BAB I
PEENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan
berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula.
Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang sangat lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah
merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan
penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh As-Sunnah secara
komprehensif, memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh
serta berkesinambungan.
Selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, terdapat pula
Ijtihad. Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda
pandangan, mengenai
pengertiannya secara istilah muncul belakangan, yaitu pada
massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan mempunyai
landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Melalui makalah yang kecil lagi
tipis ini, kami akan membahas mengenai As-Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber
ajaran Islam. Kami juga berusaha menjelaskan kepada pembaca sekelumit tentang
kedua perkara di atas, dan juga menjelaskan pentingnya pembahasan mengenai
kedua sumber hukum Islam tersebut. Secara
bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi
hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi
Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh,
membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang
berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir
yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian As-sunnah?
b.
Berapa macam-macam As-sunnah?
c.
Bagaiman kedudukan dan Fungsinya Terhadap Agama?
2. Batasan Masalh
a.
Pengertian As-sunnah
b.
Macam-macam As-sunnah
c.
Kedudukan dan Fungsinya Terhadap Agama
C. Tujuan Penulisan
Dari
latar belakang dan batasan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini
setidaknya mencakup beberapa hal, yaitu:
1.
Memperdalam pengetahuan tentang As-Sunnah
2.
Memperluas wawasan keislaman mengenai beberapa hal yang dapt
dijadikan sebagai sumber hukuym isalm
3.
Melengkapoi tugas perkuliahan.
BAB II
PEMBAHASAN
SUNNAH
A.
Pengertian Sunnah
Sunnah secara harfiyah berarti perjalanan, pekerjaan atau cara. Secara
terminologis, menurut hukum islam ialah segala perkataan, perbuatan dan
persetujuan nabi Muhammad e. [1]
Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan ataupun yang sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sunnah
menurut ahli ushul fiqh adalah “ segala yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan
hukum”.
Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh , di samping pengertian yang
dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu
hokum taqlifih, yang mengandung pengertian”perbuataan yang apabila dikerjakan
mendapat pahaladan apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa)”[2]
Atau terkadang dengan perbuatan, beliau menerangkan maksudnya, seperti
pelajaran shalat yang beliau ajarkan kepada mereka (para sahabat) secara
praktek dan juga cara-cara ibadah haji. Dan kadang para sahabatnya brbuat
sesuatu di hadiratnya atau sampai berita-berita berupa ucapan atau tindakan
mereka kepada beliau, tetapi hal ini tidak di ingkarinya, bahkan didiamkannya
saja, padahal beliau sanggup untuk menolaknya(kalau tidak dibenarkan) atau
nampak padanya setuju dan senang, sebagai mana diriwayatkan bahwa beliau tidak
mengingkari orang yang makan daging biawak di tempat makan beliau.[3]
B.
Macam-macam Sunnah
Pembagian hadist atau sunnah dapat didasarkan dari berbagai
pendekatan. Ada beberapa pendekatan yang biasa digunakan untuk menentukan
pembagian tersebut. Pembagian yang didasarkan pada pada pendekatan sumbernya.
Maksudnya darimana seumber ide dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan Raul
Allah tersebut. Berdasarkan pendekatan ini, maka Hadist dibagi menjadi: Hadist
Qudsi dan Hadist Nabawi.[4]
Hadist qudsi adalah hadist yang maknanya dari Allah dan lafazdnya
dari Rasul Allah e.[5]
Dan Hadist Nabawi maksudnya hadist dan makna lafasz kata-kata sepenuhnya
berasal dari nabi, hal ini dibagi kepada tiga macam: yaitu:
1) Sunnah Qauliyah
(perkataan): yaitu hadist yang bersumber dari perkataan Nabi SAW. Berisi
informasi yang menerangkan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum-hukum
agama dan maksud kandungan AL-Qur’an.
2) Sunnah Fi’liyah
(Perbuatan), yaitu hadist yang bersumber dari perbuatan Nabi SAW. Hadist Fi’liyah
ini merupakan informasi visual (gerak lakon yang dapat dilihat) dari
perbuatan ytang dalam melakukan perintah Allah, misalnya bewudu’, sholat,
puasa, zakat, haji, dan lain-lainnya. Contoh hadits fi’liyah
حدثنا
عبد الله بن مسلمة عن مالك عن ابن شهاب عن أبي أمامة بن سهل عن عبد الله بن عباس
رضي الله عنهما عن خالد بن الوليد : أنه دخل مع رسول الله صلى الله عليه و
سلم بيت ميمونة فأتي بضب محنوذ فأهوى إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم بيده
فقال بعض النسوة أخبروا رسول الله صلى الله عليه و سلم بما يريد أن يأكل فقالوا هو
ضب يا رسول الله فرفع يده فقلت أحرام هو يا رسول الله ؟ فقال ( لا ولكن لم يكن
بأرض قومي فأجدني أعافه ) . قال خالد فاجتررته فأكلته ورسول الله صلى الله عليه و
سلم ينظر[6]
3) Sunnah Taqririyah
(persetujuan), yaitu hadist yang bersumber dari sikap Nabi SAW. Terhadap kasis
tertentu, bila Nabi SAW. Mendengar sahabat mengatakan suatu perkataa, lalu
beliau membiarkan (tidak merespon) dengan cara tidak menyuruh atau melarang.
