bagaimana
sikap batin seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya.
Agama sebagai
sebuah ajaran yang dianut oleh manusia mempunyai berbagai perintah yang harus
dilaksanakan oleh penganutnya, dan berbagai larangan yang harus ditinggalkan
oleh penganutnya. Manusia sebagai makhluk yang mempunyai unsur fisik dan
psikis, tentunya dalam melaksanakan ajaran agama tersebut mempunyai
pengalaman-pengalaman tersendiri dan sangat banyak mempunyai permasalahan
dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Karena gejala keberagamaan yang terdapat
pada bangsa manusia adalah gejala yang bersifat evolusi. Keberagamaan manusia
tidaklah terlepas dari zaman serta kebudayaan. Oleh karena itu berbagai
pengalaman agama dengan sikap dan tingkah laku penganutnya merupakan objek
kajian psikologi agama.
C. OBJEK KAJIAN PSIKOLOGI
AGAMA
Psikologi agama sebagai
sebuah ilmu mempunyai objek kajian, yang membedakan dengan ilmu-ilmu lainnya.
Walaupun mempunyai tujuan yang sama dengan beberapa disiplin ilmu yang lain,
namun pada objek kajian inilah yang membedakan suatu ilmu dengan ilmu yang
lain.
Zakiah Daradjat
mengemukakan bahwa lapangan penelitian psikologi agama mencakup proses
beragama, perasaan, dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat-akibat
yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Oleh karena itu, menurut Zakiah
Darajdat, ruang lingkup yang menjadi lapangan kajian psikologi agama meliputi
kajian mengenai;
1. Bermacam-macam emosi yang
menjalar di luar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa
(umum), seperti rasa lega dan tenteram sehabis sembahyang, rasa lepas dari
ketegangan batin sesudah bedoa atau membaca ayat-ayat suci, perasaan tenang,
pasrah, dan menyerah setelah berzikir, dan ingat kepad Allah ketika mengalami
kesedihan dan kekecewaan yang bersangkutan.
2. Bagaimana perasaan
dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa
tenteram dan kelegaan batin.
3. Mempelajari, meneliti
dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat)
pada tiap-tiap orang.
4. Meneliti dan
mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan
dengan surga dan neraka, serta dosa dan pahala yang turut memberi pengaruh
terhadap sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan.
5. Meneliti dan
mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat untuk
kelegaan batinnya.
Lebih lanjut
Zakiah Daradjat mengungkapkan bahwa semua ruang lingkup di atas tercakup dalam
kesadaran beragama (religious counsciosness) dan pengalaman agama (religious
experience). Kesadaran agama maksudnya adalah bagian/segi agama yang hadir
(terasa) dalam pikiran, yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama.
Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama,
yaitu perasaan agama yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh
tindakan (amaliah). Karenanya psikologi tidak mencampuri segala bentuk
permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang
benar dan salahnya atau masuk akal atau tidaknya keyakinan agama.[19]
Dengan
demikian psikologi agama mencakup tentang gejala-gejala psikis manusia yang
berkaitan dengan tingkah laku keagamaan dan proses hubungan antara psikis
manusia dan tingkah laku keagamaannya. Di samping itu psikologi agama juga
membatasi dari merambah terlalu jauh pada bentuk dan ajaran agama/keyakinan
tertentu. Sebagai cabang dari psikologi umum, psikologi agama sekadar
menggambarkan tingkah laku keagamaan sebagai ekspresi dari adanya keyakinan
agama.
