BAB I
PENDAHULUAN
Muamalah dalam arti luas adalah
aturan hukum Allah untuk mengatur manusia dalam kaitanya dengan urusan duniawi
dalam pergaulan sosial,sedang muamalah dalam pengertian sempit menurut rasyid
ridha, muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dari
cara-cara yang telah di tentukan persamaan muamalah dalam arti sempit dan dalam
arti luas adalah sama sama mengatur hubungan manusia dengam manusaia yang lain
dalam kaitan dengan pemutaran harta.
Karena metode yang sering digunakan dalam muamalah adalah syirkah dan
mudharabah, sesuai juga dengan silabus yang dipercayakan kepada pemakalah oleh
dosen pengampu mata kuliah fiqh muamalah maka pemakalah mencoba menyajikan
pembahasan tentang syirkah. Dalam makalah ini pemakalah membahas mulai dari
pengertian macam-macam bentuknya, rukun syarat, hukum serta beberapa
permasalahan yang sering terjadi dalam masalah syirkah tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
SYIRKAH
A.
Pengertian
Syirkah
dari segi bahasa adalah ( al ikhtilath) yaitu penggabungan dua harta atau lebih
menjadi satu bagian utuh. Sedang menurut Istilah syari’, makna syirkah
adalah hak kepemilikan suatu hal (yaitu kerjasama dalam usaha atau
sekedar kepemilikan suatu benda) oleh dua orang atau lebih sesuai prosentase
tertentu.[1]
Syirkah secara bahasa adalah
masdar dari شاركyaituشارك – شـــارك – شركا - شركة yang berarti penyatuan dua dimensi atau lebih menjadi satu
kesatuan. Kata ini juga berarti bagian yang bersyarikat. Syirkah menurut bahasa
berarti Al-Ikhtilath atau khalatha ahada minal malaini yang
artinya adalah campur atau percampuran dua harta menjadi satu. Demikian
dinyatakan oleh Taqiyudin, yang dimaksud dengan percampuran di sini adalah
seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin
untuk dibedakan.[2]
Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib, yang dimaksud dengan syirkah ialah:
“Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang
masyhur (diketahui)”.[3]
Sedangkan
Abdurrahman I. Doi, seorang ulama kontemporer menjelaskan bahwa syirkah (partnership)
adalah hubungan kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bentuk bisnis
(perniagaan) dan masing-masing pihak akan memperoleh pembagian keuntungan
berdasarkan penanaman modal dan kerja masing-masing peserta.[4]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqie, bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah:
عُقْدٌ بَيْنَ شَخْصَيْنِ فَأَكْثَرَ
عَلَى الْتعَاوْنِ فِى عَمَلٍ اِكْتِسَابِىٍّ وَاقْتِسَامِ اَرْبَاحِهِ
“Akad yang berlaku antara dua
orang atau lebih untuk ta’awun dalam bekerja pada suatu usaha dan membagi
keuntungannya”.[5]
Menurut Idris
Ahmad menyebutkan syirkah sama dengan syarikat dagang, yakni dua orang
atau lebih sama-sama berjanji akan bekerja sama dalam dagang, dengan
menyerahkan modal masing-masing, dimana keuntungan dan kerugiannya
diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.[6]
Sehingga dapat di pahami bahwa yang di maksud syirkah adalah kerja sama antara
dua orang atau lebih dalam berusaha, yang keuntungan dan kerugikannya
ditanggung bersama. Yang paling ditekankan dalam syirkah yaitu asas kejujuran
karena bertapapun, halini berhubungan dengan bisnis suatu kerjasama dalam usaha
tertentu, hal ini juga telah dicontohkan oleh nabi dengan hadistnya :
حَدَّ ثَنَ مُحَمَّدُ بن سُلُيمان
المَصِيْصِي عن مُحَمَّدالزَبْرِقانَ عن ا بي حَيَّانَ التيْمِي , عن ابيْهِ , عن
ابي هُرَيْرَة َرَفَعَهُ قال : انَا ثَلاِث ُالشَريْكيْنِ مَا لمْ يَخُنْ
اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإذ خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
"Telah bercerita kepada kami
Muhammad bin Sulaiman Al- Mashishi dari Muhammad Al-Zabriqan dari Abi Hayyana
Al-Taimi dari ayahnya dari Abi Hurairah telah berkata Rasulullah : Aku
adalah yang ke tiga dari dua orang yang bersekutu selama salah ssatu diantara
keduanya tidak berkhianat terhadap lainnya dan apabila mereka berkhianat aku
keluar dari mereka" (HR : Abi Daud)
Hadist ini di
sebutkan di dalam kitab hadist sebanyak empat kali yaitu di dalam kitab sunnah
Abi Daud (3383), Al-Hakim (52) jus 2, Ad-Daruqutni (303), dan Al-Baihaqi (78)
jus 6, tetapi kami hanya mengambil di dalam kitab sunnah Abi
Daud.