Sikap seperti itu mengisyaratkan persetujuan dari beliau, bahwa apa yang
dilakukan itu boleh-boleh saja dan tidak melanggar hukum.
Pembagian hadits
dari segi kualitasnya
1.
Mutawatir
Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal
dari mashdar ”al-tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang
berarti berturut-turut atau beriring-iringan seperti kata
“tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut.
Menurut
istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi
pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta[7]
Contohnya: Perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.
من كذب علي متعمدا فليتبوأمقعده
من النار
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku
dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka
2.
Masyhur
Hadist masyhur
dipahami sebagai suatu hadist yang telah dikenal dikalangan para ahli ilmu
tertentu atau dikalangan masyarakat umum tanpa memperhatikan ketentuan syarat
di atas, yakni banyaknya perawi yang meriwayatkannya, sehingga kemungkinannya
hanya mempunyai satu jalur sanad saja atau bahkan tidak berasal (bersanad)
sekalipun.
Contohnya: seperti hadist yang diriwayatkan Anas ra:
قنت النبي صلي الله عليه وسلم بعد الركوع شهرا يدعو علي رعل وذكوان
Artinya: Bahwa Nabi saw
pernah membaca doa qunut setelah ruku’ selama satu bulan untuk mendoakan
keluarga Ri’il dan Dzakwan (HR.
Bukhari Muslim).
3.
Ahad
Menurut bahasa kata “ahad”
bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu (hadist wahid)
berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
Menurut
istilah, hadist ahad adalah:
هو مالم يجمع
شروط المتواتر
Artinya: Hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir[8]
Yang dimaksud hadist ahad adalah hadist yang
diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai batasan hadist
mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist
ahad.[9]
Contohnya: Hadis Nabi SAW:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan
menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya dari para hamba.[10]
Pembagian hadits menurut perowinya
1.
Shahih
Kata Shahih
(الصحيح) dalam pengertian bahasa, diartikan
sebagai orang sehat antonim dari kata as-saqîm (السقيم)
= orang yang sakit. Jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis
yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ
الضَّابِطِ ضَبْطاً كَامِلاً عَنْ مِثْلِهِ وَ خَلاَ مِنَ الشُّذُوْذِ وَ
الْعِلَّةِ
“Hadis yang muttasil
(bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang ‘adil dan dhabith (kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat
(‘illat)”.
Imam
As-Suyuthi mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh ar-râwiy (periwayat) yang ‘adil dan dhabith,
tidak syadz dan tidak ber‘illat”.[11]
Syarat-Syarat Hadis Shahih
o
Sanadnya
Bersambung
o
Ar-râwiy (periwayat)-nya
Bersifat ‘Adil
o
Ar-Râwiy
(periwayat)-nya Bersifat Dhabith
o
Tidak Syadz
o
Tidak Ber’illat
2.
Hasan
Secara
bahasa, hasan berarti al-jamâl, yaitu: “indah”. Hasan juga
dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu.
Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan karena
melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan hadis dha’if,
dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai salah satu bagiannya.
Sebagian dari definisinya yaitu:
ü
Al–Khaththabi:
“hadis yang diketahui tempat keluarnya, dan telah masyhur ar-ruwât/ الرواة(para
periwayat) dalam sanadnya, dan kepadanya tempat berputar kebanyakan hadis, dan
yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh umumnya fuqahâ’”.
3.
Maudhu’
Dari segi bahasa, maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul
dari kata kerja wadha’a yang berarti mengada-ada atau membuat-buat. Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti
mengada-adakan Hadis atau memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’
berarti Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw.
sendiri tidak pernah mengerjakan, berbuat dan memutuskannya. Dalam sumber lain
dikatakan bahwa Hadis maudhu’ berarti kebohongan yang dibuat dan diciptakan
serta disandarkan kepada Rasulullah saw.[12]
4.