Sebagaimana
diketahui bahwa psikologi agama sebagai salah satu cabang dari psikologi juga
merupakan ilmu terapan. Psikologi agama sejalan dengan ruang lingkup kajiannya
telah banyak memberi sumbangan dalam memecahkan persoalan kehidupan manusia
dalam kaitannya dengan agama yang dianutnya. Sehingga hasil kajian agama dapat
dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
D. LATAR BELAKANG MANUSIA
BERAGAMA
Agama dan
beragama punya sejarah panjang sepanjang sejarah masyarakat dan manusia itu
sendiri. Manusia yang memiliki akal, nafsu, perasaan dan nurani. Agama
ditemukan hampir di setiap masyarakat, bahkan di setiap individu. Secara
sosiologis, masyarakat dan manusia dalam menganut agama atau beragama punyai
ciri-ciri mempercayai sesuatu yang diagamakannya secara fanatis, mensakralkan
sesuatu, percaya kepada yang gaib.[20]
Karena punya
sejarah panjang dan ditemukan di setiap masyarakat dengan berbagai macam
budayanya, beragama adalah suatu fenomena sosial yang sangat beragam dan
kompleks. Beragam karena banyak agama yang sudah dan sedang berkembang di
dunia. Dengan demikian gejala agama yang terdapat pada bangsa manusia adalah
gejala yang bersifat evolusi.
Keberagamaan
manusia tidaklah terlepas dari zaman serta kebudayaan. Religiositas itu
cukup dipengaruhi oleh pola kebudayaan. Pada kebudayaan kuno, keberagamaan
dianggap sebagai sesuatu yang biasa, spontan dan vital. Kehidupan sendirilah
yang membuka pintu kea rah religiositas. Lain halnya kebudayaan modern zaman
kini. Terutama di Barat keberagamaan tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang
ada dngan sendirinya. Religiositas dan khususnya sepengalam religius, telah
menjadi sebuah soal.[21]
Agama merupakan
salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang yang
merindukan ketentraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan
dan ketaqwaan kepada Allah tidak akan terpenuhi kecuali dengan agama.[22]
Manusia
sebagai makhluk yang mempunyai unsur jasmani dan rohani. Kedua unsur tersebut
mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia. Unsur jasmani menyangkut
kebutuhan biologis, seperti makan, minum, tidur, dan sebagainya. Sedangkan
untuk memenuhi kebutuhan rohani, manusia perlu melakukan upaya agar unsur
rohani tersebut terpenuhi kebutuhannya. Salah satunya kebutuhan untuk
mendapatkan rasa senang, tenteram, damai dan bahagia.
Di samping
itu, manusia juga mempunyai rasa takut, cemas, dan harap. Dan ketika manusia mengalami
ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam mengatasi problem dalam dirinya, maka
saat itu manusia sadar akan kekurangan dan ketidakdigdayaannya dan menyerahkan
diri pada kemahakuasaan Tuhan sebagai zat yang menguasai alam semesta. Sehingga
manusia memiliki suatu perasaaan keagamaan yang patuh pada kekuatan
supernatural, yang dalam bahasa agamawan mendefenisikan manusia sebagai makhluk
beragama.
Dalam ajaran
Islam manusia sebagai makhluk yang mempunyai kebutuhan rohani dan juga disebut
sebagai makhluk psikis dan memiliki potensi dasar, yaitu fitrah akal dan kalbu.
Potensi ini menempatkan manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi
dibandingkan makhluk-Nya yang lain. Nilai psikis sebagai al-insan al-bayan yang
dipandu wahyu Ilahiyah akan membantu manusia dalam membentuk dirinya sesuai
dengan nilai-nilai insaniah yang terwujud dalam perpaduan iman dan amalnya.[23] Sehingga untuk membentuk
nilai-nilai psikis bagi manusia perlu mendapatkan bimbingan agama dengan
berpedoman wahyu.
E. PERAN AGAMA DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA
Sebagaimana
diungkapkan bahwa agama merupakan sesuatu yang telah ada semenjak manusia itu
ada. Sejarah agama seiring dengan sejarah manusia. Agama dalam artian sempit
merupakan sebuah kepatuhan, kebiasaan yang ada secara turun-temurun atau juga
bisa disebut sebagai relasi dengan Tuhan sebagaimana dihayati manusia.[24] Di
samping itu manusia juga mempunyai naluri untuk tunduk dan patuh kepada
kekuatan yang melebihinya. Sebagaimana diungkapkan oleh Bustanuddin Agus bahwa masyarakat
dan manusia dalam menganut agama atau beragama punyai ciri-ciri mempercayai
sesuatu yang diagamakannya secara fanatis, mensakralkan sesuatu, percaya kepada
yang gaib.[25]
Dengan demikian manusia mempunyai naluri untuk mempercayai dan menksakralkan
sesuatu. Sehingga beragama merupakan salah satu kebiasaan yang ada pada
manusia, atau bisa dikatakan bahwa beragama merupakan salah satu kebudayaan
yang ada manusia.