Dari hadist diatas
menjelaskan bahwa serikat itu adalah kerja sama atau perseroan dalam hal bisnis
baik antara dua belah pihak maupun lebih dari dua orang انَا
ثَلاِث ُالشَريْكين,gambaran yang diberikan oleh
hadist diatas adalah implikasi yang harus diutamakan dalam syirkah adalah
kejujuran, maka tidak boleh ada perkhianayan antara kedua belah pihak.
Perkhianatan
yang dilakukan dapat merugikan pihak-pihak yang terkait, jika ada indikasi-indikasi atau telah terjadinya
pengkhianatan maka pihak yang berserikat dapat keluar dari perserikatas
tersebut.
Penjelasan yang
gamblang dari hadist tersebut mengisyaratkan kita untuk tidak melakukan
perkhianatan baik dalam hal modal maupun keuntungan, didalam Islam ini disebut
tindakan kezhaliman, sebagaimana firman allah:
"dan Sesungguhnya kebanyakan
dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain. (QS. Shaad : 24)
Pada dasarnya
prinsip yang dikembangkan dalam syirkah adalah prinsip keadilan dalam kemitraan
antara pihak yang terkait untuk meraih keuntungan prinsip ini dapat di temukan
dalam prinsip Islam ta’awun dan ukhuwah dalam sektor bisnis,
dalam hal ini syirkah merupakan bentuk kerjasama antara pemilik modal untuk
mendirikan suatu usaha bersama yang lebih besar, atau kerja sama antara pemilik
modal yang tidak memiliki keahlian dalam menjalankan usaha yang tidak memilki
modal atau yang memerlukan modal tambahan, bentuk kerja sama antara pemilik
modal dan pengusaha merupakan suatu pilihan yang lebih efektif untuk meningkatkan
etos kerja.
B.
Landasan
Syirkah
1. Al-Qur’an
Jauh sebelum syirkah
(terkonsier) banyak digalakkan orang-orang, Al-Qur’an sudah menentukan hukum
dari hal ini. Firman Allah
قَالَ
لَقَدۡ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعۡجَتِكَ إِلَىٰ نِعَاجِهِۦۖ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡخُلَطَآءِ
لَيَبۡغِي بَعۡضُهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
وَقَلِيلٞ مَّا هُمۡۗ وَظَنَّ دَاوُۥدُ أَنَّمَا فَتَنَّٰهُ فَٱسۡتَغۡفَرَ رَبَّهُۥ
وَخَرَّۤ رَاكِعٗاۤ وَأَنَابَ۩ ٢٤
Artinya:
“sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh
dan amat sedikitlah mereka ini”. (Q.S. Shad:24).[7]
2. As-Sunah
Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh
para ulama adalah sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abi Hurairah
dari Nabi Muhammad SAW bersabda : “aku jadi ketiga antara dua orang yang
berserikat selama yang satu tidak berkhianat kepada yang lainnya, apabila yang
satu berkhianat, kepada pihak yang lain maka keluarlah aku drinya”.
3. Ijma’
Umat
Islam sepakat bahwa syirkah dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat
tentang jenisnya.
C.
Rukun dan
Syarat Syirkah
Rukun syirkah
diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama’ Hanafiyah bahwa rukun syirkah
ada dua macam, yaitu ijab dan kabul, sebab ijab Kabul (akad) yang menentukan
adanya syirkah.[8]
Di dalam kitab
bidayatul mujtahid dijelaskan bahwa rukun syirkah ialah:
a. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan harta.
b. Mengetahui kadar harta yang akan
di serikatkan.
c. Mengetahui kadar harta dari dua orang yang berserikat.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah. Secara garis besar syarat dari
syirkah ialah harta dan aqad. Sedangkan menurut Hanafiyah dibagi
kepada empat bagian, yaitu:
1)
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya, dalam hal ini ada dua syarat, yaitu; a) yang berkenaan
dengan benda yang diakadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan, b)
yang berkenaan dengan keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak,
misalnya setengah, sepertiga dan yang lainnya.
2)
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta), dalam hal ini terdapat
dua perkara yang harus dipenuhi yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek
syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah,
b) yang dijadikan modal (harta pokok)ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
3) Sesuatu yang bertalian dengan
syarikat mufawadhah, bahwa dalam mufawadhah disyaratkan a) modal (pokok harta) dalam syirkah mufawadhah harus sama, b) bagi yang
bersyirkah ahli untuk kafalah, c) bagi yang dijadikan objek akad disyaratkan
syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.[9][7]
4) Adapun syarat-syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syirkah
mufawadhah.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang pertalian dengan orang yang melakukan akad
ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd)
D.