Dha’if
Kata “Dha`if” menurut bahasa berasal dari
kata”dhu`fun” yang berarti lemah lawan dari kata “qawiy” yang berarti kuat,
sedangkan hadits dha`if berarti hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits
hasan. hadits dha`if disebut juga hadits mardud(ditolak). Contoh Hadits Dha`if
adalah hadits yang artinya:
“bahwasanya
Nabi SAW wudhu dan beliau mengusap kedua kaos kakinya”
Hadits tersebut dikatakan Dha`if karena
diriwayatkan dari Abu Qais Al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.[13]
Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat
dalam merumuskanya. Namun demikian, secara substansial kesemuanya memiliki
persamaan arti. Imam Al-Nawawi, misalnya mendefinisikan Hadits Dha`if dengan
hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat
hadits hasan. Sedangkan menurut Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Hadits Dha`if
didefinisikan sebagai segala hadits yang di dalamnya tidak terkumpul
sifat-sifat maqbul. Nur Al-Din itr merumuskan Hadits Dha`if dengan hadits yang
hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul ”hadits yang
shahih atau hadits yang hasan”.
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat
dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat
Hadits Shahih atau Hadits Hasan, maka hadis tersebut dapat dikategorikan
sebagai Hadits Dhaif. Artinya jika salah satu syarat saja hilang, disebut
Hadits Dha`if. Lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat?
Seperti perawinya tidak adil, tidak dhabit, atau dapat kejanggalan dalam
matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai Hadits
Dha`if yang sangat lemah sekali.[14]
Macam-macam dha’if
Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu: Hadits Dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif
karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a.
Hadits dhaif
karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya
satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada
permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi,
antara lain yaitu:
1)
Hadits
Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits
yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits
yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad
ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang
meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah
dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits,
seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi,
hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
Artinya: Rasulullah
bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri
jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
2)
Hadits
Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits
yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits
yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya.
Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad
adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat
yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur,
maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang
gugur itu adalah tabi’in.
Contoh hadits munqathi’:
Artinya: Rasulullah
SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas
Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu
rahmatMu”.
3)
Hadits
Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits
yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal
adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam
sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba,
dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi: Imam Malik berkata: Telah sampai
kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:Budak itu harus diberi
makanan dan pakaian dengan baik.
4)
Hadits
mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits
yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur
satu rawi atau lebih di awal sanad atau bias juga bila semua rawinya digugurkan
(tidak disebutkan).
Contoh: Bukhari berkata: Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
b.
Hadits dhaif
karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi
ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang
masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak
waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan
menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada
perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah
lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda
dari maksud lafadz yang sebenarnya.
1)
Hadits
matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan
/ dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan
dengan hadits ataupun mengenai urusan lain), atau pernah melakukan maksiat,
lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
2)
Hadits
Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang
diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits
munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi
yang kuat, contoh :
Artinya:“Barangsiapa
yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati
tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
3)
Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng
ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya.
Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
Contoh :
Rasulullah bersabda: “Hari arafah dan hari-hari
tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
C.
Kedudukan Sunnah dan Fungsinya Terhadap Agama
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadits
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia mempati kedudukan kedua
setelah Al-Qur`an. Keharusan mengikuti hadits bagi umat Islam baik yang berupa
perintah maupun larangannya, sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur`an.
Hal ini karena, hadis merupakan mubayyin bagi
Al-Qur`an, yang karenanya siapapun yang tidak bisa memahami Al-Qur`an
tanpa dengan memahami dan menguasai hadis. Begitu pula halnya menggunakan
Hadist tanpa Al-Qur`an. Karena Al-qur`an merupakan dasar hukum pertama, yang di
dalamnya berisi garis besar syari`at. Dengan demikian, antara Hadits dengan
Al-Qur`an memiliki kaitan erat, yang untuk mengimami dan mengamalkannya tidak
bisa terpisahkan atau berjalan dengan sendiri.[15]
Al-Qur’an itu menjadi sumber hukum yang pertama dan
Al-Hadits menjadi asas perundang-undan(gan setelah Al-Qur’an sebagaimana yang
dijelaskan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi
bahwa Hadits adalah “sumber hukum syara’ setelah Al-Qur’an”.[16]
Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran
Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat. Pada tahun 1958
salah seorang sarjana barat yang telah mengadakan penelitian dan penyelidikan
secara ilmiah tentang Al-Qur’an mengatan bahwa : “Pokok-pokok ajaran Al-Qur’an begitu dinamis serta
langgeng abadi, sehingga tidak ada di dunia ini suatu kitab suci yang lebih
dari 12 abad lamanya, tetapi murni dalam teksnya”.[17]
Menurut Ahmad hanafi “Kedudukan Hadits sebagai sumber
hukum sesudah Al-Qur’an…merupakan hukum yang berdiri sendiri.”[18]
Keberlakuan hadits
sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya
memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan
rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena
itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.Di
antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa Hadits merupakan sumber hukum dalam
Islam adalah firman Allah dalam
Al-Qur’an surah An- Nisa’: 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ … (80)
“Barangsiapa yang
mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…”[19]
Sejak masa sahabat
sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan
juga kepada Hadits Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional.