Kebutuhan beragama
bagi manusia juga dilatarbelakangi oleh rasa takut, cemas, dan harap, serta
adanya ketidakmampuan dan keterbatasannya dalam mengatasi problem dalam
dirinya, maka saat itu manusia sadar akan kekurangan dan ketidakdigdayaannya
dan menyerahkan diri pada kemahakuasaan. Sehingga manusia memiliki suatu
perasaaan keagamaan yang patuh pada kekuatan supernatural, yang dalam bahasa
agamawan mendefenisikan manusia sebagai makhluk beragama. Dengan demikian
antara naluri keberagamaan dan kebutuhan yang ada pada manusia, maka agama
merupakan sesuatu yang harus dan selalu ada pada kehidupan manusia. Oleh karena
itu, ketergantungan agama pada manusia tentunya mempunyai peran-peran tertentu
dalam kehidupan manusia.
Di samping itu,
bahwa apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan manusia itu bukan hanya terbatas
pada kebutuhan makan, minum, pakaian ataupun kenikmatan-kenikmatan lainnya.
Berdasarkan hasil riset dan observasi, mereka mengambil kesimpulan bahwa pada
diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang universal. Kebutuhan ini melebihi kebutuhan-kebutuhan
lainnya, bahkan kebutuhan akan akan kekuasaan. Keinginan akan kebutuhan
tersebut merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan
dicintai Tuhan.[26]
Dalam ajaran Islam beragama merupakan
bagian dari fitrah manusia. Dengan kata lain, bahwa naluri beragama ini
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penciptaan manusia. Rasa
keberagamaan ini merupakan naluri yang bersifat baku yang akan manjadikan
seseorang merasa membutuhkan akan Pencipta Yang Maha Pengatur.
Manusia
mempunyai kesadaran dan kelakuan yang bersifat intensional, maka kesadaran dan
kelakuan dalam agama juga bersifat demikian. Oleh karena itu agama dan manusia
tidak bisa dipisahkan dalam kehidupannya. Di samping itu dalam Islam bahwa
manusia yang beragama adalah makhluk yang mengikuti naluri atau fitrahnya
sebagai manusia.
Walaupun
begitu pentingnya agama bagi kehidupan manusia, adakalanya agama tampak tidak
relevan pada masa sekarang adalah karena banyak di antara kita tidak lagi
memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang ghaib. Kultur ilmiah kita telah
mendidik kita untuk memusatkan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material
yang hadir di hadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti ini memang telah
membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita,
sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang “spiritual”
atau “suci” seperti yang melingkupi kehidupan masyarakat yang lebih tradisional
pada setiap tingkatannya dan yang dahulunya merupakan bagian esensial
pengalaman manusia tentang dunia.[27] Oleh karena itu,
pentingnya beragama tetap saja dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan kualitas
keberagamaan seseorang.
F. HUBUNGAN AGAMA
DENGAN PSIKOLOGI AGAMA
Ajaran Islam
memiliki hubungan yang erat dan mendalam dengan ilmu jiwa dalam soal pendidikan
akhlak dan pembinaan mental spritual. Keduanya sama-sama bertujuan untuk mencapai kesejahteraan jiwa dan
ketinggian akhlak manusia.[28]
Psikologi
agama merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang membahas tentang agama.