Pembagian
Pembagian terbagi atas dua macam yaitu syirkah
amlak (kepemilikan) dan ‘uqud (kontrak). Syirkah amlak adalah syirkah yang
bersifat memaksa dalam hukum positif, sedangkan syirkah uqud adalah yang
bersifat ikhtiyar (pilihan sendiri)
1. Syirkah Amlak
Syirkah amlak adalah dua orang atau lebih yang
miliki barang tanpa adanya akad. Syirkah ini ada dua macam:
a) Syirkah
sukarela (ikhtiyar) Yang muncul
karena adanya konrtak dari dua orang yang bersekutu.
b) Syirkah paksaan (ijbar) Syirkah yang
ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas perbuatan
keduanya , seperti dua orang mewariskan sesuatu, maka yang diberi waris menjadi
sekutu baginya.
2. Syirkah ‘Uqud
Merupakan bentuk transaksi yang terjadi antara
dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta dan keuntungannya. [10]
Menurut ulama Hanabilah, dibagi menjadi lima, yaitu:
a) Syirkah ‘inan: Persekutuan
antara dua orang dalam harta milik untuk berdagang secara besama, dan membagi
laba atau kerugian bersama.
b) Syirkah muwafidhah: Transaksi dua
orang atau lebih untuk berserikat dengan syarat memiliki kesamaan dalam jumlah
modal, penentuan keuntungan, pengolahan, serta agama yang dianut.
c) Syirkah abdan: Persekutuan dua
orang untuk menerima suatu pekerjaan yang akan dikerjakan secara bersama-sama.
Keuntungan dibagi dengan menetapkan persyaratan tertentu.
d) Syirkah wujuh: Bersekutunya
dua pemimpin dalam pandangan masyarakat tanpa modal, untuk membeli barang
secara tidak kontan dan menjualnya secara kontan, dan keuntungan dibagi denhgan
syarat tertentu.
e) Syirkah mudharabah.
E. Membatalkan Syirkah
Perkara yang membatalkan syirkah dibagi atas
dua hal, yaitu:
1.
Pembatalan Syirkah Secara Umum
a. Pembatalan dari
salah seorang yang bersekutu
b. Meninggalnya
salah seorang syarik
c. Salah seorang
syarik murtad atau membelot ketika perang
d. Gila
2.
Pembatalan Secara Khusus
a. Harta syirkah
rusak
Apabila harta syirkah rusak keseluruhan atau
harta salah seorang rusak sebelum dibelanjakanm stirkah batal.
b. Tidak ada
kesamaan Modal
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam syirkah
muwafidhah pada awal transaksi, perkongsian batal, sebab hal itu merupakan
syarat transaksi muwafidhah
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia
tidak dapat hidup sendirian, pasti membutuhkan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan. Ajaran Islam mengajarkan agar kita menjalin kerjasama dengan
siapapun terutama dalam bidang ekonomi dengan prinsip saling tolong-menolong
dan saling menguntungkan (mutualisme), tidak menipu dan tidak merugikan. Tanpa
kerjasama maka kita sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Syirkah
pada hakikatnya adalah sebuah kerjasama saling menguntungkan dalam
mengembangkan potensi yang dimiliki baik berupa harta atau pekerjaan. Oleh
karena itu Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja sama sesuai prinsip di
atas.
Hukum
syirkah sendiri adalah boleh (mubah/halal) sebagaimana kebolehan kita makan,
minum dan lain-lain sejauh tidak ada hal yang melarangnya (mengharamkannya di
dalam Qur’an maupun Sunnah).
]Demikian makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat
bagi pembaca. Pemakalah juga mengharapkan kritik dan saran serta
masukan yang membangun dari dosen pengampu dan seluruh audiens yang turut
bersama pemakalah dalam acara presentase
mempertanggung jawabkan isi makalah ini. Jika ada kesalahan atau kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, kami mohon maaf
sebesar-besarnya.
B.
Saran
Masukan dan
saran sangat diharapkan untuk kebaikan masalah ini dimasa mendatang
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah a-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,
Darul Haq, Jakarta, 2004
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Madzahib
al-Arba’ah, Dar al-Qalam, Beirut, t.t
Abdurrahman I. Doi, Shari’ah :
The Islamic Law, A. S. Noor Deen, Kuala Lumpur, 1990
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,
Bulan Bintang, Jakarta, 1984
Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah,
Karya Indah, Jakarta, 1986
Muhammad Syarbini Al-Katib, al-Iqna’ fi Hall al-Alfadz
Abi Syuja’, Dar al-Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, t.t
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut,
1977
Sritua Arief, Pembangunan dan
Ekonomi Indonesia; Pemberdayaan Rakyat dalam Arus Globalisasi, Wacana
Mulia, Bandung, 1998