Dalam ayat lain Allah
berfirman QS. Al-Hasyr :: 7
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ
عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…”
Dalam Q.S AnNisa’ 59, Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…”
Dari beberapa ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak cukup
hanya berpedoman pada Al-Qur’an dalam melaksanakan ajaran Islam, tapi juga
wajib berpedoman kepada Hadits Rasulullah Saw.
Ada beberapa
kedudukan as-Sunnah dalam al-Qur’an, seperti firman Allah:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur
ÍöDF{$#
óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs?
Îû
&äóÓx«
çnrãsù
n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ)
÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/
ÏQöquø9$#ur
ÌÅzFy$#
4 y7Ï9ºs
×öyz
ß`|¡ômr&ur
¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. Annisa: 59
Firman
allah:
`¨B
ÆìÏÜã
tAqߧ9$#
ôs)sù
tí$sÛr&
©!$#
( `tBur
4¯<uqs?
!$yJsù
y7»oYù=yör&
öNÎgøn=tæ
$ZàÏÿym
ÇÑÉÈ
Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah
mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S. An-Nisa: 80)
D.
Ijtihad dan Macam-macam Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata جهد - يجهد yang berarti
"berusaha dengan sungguh-sungguh". Dari pengertian bahasa ini
selanjutnya para Ulama' merumuskan pengertian istilah. mereka berbeda pendapat
dalam merumuskan pengertian tersebut. Ada juga Ijtihad yang diberikan arti
sebagai berikut "Segala upaya yang dicurahkan Mujtahid dalam berbagai
bidang ilmu, seperti bidang fiqih, teologi, filsafat dan tasawuf".
Ijtihad dari segi obyek kajiannya, menurut al Syatibhi, dibagi
menjadi dua yaitu:
1.
Ijtihad Istinbathi
Adalah ijtihad yang dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash
syariat dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya.
dan hasil dari ijtihad tersebut kemudian dijadikan sebuah tolak ukur untuk
setiap permasalahan yang dihadapi.
2.
Ijtihad Tathbiqi
Jika ijtihad
istimbathi dilakukan dengan mendasarkan pada nash-nash syariat, maka ijtihad
Tathbiqi dilakukan dengan permasalahan kemudian hukum produk dari ijtihad
istinbathi akan diterapkan.
Objek Ijtihad
Menurut Imam
Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil
yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian.
Syariat yang
tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi
sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qoth’i, seperti
kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya berzina, mencuri dan
lain-lain.
Syariat yang
bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para
ulama.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sunnah menurut para ahli hadist identik dengan hadist, yaitu: seluruh
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
ataupun yang sejenisnya (sifat keadaan atau himmah). Sunnah menurut
ahli ushul fiqh adalah “ segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW,
berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”.
Pembagian
yang didasarkan pada pada pendekatan sumbernya. Maksudnya darimana seumber ide
dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan Raul Allah tersebut. Berdasarkan
pendekatan ini, maka Hadist dibagi menjadi: Hadist Qudsi dan Hadist
Nabawi.
Hadist
Nabawi terdiri dari
1.
Qouliyah
2.
Fi’liyah
3.
Taqririyah.
B.
Saran
Penyusun mengakui bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
kelemahan dan kekurangan yang semestinya perlu ditambah dan diperbaiki. Uraian
dan contoh yang diambil masih sangat kurang. Oleh sebab itu, segala masukan
yang bersifat positif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini
dimasa yang akan datang. Harapan penyusun semoga inti dari permasalahan yang
kita bahas ini dapat dipraktikkan di kehidupan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
al-Bukhary.
Muhammad bin Isma’il 1987 , shahih al-Bukhary Bairut: Dar
Ibn Kasir
al-Maliki Muhammad Alawi, 2006, Ilmu Ushul Hadits, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008) Hal: 91
Hanafi, Ahmad, 1989, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam,
Jakarta: Bulan Bintang
Jalaluddin, Fiqih remaja, 2009, Jakarta: Kalam Muliua,
Qardhawi, Yusuf, 2007, Pengantar Studi Hadts, (Bandung:
Pustaka Setia
Ranuwijaya, Utang, 1996, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media
Pratama
Smeer. Zeid B. t.th, Ulumum Hadist Pengantar Studi Hadist
Praktis., Malang, UIN- Malang Press
Syauki, Achmad, 1985, Lintasan
Sejarah Al-Qur’an, Bandung: Sulita
Thahhan. Mahmud, 2007, Intisari Ilmu Hadist, Malang:UIN-Press
Thalib, Muhammad, 1977, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta: Bina Ilmu
Usman, Suparman, t.th, hukum islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama
http://www.mufarrihulhazin.com/