Psikologi agama bukan ilmu yang mengkaji tentang persoalan-persoalan agama,
tetapi mengkaji bagaimana keberagamaan manusia dari sudut psikologi. Sehingga
kedua-duanya mempunyai hubungan yang erat dalam pengkajiannya. Sebaliknya dalam
kaitannya dengan persoalan-persoalan agama, psikologi agama tidak sampai
menyentuh bidang khusus yang menjadi lapangan penelitian ilmu-ilmu agama.
Psikologi agama tidak menyinggung persoalan yang menyangkut masalah aqidah atau
pokok-pokok keyakinan suatu agama. Demikian pula masalah yang berkaitan dengan
kepercayaan yang ghaib, seperti Tuhan dan sifat-sifatNya. Surga dan neraka
dengan latar belakang kehidupan di dalamnya. Selain masalah tersebut sudah
menjadi lapangan penelitian ilmu-ilmu agama yang khusus, juga masalah itu bukan
menjadi wewenang psikologi agama sebagai ilmu yang profane. Masalah-masalah
aqidah dan yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap yang ghaib bagaimanapun
berada di luar kemampuan empiris.[29]
Dalam
hubungan dengan masalah tersebut, psikologi agama hanya mampu meneliti mengenai
bagaimana sikap batin seseorang terhadap keyakinannya kepada Tuhan, hari
kemudian, dan masalah ghaib lainnya. Juga bagaimana keyakinan tersebut
mempengaruhi penghayatan batinnya, sehingga menimbulkan berbagai perasaan
seperti tenteram, tenang pasrah dan sebagainya. Walaupun demikian psikologi
agama tidak sampai mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang diyakini
seseorang.[30]
Walaupun
antara agama dan psikologi agama mempunyai keterkaitan, tetap saja keduanya
tidak mempunyai hubungan yang erat. Karena keterkaitan tersebut hanya
disebabkan manusia sebagai obyek utama pengkajiannya. Agama yang dianut oleh
manusia juga menjadikan manusia sebagai objek utamanya. Sedangkan psikologi
agama yang mengkaji tentang jiwa keberagamaan manusia juga menjadikan manusia
sebagai obyek utamanya. Keterkaitan yang tidak erat tersebut karena pada
dasarnya psikologi agama hanya mengkaji dan meneliti rasa keberagamaan manusia.
Psikologi agama tidak sampai mengkaji salah dan benarnya manusia beragama dan
hanya menggambarkan apa adanya tentang keberagamaan manusia dan tidak masuk
dalam ranah pembahasan urgennya shalat, do’a-do’a yang maqbul, atau tatacara
yang baik dalam haji serta praktek-praktek ritual keagamaan lainnya.
Di samping
itu, agama (khususnya agama Islam) tidak menyebutkan secara implisit tentang
hubungan yang erat antara agama dan psikologi agama. Adanya sinyal-sinyal
psikologi agama dalam Islam hanya dianalisa oleh para ahli tentang sejarah
beragama Nabi SAW, para sahabat dan sufi-sufi terdahulu. Melalui kajian empiris
ini, agama sebetulnya hanya “memberikan kesempatan” bahwa kajian-kajian
psikologi agama itu ada, namun tidak secara mendetail.
G. RELEVANSI CAKUPAN
PSIKOLOGI AGAMA DENGAN KEHIDUPAN KEBERAGAMAAN MANUSIA
Cakupan
kajian psikologi agama dibatasi dengan
dua istilah yang sering dipakai, yaitu kesadaran beragama (religious
counsciosness) dan pengalaman agama (religious experience). Menurut
Zakiah Daradjat, kesadaran agama maksudnya adalah bagian/segi agama yang hadir
(terasa) dalam pikiran, yang merupakan aspek mental dari aktivitas agama.
Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama,
yaitu perasaan agama yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh
tindakan (amaliah). Karenanya psikologi tidak mencampuri segala bentuk
permasalahan yang menyangkut pokok keyakinan suatu agama, termasuk tentang
benar dan salahnya atau masuk akal atau tidaknya keyakinan agama.[31]
Bagaimanapun
abstraksnya bidang yang menjadi lapangan penelitian ilmu jiwa agama, namun
aspek-aspek yang dipelajari itu prosesnya dapat diamati sebagai pendorong bagi
seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan keyakinan yang
dianutnya. Secara individual,
baik kesadaran agama maupun pengalaman agama dapat mempengaruhi seseorang. Kita
dapat melihat bagaimana seseorang yang mampu hidup tenang, sabar dan bahagia
sebagai refleksi dari keyakinan agamanya. Keluar dari sikapnya sifat sederhana,
suka menolong, berbudi luhur, cinta kepada sesama makhluk dan sebagainya
sebagai cerminan sikap agamanya.
Sebaliknya
dalam kehidupan masyarakat yang didasarkan oleh keyakinan agama, tak jarang
dijumpai suatu kehidupan yang mencerminkan kesetiakawanan dan solidaritas
kelompok yang kuat. Para anggota masyarakat yang memiliki rasa agama berusaha
menampilkan sikap hidup yang luhur dan terpuji. Hidup gotong royong dan saling
membantu sesamanya. Setiap anggota merasa menjadi bagian dari masyarakat, berat
sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Sehingga psikologi agama yang mengkaji
jiwa keberagamaan manusia, tetap relevan dengan keberagamaan manusia pada
setiap zamannya. Karena sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi agama tetap saja
mempunyai inovasi-inovasi sesuai dengan hasil penelitian para ahlinya.
H.
KESIMPULAN
1. Beragama merupakan salah
satu jalan bagi manusia untuk menemukan sesuatu yang tidak bisa dicapai olehnya
sendiri. Manusia membutuhkan bantuan kekuatan supernatural untuk mengatasi
berbagai problem yang ada dalam kehidupannya.
2. Psikologi agama merupakan
salah satu cabang dari psikologi yang mengkaji bagaimana jiwa keberagamaan
manusia yang mencakup kesadaran beragama (religious counsciosness) dan
pengalaman agama (religious experience). Psikologi agama hanya mengkaji
bagaimana jiwa keberagamaan manusia, tidak sampai pada ranah mempersoalkan
kenapa manusia melakukan praktik-praktik dan tertentu dalam agama.
3. Psikologi agama mampu
membimbing dan menghayati rasa keberagamaan manusia sebagai makhluk yang
beragama. Dengan adanya
pengkajian psikologi agama dapat menjadi pedoman dalam hidup beragama bagi
manusia.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Agama RI, Departemen, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bandung : CV. Diponegoro, 2006
Agus, Bustanuddin, Sosiologi
Agama, Padang : Universitas Andalas, 2003
Amstrong, Karen, A History of
God, The 4000 Year Quest of Judaizm, Christianity and Islam, terj. Zainul Am,
Sejarah Tuhan : Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi,
Kristen dan Islam selama 4000 Tahun Silam, Bandung, Mizan, 2001
Ancok, Djamaluddin, Psikologi
Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1994
Daradjat, Zakiah, Ilmu
Jiwa Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1970
..............Pendidikan
Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta : Bulan Bintang, 1982
Dister, Nico Syukur, Pengalaman
dan Motivasi Beragama, Pengantar Psikologi Agama, Jakarta : LEPPENAS, 1982
Fauzi, Ahmad, Psikologi
Umum, Bandung : Pustaka Setia, 1997
Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. VIII
Jaya, Yahya, Spritualisasi
Islam ; Dalam
Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, Jakarta : Ruhama, 1993
Leahey, Thomas H., A History of Modern Psychology, New
Jersey: Prentice Hall International, Inc., 1991
Nasution, Harun, Filsafat
Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1974
Ramayulis, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2008
……………., Psikologi Agama,
Jakarta : Kalam Mulia, 2004
Ramayulis, Jalaluddin dan, Pengantar Ilmu Jiwa
Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 1996
Thouless, Robert H., An Introduction to Psychology
of Religion, Cambridge: The Cambridge University Press, 1979
Zed, Mestika, Metode Penelitian
Kepustakaan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2004
[1]Naskah Asli Dapat Dipesan Via email di buku tamu